Akar historis modernisme berawal dari jaman
pencerahan, enlightement (1350-1600). Dalam era tersebut masyarakat Eropa
membangkitkan kembali kebudayaan Yunani dan Romawi kuno. Dan banyak inspirasi
rasional yang ditimba darinya sehingga kecenderungan berpikir dalam era
tersebut mulai kegelapan dogmatis abad pertengahan yang dikuasai cara berpikir
gereja. Faktor iman dan kepatuhan pada otoritas gereja mendapat porsi besar.
Pada saat itu muncullah filsuf-filsuf kritis yang pemikirannya hingga kini
menentukan irama jaman seperti Kant, Hegel, Marx, Comte, Nietzsche, Sartre dan
sebagainya [1].
Suatu hal yang menentukan berkembangnya modernisme adalah peralihan filasafat dasar dari Theosentris kepada Antroposentris. Yang pertama
dimaksudkan bahwa Tuhan menjadi sentra pemikiran kefilsafatan sementara yang
terakhir menusia menjadi pusatnya. Dengan Theosentris manusia mengarahakan
orientasi dan dasar hidupnya bagi kepenuhan hidup kerohaniahan untuk mencapai keselamatan
jiwa, sementara yang terakhir manusia berusaha menggapai kelimpahan dan
kenikmatan ketubuhan secara sporadis dan temporer. Hal ini dipersubur oleh
pemikiran para filsuf yang merudusir peran transenden, seperti Comte yang yang
memaklumkan kematian pengetahuan absolut, sebab tidak bisa diverifikasi, dan
karena itu dianggap irasional. Sartre juga memeperlihatkan sikap skeptismenya:
“....ada tidaknya Tuhan, tidak ada yang berubah karenanya”; Nietzsche dengan
pikiran gilanya: God is dead, yang termanifestasikan dalam nihilismenya serta
meramalkan lahirnya peradaban tanpa Allah. Tidak bias diabaikan juga Marx yang
menatap sejarah sebagai dialektika pertentangan kelas dan mencemooh agama
sebagai candu masyarakat.
Penggunaan rasio sebagai piranti melahirkan
ilmu, pengetahuan dan teknologi merupakan prasyarat dasar bagi proyek
modernitas. Magnis-Suseno [2]mencirikan masyarakat modern sebagai berikut:
1)
Masyarakat modern pertama-tama adalah masyarakat
yang berdasarkan industrialisasi. Industrialisasi menjadi darah daging
masyarakat modern. Industrialisasi menjadi format dasar yang bukan hanya bidang
ekonomi, melainkan seluruh kehidupan masyarakat, penghayatannya, way of life
nya dan sebagainya.
2)
Implikasi dari industrialisasi adalah perubahan
total dan mendalam dalam gaya hidup manusia. Perubahan itu menyangkut semua
bidang kehidupan dan yang paling mencolok adalah penciptaan jalur-jalur
komunikasi lokal, regional dan global yang amat padat dan cepat. Sarana lalu
lintas mengalami perkembangan revolusioner dan manusia difasilitasi mesin-mesin
yang mempermudah pekerjaan.
3)
Industrialisasi tingkat pertama sudah dilalui oleh
negara-negara industri. Teknologi merupakan ilmu baru, yakni ilmu yang secara
khusus yang meneliti kekuatan-kekuatan alam dengan maksud untuk memanfaatkanya
bagi produksi industrial. Gelombang pasca-industri kiranya akan melahirkan
masyarakat informasi.
4)
Masyarakat modern adalah masyarakat — yang kecuali
dalam keadaan darurat dan luar biasa — tidak mengalami ketergantungan pada
alam. Muncul kesan bahwa dengan otonomi rasionya apa saja bisa diciptakan
manusia, serat semua masalah dapat dipecahkan.
Sementara itu, sumber-sumber masyarakat modern adalah:
Pertama, kapitalisme dan revolusi
industri.
Pelbagai bentuk ekonomi kapiltalis sudah dikenal sejak sebelum abad ke 17 yang
ditandai munculnya kota-kota pelabuhan.
Tetapi kapitalisme dalam arti khas sebagai suatu sistem yang
merevolusikan perekonomian lahir di Eropa Barat adan Utara (Inggris, Belanda,
Belgia, Perancis) dalam abad ke 17. Hakekat kapitalisme
adalah bahwa tujuan produksi bukanlah konsumsi melainkan penambahan modal.
Kapitalisme bersifat dinamis, sebab selalu berusaha memperluas produksi guna
menguasai pasaran.
Kedua, penemuan subyektivitas modern. Dengan
subyektivitas dimaksudkan bahawa manusia, dalam memandang alam, sesama dan
Tuhan mengacu pada dirinya sendiri. Manusia dalam subyektivitasnya, dengan
kesadarannya, serta keunikannya menjadi titik acuan pengertian realitas.
Subyektivitas dalam konterks ini mengacu pada Hegel dan Sartre. Menurut Hegel
(1770-1832) manusia itu bukan substansi, melainkan subyek. Substansi disini
dimaksud sebagai kepadatan kebendaan, sebagai sesuatu yang berada di dunia ibarat sebongkah batu di
tengah sawah. Sedangkan subyek adalah pusat kesadaran, kesadaran akan
kesadaran, pusat yang secara kritis melawankan diri terhadap relaitas dan
dunia. Manusia tidak sekedar “hadir” dalam dunia, melainkan hadir dengan “sadar”, dengan berpikir, dengan
berefleksi serta mengambil jarak secar
kritis dan bebas.
Ketiga, rasionalisme. Dengan
rasio-nalisme dimaksud tuntutan agar semua klaim dan wewenang
dipertanggungjawabkan secara argumentatif, tanpa pengandaian kepercayaan, jadi
dapat diuniversalkan. Segi-segi rasionalisme: 1) Ciri pertama adalah
kepercayaan terhadap kekuatan akal budi manusia. Segala hal harus dimengerti
secara rasional. Suatu pernyataan hanya boleh diterima sebagai benar, dan
sebuah klaim hanya dapat dianggap sah apabila dapat dipertanggungjawabkan
secara rasional. 2) Penolakan tradisi, dogma dan otoritas di luar pemikiran
rasional. Dalam bidang siosial politik, misalnya, rasionalisme menuntut
kepemimpinan rasional. Pada bidang agama, klaim dogma tidak dapat begitu saja
ditetapkan oleh otoritas religius. 3) Rasionalisme mengembangkan metode baru
bagi ilmu, pengetahuan dan teknologi, yakni pengamatan dan eksperimen serta
bertumpu pada dalil-dalil ilmiah. 4) Rasionalisme membawa serta sekularisme.
Sekularisasi ialah suatu pandangan dasar dan sikap hidup yang dengan tajam
membedakan antara Tuhan dan dunia sebagai sesuatu yang duniawi saja.
Sekularisme menghilangkan unsur-unsur gaib dan keramat. Modernisme adalah sebuah proses yang amat
ambivalen, yang akan berjalan terus entah kita menyetujuinya atau tidak. Betapa
dilematisnya modernisme yang dikonstruksi atas kemajuan iptek dapat dicermati
dari kegalauan Robert Morisson, pemikir teknologi terkemuka dari Massachusets.
Ia berkisar: "They are so very good at getting you to Paris in three
hours, but so very poor at telling you what to do when you get there" [3]
Kegalauan serupa juga dialami E.F.
Schumacher, yang mendapatkan dirinya seakan-akan berada di negeri asing. Ortega
Y. Gasset pernah mengatakan bahwa "kehidupan ditembakkan ke arah kita
secara langsung". Kita tak dapat mengatakan: "Tahan dulu. Tunggu setelah
segala sesuatunya telah saya pilih dan perhitungkan!"
Keputusan-keputusan harus diambil sementara
kita belum siap; tujuan-tujuan harus dipilih sementara kita belum melihat
dengan jelas. Ini teramat ganjil, dan sekilas pandang, sangat tidak masuk akal.
Rupa-rupanya manusia "diprogram" secara tidak memadai.
Fenomena modernisme, yang diyakini sebagai
pilihan tepat membebaskan manusia dari situasi ketertinggalan, keterbelakangan,
kemiskinan, kebodohan, meski dalam arti terbatas menunjukkan kemajuan yang
cukup spektakuler, tetapi juga menyisakan persoalan-persoalan yang rumit dan
kompleks. Penggunaan rasio yang melahirkan kemajuan iptek merupakan embrio
ekspansi wilayah, imperialisme. Modernisme, dengan demikian, disamping
menawarkan kemudahan-kemudahan bagi manusia, juga memproduksi model-model
belenggu baru yang jauh lebih dahsyat. Peter L. Berger
[4] mengisyaratkan bahwa modernisme yang dicirikan oleh kemajuan iptek tidak
lebih dari ideologi yang menutup-nutupi kenyataan imperialisme, eksploitasi,
dan letergantungan.
Justifikasi pernyataan Berger ialah kenyataan
lahirnya korelasi a-simetris antara bangsa barat yang menguasai dan mendominasi
iptek dengan seperangkat nilai budayanya dengan bangsa Timur yang diberi
atribut: underdeveloped countries atau eufemismenya, developing countries.
Korelasi serupa inilah yang oleh Galtung dikatakan merupakan awal kekerasan,
yakni situasi bilamana manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi
jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensial. Hal ini oleh
Simon Weil digambarkan secara ekstrim: kekerasan adalah tindakan yang mereduksi
seseorang atau kelompok menjadi barang. Tindakan terakhir dari reduksi itu
ialah pembunuhan, yakni mereduksi seseorang menjadi mayat [5].
Secara garis besar ada dua paradigma yang
saling bersaingan dalam menjelaskan dan menguraikan masalah kekayaan dan
kemiskinan di antara bangsa-bangsa, yakni teori modernisasi dan imperialisme.
Teori modernisasi dicirikan oleh pemakaian istilah-istilah: "modern",
"pembangunan", "pertum-buhan ekonomi", "diferensi
institusional", dan "pembangunan bangsa" (nation building).
Sementara imperialisme cenderung memakai istilah: "ketergantungan",
"eksploitasi", dan "neokolonialisme" serta
"pembebasan" [6]. Saya
mereduksi modernitas di sini sebagai fenomena pembangunan. Di sini
diperlihatkan tergusurnya nilai-nilai etis dan moral oleh target pembangunan
untuk mencapai kemajuan fisikal.
Berger meyakini bahwa pembangunan
pada dasarnya adalah suatu persoalan. Persoalan terutama bagi pembuat kebijakan
bagi kepentingan rakyat banyak di suatu negara.
Bercermin pada korelasi a-simetris antara
bangsa Barat dan bangsa Timur, pembangunan tidak lebih dari slogan yang
melicinkan jalan penguasaan wilayah. Imperialisme melahirkan perbudakan,
perendahan martabat manusia. Nilai-nilai budaya Timur yang tradisional
disingkirkan, digantikan budaya barat yang modern.
Pembangunan merupakan persoalan terutama
karena meniscayakan pengorbanan. Demi kelancaran lalu lintas, perlulah
menggusur tanah rakyat. Gedung-gedung pencakar langit, mall, swalayan, lapangan
golf, dan sebagainya merupakan hasil sulapan lahan pertanian sehingga rakyat
kehilangan pekerjaan. Hak rakyat terhempas oleh kesewenangan negara selaku
pemegang otoritas tunggal pembangunan. Mohtar Mas'oed (1994) memperlihatkan
bahwa pembangunan di bidang ekonomi mengandaikan pengorbanan politik.
Pembangunan ekonomi mendasarkan diri pada sifat rasional, efisiensi,
efektivitas dan pragmatisme. Semenjak Orde Baru hal ini ditambah dengan faktor
stabilitas yang meminimalkan partisipasi dan aspirasi politik rakyat.
Heru Nugroho (1996) mencermati munculnya
perilaku konsumtif di kalangan masyarakat dan generasi muda sebagai implikasi
pembangunan ekonomi yang kian mengglobal. Bagi generasi muda hal ini terlihat
pada kegandrungan terhadap budaya Barat seperti musik pop, gaya hidup ABG, gaya
hidup instant dan sebagainya. Bahkan, perilaku konsumtif tersebut sudah
mengarah pada hedonisme, yakni gaya hidup yang mengutamakan kenikmatan
kebutuhan semata yang indikasinya adalah meningkatnya fenomena free sex,
pemakaian obat-obat perangsang hingga tindak kriminal yang disulut oleh tidak
terpenuhinya hasrat konsumtif secara wajar.
Tampaklah bahwa modernisme yang melahirkan
"pembangunanisme" memi-nggirkan pertimbangan-pertimbangan etis
sehingga menggusur nilai-nilai kemanusiaan. Harkat dan martabat manusia
ditundukkan di bawah hasrat pemilikan harta dan kesenangan sesaat. Inilah
indikasi yang oleh Louis Leahy (1989) disebut "kematian" manusia.
Manusia tidak lagi dipandang sebagai suatu realitas 'sui generis' dan khas,
yang lebih tinggi, unik dan absolut terhadap alam semesta. Jauh daripada
memberi arti (signifikasi) kepada realitas ekstern, sebaliknya realitas itu
sendirilah yang secara total menentukan kondisi manusia.
Langkah antisipasi terhadap persoalan
tersebut di atas tentu tidak mudah, butuh pengorbanan dan waktu panjang.
Tetapi, mengakomodasi nilai-nilai meta-ekonomi seperti kejujuran, keadilan,
serta dihormatinya harkat dan martabat manusia merupakan salah satu alternatif
yang mestinya sudah lama dirintis.
Catatan
akhir:
1. Budi Hardiman, F., 1990, Kritik Ideologi,
Yogyakarta, Kanisius, hlm. 46.
2. Magnis-Suseno, F., 1991, Filsafat Sebagai
Ilmu Kritis, Yogyakarta, kanisius, hlm. 56.
3. Mangunwijaya, Y.B. (ed.), 1983, Teknologi
dan Dampak Kebudayaannya, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, hlm. ix.
4. Berger, Peter L., 1992, Pikiran Kembara,
Yogyakarta, Kanisius, hlm. 14.
5. Lubis, Mochtar (peny.), 1988, Menggapai
Dunia Damai, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, hlm. 48.
6. Berger, Peter L., 1983, Piramida
Pengorbanan Manusia, Bandung, IQRA, hlm. 22.