Oleh: Nigel Todd. Journal of The History
of Ideas. Vol XXXV.
Perkembangan utama
dalam pemikiran modern New Left (Kiri Baru) adalah munculnya
pendekatan-pendekatan berdasarkan ide, ideologi dan budaya dalam menganalisa
masyarakat. Titik perhatian para intelektual Kiri Baru tersebut bertujuan untuk
menjelaskan bagaimana sebuah Kekuasaan di Barat mampu mempertahankan lingkaran
kekuasaannya sekaligus memberi legitimasi pada kekuasaan borjuis. Marx, Engels
dan Lenin juga berusaha menjelaskan tentang superstruktur ideologis. Marx dalam
German Ideology (hlm. 39) menyatakan "Ide-ide kelas penguasa, dalam setiap
jaman, yang mendominasi kekuatan material dalam masyarakat pada saat yang
bersamaan adalah sama dengan kekuatan dominan intelektual." Engels dalam
suratnya pada J.Block pada tanggal 21 September l890 menulis, refleksi dari
semua perjuangan aktual (kelas) dalam benak semua para pejuang --politik,
legal,dan teori filsafat, ide-ide religius, dan perkembangan mereka yang lebih
jauh dalam sebuah sistem dogma-- juga mencoba pengaruh mereka atas sebab dari
perjuangan sejarah dan dalam banyak kasus telah dilebih-lebihkan dalam
mencerminkan bentuk mereka (preponderate in determining their form. Dan Lenin
dalam beberapa karyanya, misalnya dalam bulan April l9l7 menyatakan
"sebagian besar dari tentara dan para pekerja Rusia tetap yakin, tentang
ketidak percayaan mereka pada bentuk pemerintahan kapitalis.
Beberapa referensi
dalam karya-karya pokok Marxis, telah cukup menjelaskan tentang para pemimpim
Komunis seperti diatas, terutama tentang pengaruh Antonio Gramsci (Italia) dan
Mao Zedong (Cina) dalam Kiri Baru. Baik Gramsci maupun Mao Tse-Tung mencoba
menganalisa secara mendalam tentang superstruktur ideologis selama Perang
Dunia.
George Thomson
menulis dalam tahun l957: "bila Mao Tse-Tung menempatkan dirinya untuk
menjelaskan kebenaran-kebenaran umum dari Marxisme atas Revolusi Cina...maka
Gramsci mencoba kebenaran tersebut dalam Revolusi Italia... menurut Gramsci
kesatuan dari teori dan praktek bukanlah merupakan fakta mekanik tapi merupakan
proses sejarah yang akan terjadi. Ini persis seperti apa kata Mao Zedong
...untuk lebih mengerti tentang ilmu pengetahuan dan memulainya dengan ilmu
pengetahuan yang rasional (konseptual dan teoritikal) aktivitas harus mengarah
langsung pada praktek Revolusi, artinya mengubah dunia subyektif dan obyektif.
John Cammet, penulis Biografi Gramsci, memperlihatkan "Teori pekerjaan
Komunis Cina yang dikembangkan oleh Mao Zedong, terkadang mempunyai persamaan
dengan karakter Gramsci. Sekitar tahun l920-30-an Gramsci dan Mao Tse-tung
merupakan figur dalam Gerakan Komunis--Gramsci menjadi marginal karena harus
mendekam dalam penjara--sedangkan Mao Zedong karena letak geogra! fis dan
tempat yang diberikan padanya dalam politik luar negeri dari Uni Soviet."3
Meskipun beberapa tulisan pernah dibuat (tentang kedua tokoh tersebut), tapi
tidak ada sebuah tulisan Marxis yang pernah membahas (tentang kedua tokoh ini
secara bersamaan). Tujuan dari tulisan ini adalah membuat sebuah studi awal
tentang karya kedua pemimpin tersebut, dengan penekanan pada sebuah
superstruktur ideologis (Ideoligical Superstructure). Untuk perbandingan
tersebut dipergunakan karya-karya awal Mao Zedong yang dihasilkan sekitar tahun
l920 sampai l945. Perioede ini bersamaan dengan tahun-tahun Gramsci ketika
menjadi seorang aktivis (Partai Komunis dari Perang Dunia II sampai pertengahan
l930-an). Juga akan dibandingkan kegiatan-kegiatan praktis antara keduanya
dalam situasi pra-revolusi. Mao setelah tahun l949 masih menulis tentang situasi
(Cina) pasca Revolusi; sedangkan Gramsci tidak mempunyai pengalaman langsung
dalam lingkungan pasca Revolusi. (Ia meninggal di Penjara pada tahun l932)
Sudah pasti ada
beberapa konsepsi, permasalahan dan solusi antara keduanya yang berdiri dalam
jangkauan posisi yang berbeda. Di Italia Gramsci terlibat dalam perjuangan
Partai menghadapi Sektarian Kiri pimpinan Bordiga, Sekertaris Umum pertama dari
Partai Komunis Italia (Italian Communist Party/PCI). Kelompok Bordiga telah
'memecahkan' dilema tradisionil dalam sosialisme Italia (turut berpartisipasi
dalam Parlemen dan politik negara borjuis atau menyerap sebuah posisi tak
terlibat (absentionist position) dengan menolak 'keikut sertaan' untuk
mengikuti garis non-koperasi. Akibat dari kebijaksanaan yang diambil tersebut,
adalah tidak mungkin bagi Partai Komunis Italia untuk menarik perlawanan umum
terhadap fasisme. Bordiga menyatakan, bahwa fasisme semata-mata merupakan
bentuk lain dari politik borjuis dan tidak mempunyai bahaya khusus dalam
Gerakan Revolusioner.
Sementara Gramsci
tetap yakin bahwa Fasisme merupakan serangan paling berbahaya bagi pertumbuhan
gerakan komunis Italia. Dan cara paling efektif untuk melawannya adalah dengan
mengeluarkan sektarian dari tubuh PCI. Gramsci mengambil tindakan oposisi
terhadap kelompok Bordiga. Oposisi ini berlaku atas dua hal. pertama, Gramsci
mengkritik kelaziman penggunaan determinisme historis dalam banyak tulisan kaum
Marxis. Ia mengkritik Gagasan 'hukum besi' (Iron law) sejarah sebagai sesuatu
yang 'tak dapat dihindari'(inevitably) yang akan membawa kekuatan proletariat
secara otomatis, bagaikan malam mengikuti siang. Gramsci mengkritik karya N.
Buckharin Historical Materialism: A New System of Sociology (l929). Sebuah buku
yang mencoba untuk mengembalikan Marxisme kedalam ilmu ramalan seperti
ilmu-ilmu alam dan akhirnya Gramsci merumuskan konsep tentang sejarah
hukum-hukum dan tendensi-tendensi (laws and tendencies): perkembangan sejarah
harus dirawat dan dipelihara mengikuti sebuah petun! juk, tapi kesimpulan akhirnya
adalah mempertahankan harkat kemanusiaan dari arah tendensi dan apa yang harus
dilakukan manusia untuk menciptakan petunjuk-petunjuk tersebut.
Terakhir, Gramsci
menarik solusinya terhadap pertanyaan 'keikut sertaan' atau 'ketidak ikut
sertaan' dengan menekankan, bahwa proletariat harus memulai usaha untuk merebut
kekuasaan negara dari kelas penguasa Italia: dan seperti sisi lainnya dari mata
uang ia diikuti dengan gerakan eloborasi atas struktur dan politik untuk
menuntut kekuasaan negara. Gramsci membuat rumusan, bahwa kaum borjuis Italia
mempunyai sebuah bentuk kekuatan sosial yang mampu memblok dominasi dari kelas
sub-ordinat dalam segala hal, terutama atas proletariat di Italia Utara.
Kekuatan social bloc terletak pada pemisahan kaum tani di Italia Selatan dan
para pekerja di Italia Utara. Tiang penyangga dari pemisahan ini menurut
pengamatannya terletak pada kekuatan para intelektual di bagian Selatan. Para
Intelektual dari Selatan merupakan strata penting dalam kehidupan negara
Italia, karena tiga-lima persen birokrasi negara merupakan ciptaan orang-orang
Selatan4. Kekuasaan para intelektual dari Selatan merupa! kan dasi bagi
ideologi para petani dan kekuasaan administrtif dari para tuan tanah dan
borjuis. Sebuah revolusi yang dipimpin oleh kelas proletariat, jika ingin
berhasil harus membentuk formasi alternatif rulling bloc yang dapat menyatukan
kaum pekerja dan kaum tani. Dan tugas utama dari Partai Komunis adalah merekrut
para intelektual dan menghancurkan ideologi pegangan dari kelas penguasa atas
kaum tani. Analisa Gramsci tersebut memberikan jawaban bahwa ideologi dan
budaya mempunyai posisi penting--sejak itu para intelektual dari Selatan dirasa
begitu berharga.
Di Cina, para
intelektual memainkan peranan sentral dalam perkembangan partai Komunis Cina,
suatu hal yang tidak pernah terjadi di Italia. Kaum intelektual merupakan
cikal-bakal dari PKC (Chinesse Communnist Party). Kaum intelektual mendirikan
PKC yang menjadi begitu berpengaruh sebagai basis kelas pekerja dalam partai.
Pada akhir tahun l926 sekitar 66 % dari anggota PKC adalah para pekerja,
intelektual 22 % dan kaum tani 5 %5. Pada tahun l928, presentase kelas pekerja
menurun lebih dari 4-5 %, dan laporan para kader menyatakan bahwa "Partai
tidak mempunyai cikal-bakal di sekitar para pekerja industri"6. Partai
mencatat pada tahun l928, kelas pekerja hanya merupakan l0 % dari seluruh
anggota, 3 % ditahun l929, 2,5 % pada bulan Maret l930, l,6 % pada bulan
September tahun yang sama dan menjadi tak satupun pada akhir tahun7 Sebagai
kelas pekerja dalam PKC, Mao dan para pengikutnya membangun kekuatan dalam
Partai dan pemikiran Mao mempunyai pengaruh kecil pada proletariat.
Dengan tidak adanya
kelas pekerja, Kaum intelektual Komunis menyerap Marxisme dengan latar belakang
masyarakt Cina. Para intelektual melihat kaum tani sebagai pengganti dari kelas
proletariat. Dan masih jauh untuk dapat mendifinisikan kaum tani sebagai
semi-proletariat 8. Kewajiban intelektual merupakan mata-rantai dalam
perjuangan kaum tani, sebagaimana ditulis oleh Meisner dari Li Tao-Chao (Salah
seorang dari dua pendiri PKC, dan seorang intelektual), para intelektual
mempunyai tugas membawa "pencerahan dan kepemimpinan dalam gerakan
massa"9 Persoalan-persoalan di sekitar ideologi tampak semakin meluas dalam
PKC; Pertama, kebutuhan para intelektual untuk memenangkan revolusi. kedua,
karena peran intelektual sebagai pembawa pencerahan.
Mao dan Gramsci,
meskipun berada dalam posisi yang berbeda, mempunyai persamaan dalam beberapa
permasalahan dan beberapa solusi untuk memecahkannya. Keduanya berpendapat,
bahwa kelas penguasa mengontrol semua masyarakat bukan hanya menggunakan
kekerasan dan kekuatan pisik, tapi juga menutupi perhatian massa untuk
menentukan berbagai hal: yang menjadi pegangan ideologi borjuis, yang harus dihancurkan
oleh Komunis. Sebelum itu semua dihancurkan, tidak akan ada oposisi yang
efektif untuk menyerang kelas penguasa, seperti ditulis oleh Mao:
Dalam perkembangan
sejarah sebagai suatu keseluruhan, aspek material merupakan pembentuk sesuatu
yang spiritual dan merupakan eksistensi sosial yang determinan atas kesadaran
sosial, yang pada saat yang bersamaan kita juga harus mengenal reaksi dari
kesadaran sosial pada eksistensi sosial dan reaksi dari superstruktur pada
fondasi ekonomi... Ketika superstruktur (politik, budaya dll) merintangi
perkembangan pondasi ekonomi--politik, budaya, reformasi menjadi faktor yang
prinsipil dan menentukan.10
Sementara Gramsci
juga melihat "pendidikan, budaya dan berbagai penguasaan organisasi
pengetahuan dan pengalaman...(sebagai sarana) bagi kemerdekaan massa dari para
intelektual", untuk membebaskan diri dari manipulasi realitas oleh
intelektual dan kepentingan kelas penguasa Gramsci mengatakan:
"...Proletariat, sejauh ditaklukan oleh kekuatan politik dan ekonomi, juga
harus mengambil sikap pada masalah penaklukan kekuatan para intelektual, harus
dipikirkan untuk mengorganisisr dirinya dalam politik dan ekonomi, juga
berpikir untuk mengorganisir dirinya dan kebudayaan "11
Dalam konteks ini
Gramsci merumuskan konsepnya yang disebut dengan Hegemoni. Hegemoni menurut
Gramsci merujuk pada pengertian tentang situasi sosial-politik, dalam
terminologinya 'moment.' dimana filsafat dan praktek sosial masyarakat menyatu
dalam keadaaan seimbang: Dominasi merupakan konsep dari realitas yang menyebar
melalui masyarakat dalam sebuah lembaga dan manifestasi perseorangan, pengaruh
dari 'roh' ini berbentuk morallitas, adat, religi, prinsip-prinsip politik dan
semua relasi sosial, terutama dari intelektual dan konotasi moral. Hegemoni selalu
berhubungan dengan penyusunan kekuatan negara sebagai kelas diktaktor.12
Dalam The Formation
of Intellectuals yang ditulis Gramsci sesudah tahun l926--ketika ia mendekam di
penjara, masyarakat superstruktur dapat diidentifikasikan dalam 'dua tingkat.'
Petama, masyarakat politik (poloitical society), yang berfungsi meredam setiap
pembangkangan dalam konformitas, untuk mengatur hukum dan peraturan-peraturan.
Kedua, masyarakat sipil (civil society) adalah organisasi-organisasi swasta
(gereja, koran, literatur masa dan lain-lainnya) yang mengperasikan hegemoni
ideologi, dan menghasilkan perhatian spontan dari masyarakat untuk mengatur
'social order.'
Mao Tse-Tung tidak
mengkosentrasikan perhatiannya dalam produksi detail dari konsep hegemoni. Tapi
nada bicaranya yang terminologis dan artikulasinya pada hakekatnya mempunyai
gejala yang sama dengan rumusan Gramsci. Pemikiran Mao secara langsung lebih
empirik dan operasional. Dalam tulisannya tentang kebudayaan pada demokrasi
baru (l940) dan kata pengantarnya dalam sebuah majalah komunis Chinese Culture
menulis:
Kita (Komunis) ingin
mengubah sebuah Cina dengan politik penindasan dan eksploitasi ekonomi menjadi
sebuah Cina dengan politik bebas dan perekonomian yang makmur. Kita juga ingin
mengubah Cina yang bodoh dan terbelakang di bawah kebudayaan masa lalu kedalam
suatu Cina pencerahan dan progresif dibawah kekuasaan kebudayaan baru.13
Mao kemudian
merumuskan sebuah kerangka situasi Cina, yang menurutnya: keunggulan asing,
gabungan budaya imperialis dan konfusius semi-feodal yang pasif melahirkan
sebuah budaya borjuis pribumi. Situasi ini menurutnya merupakan hal yang
berbahaya bagi perkembangan sosial Cina di masa yang akan datang; hal ini
mendorongnya untuk menulis Tentang Demokrasi Baru (On New Democracy) dan
sebuah artikel
"Rekrut Inteltual sebanyak-banyaknya." Kepentingan umum dan
determinasi perlawanan terhadap invasi Jepang mendapat ancaman dari teori
propaganda Jepang yang anti nasionalisme Asia ala Barat (propaganda ini
merupakan kedok bagi invasi Jepang) serta tendensi budaya konfusius yang
mengadakan kompromi dengan jepang dan mengambil sikap bermusuhan terhadap
Komunis. Pozzolini melihat adanya kemiripan antara tulisan tersebut dengan
pemikiran Gramsci. Pemimpin Italia yang menganggap ideologi dominan borjuis
dapat menghambat pertumbuhan kesadaran diri proletariat sebagai sebuah kelas
dan dapat membelokan kelas pekerja dari misi historisnya, sekaligus mengajak
proletariat meniru politik borjuis (reformisme) atau menekankan divisi-divisi
di antara kekuatan-kekuatan revolusioner.
Pra-kondisi untuk
berhasilnya sebuah revolusi menurut Gramsci adalah latihan bagi kelas pekerja
meraih suatu superioritas "moral dan kepemimpinan intelektual, yang
menjadi fungsi hegemonik sebelum revolusi." Sebagaimana Mao (budaya
revolusi) menyiapkan dasar ideologi sebelum revolusi tiba.14
Bagaimana membangun
budaya dan ideologi hegemoni, merupakan persoalan yang harus dihadapi oleh Mao
Zedong dan Gramsci dalam menggalang kekuatan sosial revolusi. Keduanya melihat
kekuasaan inteltual sebagai bagian penting d1Dalam menyelesaikan permasalahan.
Kedua orang ini mendifinisikan intelektual sebagai penyelenggara 'fungsi' dari
intelektual dalam hubungan sosial masyarakat yang rumit dan dihargai, dan
mencoba menawarkan sebuah definisi dasar-dasar aktivitas dari intelektual, yang
pada intinya tidak dapat menerima bahwa semua orang terlibat dalam kegiatan
intelektual, tapi hanya sedikit orang yang mempunyai kemampuan sebagai
intelektual. Mao lantas mempertanyakan tentang fungsi intelektual. Menurut
Gramsci 'intelektual' merupakan pegawai dari kelas penguasa untuk mempraktekan
fungsi-fungsi sub-ordinat dari hegemoni sosial dan politik pemerintah15. Atau
dengan kata lain Gramsci ingin mengatakan bahwa intelektual merupakan
penyelenggara langsung dalam superstruktur. Terdapat p! erbedaan antara Gramsci
dan Mao dalam mendefinisikan intelektual. Mao membatasi definisi tentang
intelektual meliputi semua orang yang mempunyai pendidikan minimum sekolah
menengah dan mereka yang bekerja di universitas sebagai dosen, guru, sekolah
guru serta golongan profesional secara umum (dokter, insinyur dan lain
sebagainya). definisi ini dipergunakan secara relatif untuk menunjukan kelompok
sosial baru di Cina. Gramsci memberi definisi atas intelektual jauh lebih luas
dan membaginya mmenjadi dua jenis: intelektual 'tradisionil' dan intelektual
'organik.'
Mao cenderung melihat
"masalah bagi intelektual" adalah bagaimana caranya untuk membujuk
intelgensia non-marxis untuk mendukung panji-panji revolusioner. Analisa
Gramsci atas hegemoni membawanya untuk melihat pentingnya mengutamakan kelas
pekerja yang di dalamnya memiliki intelektual organik untuk dihubungkan dengan
Partai Komunis, serikat pekerja, dewan pabrik (cikal-bakal dari sebuah organ
alternatif dari kekuaasaan negara), surat kabar proletariat dan lain-lainnya.
Sebagaimana ditulis oleh Gwyn Williams, bahwa 'massa' menurut Gramsci bukanlah
semata-mata cetakan material dari ujung tombak 'pencerahan.' Sementara bagi
intelektual Maois dalam PKC, massa merupakan material esensial guna
'dimerdekakan' dari luar. Dalam pandangannya Gramsci menuntut sebuah kemenangan
dalam penguasaan politik, karena itu penting untuk membentuk 'formasi kiri'
dalam lingkungan intelektual. Bagi kedua orang tersebut semuanya menjadi
mungkin--membangkitkan sebuah kekuasaan hegemoni dan memulai sebua! h pekerjaan
untuk melatih intelektual proletariat. Dari pandangan seperti ini berarti
Gramsci mempunyai persoalan yang sama dengan Mao: Bagaimana caranya intelektual
kekuasaan lama dipersatukan dalam gerakan revolusioner ?
Ada kesadaran antara
Mao dan Gramsci, bahwa gaya lama intelektual akan membawa gerakan komunis pada
kebiasaan-kebiasaan lama mereka dalam berhubungan dengan massa, seperti gaya
hidup snob, angkuh, congkak dan kebiasaan buruk lainnya. Kebiasaan lama ini
akan semakin memperdalam jurang pemisah antara intelektual pada satu sisi
dengan petani, pekerja dan kader-kader Partai. Bahaya inheren dari situasi tersebut
akan tampak dalam dua hal: pertama, muncul sikap anti intelektual dan anti
teori dalam lingkungan Komunis dan semakin terasa dalam cara pemecahan politik
dengan cara empirisme yang steril dan pragmatisme sempit yang meniadakan
pertalian langsunng antara keduanya. Kedua, eloborasi teori dari
intelektual akan
tidak tersambung dengan pengalaman sosial aktual, yang akan melahirkan
subyektivisme ideologis. Cara kerja emperisme/pragmatis dan subyektivisme akan
membawa pada sebuah pengertian yang salah terhadap perjuangan kelas dan akan
berakhir dengan kekalahan, kekecewaan dan pemborosan tenaga yang tak perlu
dalam sebuah gerakan revolusioner.Dengan menempatkan persoalan dalam posisi
seperti ini Mao dan Gramsci telah menelusuri pentingnya pengenalan yang lebih
baik intelektual terhadap massa pekerja. Seperti yang dikatakan Mao: "Jika
kamu ingin bersatu dengan massa, kalian harus mengubah pikiran kalian "16
( Pidato Yenan, hlm 73).
Gramsci menggunakan
pengertian yang sama dalam istilah yang tidak berbeda:
Sebuah tragedi akan
terjadi, jika golongan intelektual yang berasal dari kelas pekerja dan mendapat
kepercayaan dil ingkungan pekerja tidak merasa dirinya memiliki nafas dan darah
yang sama dengan kebanyakan rakyat jelata--sangat terbelakang. mereka tak menghiraukan
kesadaran dari kelas pekerja dan tani! akhirnya semua pekerjaan kita menjadi
tidak berguna dan tidak membuahkan apa-apa.17
Setelah memiliki
identifikasi kelas, para intelektual kemudian membangun budaya kelas dalam
aktivitasnya. Kewajiban utama dari intelektual menurut Mao dan Gramscci adalah
mengupas kesadaran palsu dari budaya borjuis dan merangsang sebuah budaya
alternatif dengan dimensi revolusioner. Bagi Gramsci ini berarti mengikuti
prinsip futuris Italia:
"...Untuk
mennghancurkan hirarki spiritual, prasangka, pemujaan pada tradisi yang kaku...
berarti tak perlu takut pada penalaran dan berani untuk tidak mempercayai bahwa
kehancuran dunia akan terjadi jika para pekerja melakukan kesalahan gramatikal,
jika puisi menjadi sumbang, jika lukisan menjadi poster, jika generasi muda
menjadi kekanak-kanakan dan menyerupai orangtua yang sudah uzur... hanya mereka
yang mempunyai kejelasan dan memutuskan konsep-konsep dari jamam kita--jaman
industri besar--kota-kota pusat para pekerja--kehidupan yang riuh rendah, akan
memiliki bentuk baru dari kesenian, filsafat, adat-istiadat dan
bahasa..."18
Para Intelektual
komunis akan berbasis pada pekerjaan budaya dari kelas revolusioner. Seperti
kata Mao:19 Gramsci dan Mao yakin bahwa penciptaan budaya revolusioner
merupakan soal nyata bagi para intelektual dalam aturan-aturan lama--komunikasi
yang satu arah. Adanya sikap saling tidak mengerti dari "berbicara
kebawah" (talking above) atau 'turun kebawah' (down to) pada massa akan
tampak di depan mata. Gramsci mengingatkan penggunaan bahasa yang 'sulit'
terhadap massa. Massa memberikan reaksi pada dua hal. Pertama; massa menolak
penyederhanaan secara berlebih-lebihan dari akar bahasanya that to do so would
impaverish debate: sebuah konsep akan menjadi rumit bila konsep itu sendiri
tidak mudah untuk diekspresikan tanpa menunjukan secara vulgar atau total20.
Kedua; Gramsci melihat bahasa dalam mendidik pimpinan, dalam operasinya
melakukan pukul rata terhadap semua lapisan pembacanya, yang dalam
pelaksanaannya bertindak sebagai perangsang--dan berkembang lebih jauh sebagai
'pamfl! et' dari argumen. Marxis menurut Gramsci harus mencoba membuat standar
guna menghadapi intelektual katolik yang terikat oleh dogmatisme gereja dalam
sebuah pekerjaan yang hina dalam sebuah kekuasaan gereja tertentu di dalam
masyarakat Mao membahas masalah bahasa dan komunikasi dengan cara yang berbeda,
Ketika mengemukakan pertanyaan mengenai propaganda dan 'meningkatkan standar,'
ia berpendapat bahwa perkembangan yang satu akan membangun yang selanjutnya:
"dalam situasi
sekarang ini... propaganda adalah kewajiban utama... rakyat menginginkan
propaganda yang diikuti dengan standar yang makin meningkat... dengan partai
Komunis peningkatan standar mempunyai basis dalam propaganda21.
Pada saat yang
bersamaan Mao juga setuju akan adanya variasi dalam tingkatan kesusasteraan,
sebagai kebutuhan bagi kemajuan unsur-unsur kemajuan: "barisan
terdepan" dari kader-kader Partai. Mao dan Gramsci menelusuri pentingnya
pengenalan awal atas standar intelektual dalam skala massa sebagai basis dari
kegiatan Komunis. Perbedaan kecil dalam pendekatan mereka tampaknya harus
dikesampingkan, karena perbedaan konteks dimana mereka berada. Dalam kasus
Gramsci tampak sebuah kesadaran dan kemampuan dari masyarakat karena baca-tulis
telah berkembang luas dalam masyarakat. Sedangkan Mao, menemukan dirinya dalam
situasi masyarakat desa yang masih buta huruf. Hubungan dengan intelektual
adalah sebuah tugas politis dari proletariat dan para tani-- akhirnya dalam
Partai Komunis itu sendiri. Partai merupakan faktor penting unntuk
mengintegrasikan intelektual dalam gerakan revolusioner.
Mao sedikit eksplisit
dalam penjelasan-penjelasannya. Intelektual harus menyokong tujuan dari PKC,
mereka harus belajar Marxisme-Leninisme dan menghubungkan kegiatan mereka
dengan politik massa. Mao berkata bahwa budaya proletariat akan melayani
kepentingan proletariat, dan sejak saat itu kepentingaanya adalah sebuah
ekspresi politik--pekerjaan budaya harus mempunyai perpektif politik. Partai
menurut Mao, harus melibatkan intelektual dalam kegiatannya:
"Kita harus
menyiapkan pekerjaan pada semua intelektual yang bertanggung jawab, loyal dan
berdaya guna--dan kita harus memberi pelajaran pendidikan politik dan
bimbingan-bimbingan dalam kursus-kursus yang memakan waktu dan perjuangan. Dan
pada akhir kursus mereka akan menjadi kuat, serta revolusioner dalam cara
pandang, mengidentifikasikan dirinya dengan massa, dan bergabung dengan anggota
dan kader partai terdahulu, pekerja, kaum tani yang kesemuanya bergabung dalam
Partai22.
Posisi Gramsci dalam
hubungannya dengan intelektual dan partai sudah sangat jelas, dan mungkin
berlawanan dengan bayangan moderen 'marxis Liberal'. Gramsci setuju dengan
konsepsi Stalinis 'Satu Partai. Satu Kelas.' Faksi dalam Partai dilarang dan
proletariat akan mempunyai fungsi kekuasaan. Perhubungan diantara anggota dari
kelas dan kelompok yang berlainan dalam Partai mencerminkan perencanaan yang
akan selesai setelah perjuangan revolusioner. Bentuk rencana macam apa yang
nanti akan dipakai? Gramsci menjawab,"kekuatan para pekerja adalah pondasi
dari sebuah hirarki baru dari sebuah kelas: intelektual, petani, semua kelas
menengah, mengenal kelas pekerja sebagai kelas penguasa". Dalam Pemilihan
umum bagi lembaga representatif, kelas pekerja memilih perwakilan yang menjadi
bagian dari Partai kelas pekerja, yaitu Partai Komunis23. Dari premis tersebut,
Gramsci menginginkan intelektual untuk mengikuti kebijaksanaan Partai.....
sebuah formasi massa, dengan tendensi sayap kiri, da! lam pengertian dunia
moderen berarti--orang harus mempunyai orientasi terhadap proletariat yang
revolusioner... kewajiban ini merupakan pengahargaan atas semua korban yang
mengambil bagian, dari semua intelektual Utara dan Selatan24. Artinya Gramsci
seperti juga Mao ingin berkata bahwa intelektual harus menjadi sub-ordinat dari
kepentingan politik kelas revolusioner: atau dengan kata lain para intelektual
harus memiliki kewajiban, yang secara tegas diperlihatkan oleh mereka pada
Partai 25
STK2 (Seri Terjemahan Kita-Kita), 1991.
Gramsci tidak
terlihat untuk menunjukan disiplin intelektual yang sama dengan di luar
Partai.E.G Wwyn A Williams mencatat bahwa Gramsci dalam tulisannya. Il
Materialismo storico...(Turin, l948), menulis "Adalah suatu kebutuhan,
bahwa kerja keras dari penelitian memasuki kebenaran yang baru, memasuki
sesuatu yang lebih baik, lebih koheren, dan rumusan-rumusan yang jelas dari
kebenaran itu sendiri akan ditinggalkan menuju inisiatif yang bebas dari para
sarjana yang individual, meskipun begitu prinsip yang paling esensial adalah
meneruskannya pada pertanyaan". (Op.cit, 595)
Walaupun PKI
Stalinist dia berhak untuk hidup.Akankah kita dukung agar partai fascist Itali
danpartai nazi juga dibiarkan hidup? Mereka punya hak hidup itu pasti. Atau senang
sajakah kita dengan Golkar? Kalo kita tidak sepakat dengan mereka karena
menganggap mereka tidak demokratis, tugas kitalah untuk memblejeti dan
mempropagandakan ke massa betapa bahayanya mereka. Bukan kemudian bertindak
fasis dengan main bubar aja. Kalo main bubar-bubar aja, apa bedanya kita dengan
mereka ? Biarkan massa (rakyat ) yang menilai dan kalo merasa tidak cocok tidak
akan pilih dan mereka akan bubar sendiri. Buakan main bubar aja. Dan Bung juga
harus membedakan antara Leninisme dan Stalinisme. Harap uraikan bedanya?
Sebenarnya Stalinisme lebih pada interpretasi sempit atas Marxisme/Leninisme.
Lenin menganggap bahwa untuk transisi menuju Sosialisme butuh Pemerintahan
Revolusioner Buruh Tani, Stalin menginterpretasikannya dengan Pemerintahan Partai
yang mengatasnamakan buruh-tani. Sehingga terjadilah fasisme. Lenin menganggap
pentingnya self determination bagi semua bangsa-bangsa tertindas, Stalin
menginterpretasikannya dengan "Pembebasan" (yang sebenarnya
penjajahan) atas bangsa-bangsa tertindas semacam Polandia, ddsbnya. Ya, lebih
pada hal-hal seperti itu. Indra Jusfiq Hadjar gelar Sutan Maradjo Lelo
H.M.Misbach
Haji Mohammad Misbach
adalah seorang tokoh gerakan yang unik. Dia seorang yang percaya kepada Komunis
dan menganggap dirinya Komunis sejati, tapi pada saat bersamaan dia juga orang
yang secara tulus meyakini kebenaran Islam sebagai satu ajaran. Bagi Misbach
Komunisme dan Islam tidaklah kontradiktif. Keduanya justru mempunyai substansi
yang sama, anti kapitalisme dan segala bentuk penghisapan antar manusia. Sebuah
pemikiran yang bahkan sampai sekarang masih banyak menjadi perdebatan. Karena
itulah sampai akhir hayatnya di pembuangan Manokwari, Irian, dia berusaha
menjelaskan secara tuntas tentang konsep ini.
"Hai Saudara2!
Ketahuilah! Saya seorang yang mengaku setia pada Igama, dan juga masuk dalam
lapang pergerakan kommunist, dan saya mengaku juga bahwa tambah terbukanya
fikiran saya di lapang kebenaran atas perintah agama Islam itu, tidak lain
yalah dari sesudah saya mempelajari ilmu kommunisme……"
Sebelum itu pada
tahun 1925, dari Manokwari, yang diterbitkan dalam Medan Moeslimin dia berkata:
"Begitu juga sekalian kawan kita yang mengakui dirinya sebagai seorang
kommunist, akan tetapi meraka misi suka mengeluarkan fikiran yang bermaksud
akan melinyapkan agama Islam, itulah saya berani mengatkan bahwa mereka
bukannya kommunist yang sejati, atau mereka belum mengerti duduknya kommunist;
pun sebaliknya, orang yang suka mengaku dirinya Islam tetapi tidak setuju adanya
Kommunisme, saya berani mengatakan bahwa ia bukan islam yang sejati, atau belum
mengerti betul-betul tentang duduknya agama Islam…."
Misbach lahir di
Kauman, Surakarta , sekitar tahun 1876, dan dibesarkan di sana sebagai putra
seorang pedagang batik yang kaya. Dimasa kanak-kanak ia dipanggil Achmad; ia
mengubah namanya menjadi Darmodiprono ketika menikah , lalu diubah lagi menjadi
Haji Mohammmad Misbach setelah menunaikan ibadah haji di Makkah. Sebagian besar
masa sekolahnya dihabiskan di pesantren. Tapi iapun sempat sempat belajar di
sekolah Bumiputra pemerintah angka dua selama 8 bulan. Ketika saatnya harus
mencari uang sendiri, iapun berkecimpung menjadi pedagang batik dan menjadi
pengusaha yang sukses.
Misbach mulai aktif
terlibatan dalam pergerakan pada tahun 1914, ketika ia berkecimpung dalam IJB
(Indlandsche Journalisten Bond)nya Marco. Dalam tahun 1915, ia menerbitkan
surat kabar Medan Moeslimin, yang edisi pertamanya tertanggal 15 Januari 1915
dan kemudian menerbitkan Islam Bergerak pada tahun 1917. Surat-surat kabar ini
menjadi media gerakan yang sangat populer di Surakarta dan sekitarnya.
Marco, salah satu
orang pimpinan gerakan pada saat itu berkisah tentang Misbach: "..Di
pemandangan Misbach tidak ada beda di antara seorang pencuri biasa dengan orang
yang dikata berpangkat, begitu juga di antara rebana dan klenengan, di antara
bok Haji yang bertutup muka dan orang bersorban cara Arab dan berkain kepala
cara Jawa. Dan sebab itu dia lebih gemar memaki kain kepala dari pada memakai
peci Turki atau bersorban seperti pakaian kebanyakan orang yang disebut
"Haji".
Apa yang tersirat
dari tulisan Marco adalah populisme Misbach. Populisme seorang Haji, sekaligus
pedagang yang sadar akan penindasan kolonialis Belanda dan tertarik dengan
ide-ide revolusioner yang mulai menerpa Hindia pada jaman itu. Tapi ia kemudian
bukan sekedar prihatin tapi langsung terjun melakukan pengorganisiran di
basis-basis rakyat. Membentuk organisasi dan melakukan pemogokan-pemogokan
ataupun rapat-rapat umum yang dijadikan arena pemblejetan atas kolonialisme dan
kapitalisme. Bulan Mei 1919 akibat pemogokan-pemogokan petani yang dipimpinnya,
Misbach beserta banyak pemimpin-pemimpin pergerakan di Surakarta ditangkap.
Pada 16 Mei 1920 ditangkap kembali ditangkap dan dipenjarakan di Pekalongan
selama 2 tahun 3 bulan. Pada 22 Agustus 1922 dia kembali ke rumahnya di Kauman,
Surakarta. Maret 1923, ia sudah muncul sebagai propagandis PKI/SI Merah dan
berbicara tentang keselarasan antara paham Komunis dan Islam. Bulan Juli 1924
ia ditangkap dan dibuang ke Manokwari dengan tuduhan mendalangi
pemogokan-pemogokan dan teror-teror/sabotase di Surakarta dan sekitarnya.
Walaupun bukan yang pertama diasingkan tapi ia-lah orang yang pertama yang
sesungguhnya berangkat ke tanah pengasingan di kawasan Hindia sendiri.
24 Mei 1926 Misbach
meninggal dunia akibat malaria. Dia dikuburkan oleh kader-kader yang berhasil
dia organisir dalam SR (Serikat Rakyat) Manokwari di Kuburan Penindi,
Manokwari, berdampingan dengan istrinya.
Disarikan secara bebas dari buku Zaman
Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Karya Taskashi Shiraishi.
Stalinisme
Lenin menganggap
bahwa untuk transisi menuju Sosialisme butuh Pemerintahan Revolusioner Buruh
Tani, Stalin menginterpretasikannya dengan Pemerintahan Partai yang
mengatasnamakan buruh-tani.Ya, kami setuju. Dalam kiriman ini dan satu kiriman
tambahan kami lampirkan analisis tentang Stalinisme yang telah terbit di
"Suara Sosialis". Jangan lupa, tidak semua partai Komunis yang
menjadi "fasis" seperti Stalin dan Pol Pot, ada juga yang telah
menjadi sosial-demokrat moderate (jinak) seperti di Eropa dan India. Coba PKI
hidup kembali di Indonesia, mungkin saja menjadi seperti partai-partai itu.
FENOMENA STALINISME DI RUSIA
(Dari John Molyneux, “Mana Tradisi Marxis
Yang Sejati?”)
Stalinisme berangkat
dari titik tolak yang sangat berbeda daripada Kautskyisme (sosial demokrasi).
Stalinisme timbul di dalam tubuh Partai Bolshevik di tahun-tahun setelah perang
sipil di Rusia, dan meraih posisi dominan melalui sederetan perjuangan intern
selama tahun 1920-an, sampai akhirnya dapat menguasai partai itu secara absolut
sejak tahun 1928-29. Dus, teori Stalinisme berkembang secara evolusioner dari
Leninisme – yaitu dari versi Marxisme yang memandu revolusi buruh ke kemenangan
pada bulan Oktober 1917. Sifat-sifat pokok Leninisme adalah sikap revolusioner
yang teguh, internasionalisme yang prinsipiil, analisis tentang (dan perlawanan
terhadap) imperialisme, strategi revolusioner untuk menghapuskan aparatus
negara borjuis dan menggantinya dengan dewan-dewan buruh, dan konsep partai
“pelopor” (vanguard) yang harus melakukan intervensi aktif dalam perjuangan
politik. Namun, keadaan materiil yang menimbulkan Stalinisme bertentangan
dengan titik tolak Leninis ini. Kelas buruh Rusia, yang pada tahun 1917 telah
meraih puncak kesadaran dan perjuangan revolusioner yang paling tinggi dalam
sejarah, hampir tiada lagi.
Selama perang sipil,
mayoritas besar kaum buruh yang paling sadar dan militan meninggal dalam
pertempuran, ataupun menjadi pejabat negara. Setelah dilanda dari dampak Perang
Dunia, revolusi dan perang sipil, ekonomi Rusia ambruk secara total. Produksi
industrial bruto anjlok menjadi hanya 31% dari tingkat produski tahun 1913,
sistem angkutan umum runtuh, penyakit-penyakit mewabah dan rakyat menderita
kelaparan. Jumlah buruh industrial jatuh dari 3 juta di tahun 1917 menjadi 1.25
juta di tahun 1921, dan mereka yang masih bekerja hampir kehabisan tenaga.
Seperti ditulis Lenin pada tahun 1921: “Proletariat industrial … di negeri kita,
telah kehilangan wataknya sebagai kelas buruh karena perang dan kemiskinan yang
mengerikan; artinya, telah disimpangkan dari jalurnya dan berhenti menjadi
proletariat sama sekali.” Partai Bolshevik ibaratnya tergantung di dalam sebuah
ruang hampa. Untuk menjalankan administrasi dalam negeri, kaum Bolshevik
terpaksa harus menerima dan mempekerjakan pejabat-pejabat dalam jumlah yang
besar dari bekas pemerintahan Tsar, sehingga pemerintah Bolshevik menjadi
semakin birokratis, walaupun ini sama sekali tidak diinginkan.
Pada dasarnya sebuah
birokrasi merupakan sebuah hirarki dari pejabat-pejabat yang lepas dari kontrol
demokratis rakyat. Para Marxis Rusia (termasuk Lenin) selalu mengandalkan pada
kaum buruh revolusioner untuk mencegah timbulnya birokrasi, tetapi kelas buruh
di Rusia seperti bubar. Dalam situasi ini, program Marxis tidak mungkin
diterapkan secara penuh. Secara sementara kaum Bolsehevik dapat bersiasat
dengan menjalankan beberapa kebijakan kompromi seperti “Kebijakan Ekonomi Baru”
(Novaya Ekonomischiskaya Politika atau NEP), yaitu ekonomi terpadu dengan
unsur-unsur kapitalisme swasta; dan sekaligus menunggu pertolongan yang
diharapkan dari revolusi internasional. Namun revolusi internasional tidak
terjadi. Alhasil para Bolshevik tinggal memilih antara dua alternatif yang
bertentangan. Mereka bisa memegang terus prinsip-prinsip sosialisme, dengan
menerima risiko mereka akan kehilangan kekuasaan sama sekali, atau mereka bisa
memegang kekuasaan dengan mengkhianati prinsip-prinsip sosialisme. Situasinya
sangat kompleks dan kedua alternatif ini tidak dimengerti oleh para pelaku
dengan jelas waktu itu, tetapi pada dasarnya alternatif yang pertama menjadi
titik tolak untuk Trotsky, sedangkan alternatif yang kedua menjadi titak tolak
untuk Stalin. Namun, aliran Stalinis tidak memungkiri prinsip-prinsip Lenin dan
Marx secara terbuka. Untuk terus beruntung dari prestise Lenin, para Stalinis
harus menjalankan dua strategi yang berkaitan. Strategi yang pertama adalah
menjelmakan Marxisme-Leninisme dari sebuah gagagasan yang selalu berkembang,
dan selalu berorientasi pada praktek konkrit, menjadi sebua dogma – sebuah
“agama” resmi. Bahwa pemikiran Stalin sendiri mengarah kesitu sudah menjadi
jelas dari “sumpah untuk Lenin” yang diungkapkannya setelah wafatnya Lenin;
sebuah sumpah yang penuh dengan bahasa berbau agamis.
Buku Dasar-dasar
Leninisme karya Stalin menyusun pikiran-pikiran Lenin secara mekanis menjadi
sebuah “kitab suci” buat “agama” tersebut, yang kemudian disusul oleh cucuran
tulisan resmi lain yang serupa, sampai dengan runtuhnya Uni Soviet pada awal
tahun 1990-an. Dengan cara ini, “Marxisme” Stalinis terpisah dari praktek
revolsioner kelas buruh sendiri. Gagasan ini tidak lagi merupakan upaya untuk
mengubah realitas sosial, sebaliknya berfungsi untuk melegitimasi realitas
tersebut termasuk tirani Stalin dan para penerusnya. Akan tetapi, gagasan
Leninis tidak bisa dibalsem dan diawetkan begitu saja -- seperti mayat Lenin di
dalam makamnya di Moskow. Jurang antara teori dan realitas menjadi sebegitu luasnya
sehingga berapa “amandeman” harus dilakukan dalam teorinya. Hal ini
mengharuskan strategi yang kedua yang dijalankan para Stalinis: revisi dari
Marxisme dan Leninisme untuk mebuatnya cocok dengan praktek Stalinis.
Dengan menyimak
proses revisi tersebut kita akan mebuka inti hakekat dari “Marxisme” Stalinis
dan golongan sosial mana yang beruntung dari teori revisionis tersebut.
Amendeman yang terpenting adalah rumusan tentang “sosialisme dalam satu
negeri”, yang diumumkan oleh Stalin untuk pertama kalinya pada tahun 1924.
Penerapan rumusan ini perlu disimak secara bersegi ganda: bagaimana diterapkan,
mengapa diterapkan, demi kepentingan siapa, dengan akibat yang mana? Rumusan
“sosialisme dalam satu negeri” merupakan sebuah pemutusan yang radikal dengan
sikap internasionalis Marx dan Lenin, bahkan bertentangan dengan sikap yang
diambil oleh Stalin sendiri beberapa bulan sebelumnya. Stalin menulis dalam
edisi pertama dari “Dasar-dasar Leninisme” yang terbit pada bulan April 1924:
“Tugas utama dalam menerapkan sosialisme – pengorganisasian produksi sosialis –
masih belum dijalankan. Apakah tugas ini dapat diselesaikan, apakah kemenangan
terakhir dari sosialisme dapat tercapai tanpa upaya bersama oleh proletariat
beberapa negeri maju? Tidak, itu mustahil.” Stalin “memecahkan” kontradisi ini
dengan mengubah kalimat tersebut sampai artiannya diputarbalikkan (“Setelah
mengkonsolidasikan kekuasaannya serta memimpin kelas petani, proletariat dapat
dan harus membangun sebuah masyarakat sosialis.”) dan menyuruh edisi pertama
ditarik dari peredaran. Tidak ada analisis baru yang diajukan, hanya sebuah
rumusan “ortodox” baru yang ditambahkan secara serampangan. Selain kalimat ini,
sisa teksnya tidak dirubah, walau tetap memuat beberapa rumusan yang
bertentangan dengan argumentasi baru itu. Baru pada tahun-tahun kemudian
“analisis-analisis” tambahan direkayasa untuk membenarkan argumentasi baru
tersebut. Cara berargumentasi yang mekanis ini bukan merupakan perkecualian,
sebaliknya menjadi sangat umum.
Saat partai-partai sosial-demokrat
di barat berubah (menurut Stalin) dari sekutu-sekutu (1925-27) menjadi musuh
utama (1928-33) kemudian berubah kembali menjadi sekutu lagi (1934-39),
perubahan garis politik ini tidak berdasarkan pada analisis baru terhadap
sosial-demokrasi. Perubahan itu diumumkam saja secara sewenang-wenang, kemudian
analisis-analisis resmi dari gerakan komunis harus meyesuaikan diri. “Rahasia”
metode Stalin ini bukan berarti bahwa dia tidak memiliki analisis, melainkan
bahwa analisisnya tidak boleh diucapkan secara terbuka. Karena norma-norma dan
tujuan-tunjuan yang sebenarnya sudah bukan Marxis lagi. Kenapa Stalin
mengajukan rumusan baru mengenai “sosialisme dalam satu negeri” itu? Pasti
sebagai reaksi pesimis terhadap kekalahan Revolusi Jerman tahun 1924 dan
stabilisasi kapitalisme internasional yang menyusul. Stalin adalah pemimpin
Bolshevik yang paling picik dan tidak pernah betul-betul berminat pada revolusi
global, tetapi ini belum menjelaskan reaksinya secara penuh. Jawabannya ialah
bahwa rumusan “sosialisme dalam satu negeri” 100% cocok dengan kepentingan dan
cita-cita kaum birokrat yang semakin menguasai negara Soviet. Mereka ingin
kembali ke kesebuah kehidupan stabil yang tidak lagi diganggu oleh petualangan
revolusioner internasional. Di saat yang sama, mereka memerlukan sebuah
semboyan yang mengungkapkan tujuan mereka itu.
Seperti dikatakan
Trotsky, slogan “sosialisme dalam satu negeri mengucapkan suasana hati
birokrasi … Ketika mereka mendengungkan kemenangan sosialisme, yang dimaksudkan
adalah kemenangan mereka sendiri.” Seperti telah kita lihat di atas, Stalin
mengajukan teori baru ini tanpa banyak cingcong (justru untuk menyembunyikan
revisi teoritis yang sedang dilaksanakan). Tetapi sebetulnya ini merupakan
perubahan yang radikal dalam orientasi rezim Soviet, dengan akibat yang sangat
luas. Uni Soviet terisolasi di hadapan dunia kapitalis yang bermusuhan – sebuah
dunia kapitalis yang telah membuktikan keinginannya untuk mencekik revolusi
Rusia dengan intervensi militer selama perang sipil, dan (seperti ditegaskan
Lenin) masih jauh lebih kuat daripada negara soviet. Strategi yang diterapkan
oleh Lenin dan Trotsky, walau tentu saja mencakup upaya militer defensif yang
nekad, namun pada dasarnya mengandalkan pada perjuangan revolusioner kelas buruh
sedunia untuk menjatuhkan sistem kapitalisme. Kebijakan “sosialisme dalam satu
negeri” memutarbalikkan orientasi ini. Harapan pada revolusi internasional
diganti dengan kepercayaan pada kekuatan aparatus negara nasional Soviet,
dengan konsekuensi yang amat luas.
Untuk membela negara
Soviet, rezim Stalinis memerlukan angkatan bersenjata dan persenjataan sekuat
negara-negara kapitalis. Itu tidak mungkin tercapai tanpa industri-industri
kuat yang bisa menghasilkan surplus-surplus modal untuk membiayai kepentingan
militer tersebut. Seperti dinyatakan Stalin sendiri saat beberapa pejabat ingin
melonggarkan tempo proses industrialisasi:
“Jangan, kawan-kawan
… Temponya tidak boleh dilonggarkan! Sebaliknya, harus dipercepat sedapat
mungkin sesuai dengan kemampuan kita saat ini. Melonggarkan tempo berarti
ketinggalan, dan yang tertinggal akan kalah. Kita tidak ingin kalah – tidak
mau! … Sampai saat ini kita masih tertinggal sejauh 50 atau 100 tahun di
belakang negara-negara maju. Kita harus mengejarnya dalam kurun waktu 10 tahun;
kalau tidak mampu, kita akan dihancurkan.”
Tetapi Rusia adalah
negeri miskin, miskin sekali dibandingkan dengan negara-negara barat.
Produktivitas kerjanya sangat rendah. Rencana industrialisasi membutukan
penanaman modal secara besar-besaran yang tidak bisa diperoleh dari pasar modal
kapitalis internasional, sehingga hanya tinggal satu sumber lain: kerja kaum
buruh dan kaum tani. Sebuah surplus raksasa harus diperoleh dan ditanam kembali
guna merangsang pertumbuhan industri; tetapi dalam situasi di mana kebanyakan
warga Rusia hidup melarat, surplus semacam itu tidak mungkin diambil dari
rakyat pekerja secara sukarela. Hanya dapat diperoleh melalui eksploitasi
secara paksa. Dan eksploitasi itu hanya bisa dijalankan kalau ada golongan
sosial yang ingin menjalankannya – sebuah kelas penguasa yang lepas dari beban
eksploitasi tersebut, dan yang justru akan beruntung dari proses akumulasi
modal ini. Itulah sebabnya birokrasi Soviet menjadi sebuah kelas penguasa, dan
akibat dari rumusan “sosialisme dalam satu negeri” adalah sebuah masyarakat
yang sama sekali bukan sosialis, melainkan kapitalis negara.
Rumusan itu juga
berakibat di bidang teori. Kebanyakan warga Rusia bukan buruh, melainkan
petani. Walau Marx dan Lenin mengakui kemungkinan sebuah persekutuan antara
kedua kelas ini dalam melawan para kapitalis dan tuan tanah, mereka selalu
menegaskan bahwa kaum tani bukanlah sebuah kelas sosialis. Menurut Lenin:
“Gerakan kelas petani … bukanlah sebuah perjuangan melawan dasar-dasar
kapitalisme, melainkan sebuah perjuangan untuk membersihkan dasar-dasar
tersebut dari sisa-sisa feodal.” Akan tetapi jika Rusia ingin menjalankan
“sosialisme” secara terpisah dari dunia luar, maka gagasan ini jelas harus
dirubah. Maka selama beberapa waktu Stalin (dan sekutunya Nikolai Bukharin)
mengajukan ide bahwa kelas petani bisa “beralih secara berangsur-angsur”
menjadi kelas sosialis. Dalam kenyataan, kelas petani bakal dihancurkan oleh
proses kolektivisasi paksa tahun 1929-33, karena mereka merupakan halangan
untuk dibangunnya kapitalisme negara. Tetapi sebelum itu, sebagai akibat dari
upaya teoretis Stalini dan Bukharin tersebut, perbedaan antara kelas buruh dan
kelas petani dikaburkan dalam “Marxisme” Stalinis.
Lenin menganggap
bahwa untuk transisi menuju
Sosialisme butuh Pemerintahan
Revolusioner Buruh Tani, Stalin menginterpretasikannya dengan Pemerintahan
Partai yang mengatasnamakan buruh-tani.
Ya, kami setuju.
Dalam kiriman ini dan satu kiriman tambahan kami lampirkan analisis tentang
Stalinisme yang telah terbit di "Suara Sosialis". Jangan lupa, tidak
semua partai Komunis yang menjadi "fasis" seperti Stalin dan Pol Pot,
ada juga yang telah menjadi sosial-demokrat moderate (jinak) seperti di Eropa
dan India. Coba PKI hidup kembali di Indonesia, mungkin saja menjadi seperti
partai-partai itu.
FENOMENA STALINISME DI RUSIA
(Dari John Molyneux, “Mana Tradisi Marxis
Yang Sejati?”)
Stalinisme berangkat
dari titik tolak yang sangat berbeda daripada Kautskyisme (sosial demokrasi).
Stalinisme timbul di dalam tubuh Partai Bolshevik di tahun-tahun setelah perang
sipil di Rusia, dan meraih posisi dominan melalui sederetan perjuangan intern
selama tahun 1920-an, sampai akhirnya dapat menguasai partai itu secara absolut
sejak tahun 1928-29. Dus, teori Stalinisme berkembang secara evolusioner dari
Leninisme – yaitu dari versi Marxisme yang memandu revolusi buruh ke kemenangan
pada bulan Oktober 1917. Sifat-sifat pokok Leninisme adalah sikap revolusioner
yang teguh, internasionalisme yang prinsipiil, analisis tentang (dan perlawanan
terhadap) imperialisme, strategi revolusioner untuk menghapuskan aparatus
negara borjuis dan menggantinya dengan dewan-dewan buruh, dan konsep partai
“pelopor” (vanguard) yang harus melakukan intervensi aktif dalam perjuangan
politik.
Namun, keadaan
materiil yang menimbulkan Stalinisme bertentangan dengan titik tolak Leninis
ini. Kelas buruh Rusia, yang pada tahun 1917 telah meraih puncak kesadaran dan
perjuangan revolusioner yang paling tinggi dalam sejarah, hampir tiada lagi.
Selama perang sipil, mayoritas besar kaum buruh yang paling sadar dan militan
meninggal dalam pertempuran, ataupun menjadi pejabat negara. Setelah dilanda
dari dampak Perang Dunia, revolusi dan perang sipil, ekonomi Rusia ambruk
secara total. Produksi industrial bruto anjlok menjadi hanya 31% dari tingkat
produski tahun 1913, sistem angkutan umum runtuh, penyakit-penyakit mewabah dan
rakyat menderita kelaparan.
Jumlah buruh
industrial jatuh dari 3 juta di tahun 1917 menjadi 1.25 juta di tahun 1921, dan
mereka yang masih bekerja hampir kehabisan tenaga. Seperti ditulis Lenin pada
tahun 1921:
“Proletariat
industrial … di negeri kita, telah kehilangan wataknya sebagai kelas buruh
karena perang dan kemiskinan yang mengerikan; artinya, telah disimpangkan dari
jalurnya dan berhenti menjadi proletariat sama sekali.”
Partai Bolshevik
ibaratnya tergantung di dalam sebuah ruang hampa. Untuk menjalankan
administrasi dalam negeri, kaum Bolshevik terpaksa harus menerima dan
mempekerjakan pejabat-pejabat dalam jumlah yang besar dari bekas pemerintahan
Tsar, sehingga pemerintah Bolshevik menjadi semakin birokratis, walaupun ini
sama sekali tidak diinginkan. Pada dasarnya sebuah birokrasi merupakan sebuah
hirarki dari pejabat-pejabat yang lepas dari kontrol demokratis rakyat. Para
Marxis Rusia (termasuk Lenin) selalu mengandalkan pada kaum buruh revolusioner
untuk mencegah timbulnya birokrasi, tetapi kelas buruh di Rusia seperti bubar.
Dalam situasi ini, program Marxis tidak mungkin diterapkan secara penuh. Secara
sementara kaum Bolsehevik dapat bersiasat dengan menjalankan beberapa kebijakan
kompromi seperti “Kebijakan Ekonomi Baru” (Novaya Ekonomischiskaya Politika
atau NEP), yaitu ekonomi terpadu dengan unsur-unsur kapitalisme swasta; dan sekaligus
menunggu pertolongan yang diharapkan dari revolusi internasional. Namun
revolusi internasional tidak terjadi. Alhasil para Bolshevik tinggal memilih
antara dua alternatif yang bertentangan. Mereka bisa memegang terus
prinsip-prinsip sosialisme, dengan menerima risiko mereka akan kehilangan
kekuasaan sama sekali, atau mereka bisa memegang kekuasaan dengan mengkhianati
prinsip-prinsip sosialisme. Situasinya sangat kompleks dan kedua alternatif ini
tidak dimengerti oleh para pelaku dengan jelas waktu itu, tetapi pada dasarnya
alternatif yang pertama menjadi titik tolak untuk Trotsky, sedangkan alternatif
yang kedua menjadi titak tolak untuk Stalin.
Namun, aliran
Stalinis tidak memungkiri prinsip-prinsip Lenin dan Marx secara terbuka. Untuk
terus beruntung dari prestise Lenin, para Stalinis harus menjalankan dua
strategi yang berkaitan. Strategi yang pertama adalah menjelmakan
Marxisme-Leninisme dari sebuah gagagasan yang selalu berkembang, dan selalu
berorientasi pada praktek konkrit, menjadi sebua dogma – sebuah “agama” resmi.
Bahwa pemikiran Stalin sendiri mengarah kesitu sudah menjadi jelas dari “sumpah
untuk Lenin” yang diungkapkannya setelah wafatnya Lenin; sebuah sumpah yang
penuh dengan bahasa berbau agamis. Buku Dasar-dasar Leninisme karya Stalin menyusun
pikiran-pikiran Lenin secara mekanis menjadi sebuah “kitab suci” buat “agama”
tersebut, yang kemudian disusul oleh cucuran tulisan resmi lain yang serupa,
sampai dengan runtuhnya Uni Soviet pada awal tahun 1990-an. Dengan cara ini,
“Marxisme” Stalinis terpisah dari praktek revolsioner kelas buruh sendiri.
Gagasan ini tidak lagi merupakan upaya untuk mengubah realitas sosial,
sebaliknya berfungsi untuk melegitimasi realitas tersebut termasuk tirani
Stalin dan para penerusnya.
Akan tetapi, gagasan
Leninis tidak bisa dibalsem dan diawetkan begitu saja -- seperti mayat Lenin di
dalam makamnya di Moskow. Jurang antara teori dan realitas menjadi sebegitu
luasnya sehingga berapa “amandeman” harus dilakukan dalam teorinya. Hal ini
mengharuskan strategi yang kedua yang dijalankan para Stalinis: revisi dari
Marxisme dan Leninisme untuk mebuatnya cocok dengan praktek Stalinis. Dengan
menyimak proses revisi tersebut kita akan mebuka inti hakekat dari “Marxisme”
Stalinis dan golongan sosial mana yang beruntung dari teori revisionis
tersebut.
Amendeman yang
terpenting adalah rumusan tentang “sosialisme dalam satu negeri”, yang
diumumkan oleh Stalin untuk pertama kalinya pada tahun 1924. Penerapan rumusan
ini perlu disimak secara bersegi ganda: bagaimana diterapkan, mengapa
diterapkan, demi kepentingan siapa, dengan akibat yang mana?
Rumusan “sosialisme
dalam satu negeri” merupakan sebuah pemutusan yang radikal dengan sikap
internasionalis Marx dan Lenin, bahkan bertentangan dengan sikap yang diambil
oleh Stalin sendiri beberapa bulan sebelumnya. Stalin menulis dalam edisi
pertama dari “Dasar-dasar Leninisme” yang terbit pada bulan April 1924:
“Tugas utama dalam
menerapkan sosialisme – pengorganisasian produksi sosialis – masih belum
dijalankan. Apakah tugas ini dapat diselesaikan, apakah kemenangan terakhir
dari sosialisme dapat tercapai tanpa upaya bersama oleh proletariat beberapa
negeri maju? Tidak, itu mustahil.”
Stalin “memecahkan”
kontradisi ini dengan mengubah kalimat tersebut sampai artiannya
diputarbalikkan (“Setelah mengkonsolidasikan kekuasaannya serta memimpin kelas
petani, proletariat dapat dan harus membangun sebuah masyarakat sosialis.”) dan
menyuruh edisi pertama ditarik dari peredaran. Tidak ada analisis baru yang
diajukan, hanya sebuah rumusan “ortodox” baru yang ditambahkan secara
serampangan. Selain kalimat ini, sisa teksnya tidak dirubah, walau tetap memuat
beberapa rumusan yang bertentangan dengan argumentasi baru itu. Baru pada
tahun-tahun kemudian “analisis-analisis” tambahan direkayasa untuk membenarkan
argumentasi baru tersebut.
Cara berargumentasi
yang mekanis ini bukan merupakan perkecualian, sebaliknya menjadi sangat umum.
Saat partai-partai sosial-demokrat di barat berubah (menurut Stalin) dari
sekutu-sekutu (1925-27) menjadi musuh utama (1928-33) kemudian berubah kembali
menjadi sekutu lagi (1934-39), perubahan garis politik ini tidak berdasarkan
pada analisis baru terhadap sosial-demokrasi. Perubahan itu diumumkam saja
secara sewenang-wenang, kemudian analisis-analisis resmi dari gerakan komunis
harus meyesuaikan diri. “Rahasia” metode Stalin ini bukan berarti bahwa dia
tidak memiliki analisis, melainkan bahwa analisisnya tidak boleh diucapkan
secara terbuka. Karena norma-norma dan tujuan-tunjuan yang sebenarnya sudah
bukan Marxis lagi.
Kenapa Stalin
mengajukan rumusan baru mengenai “sosialisme dalam satu negeri” itu? Pasti
sebagai reaksi pesimis terhadap kekalahan Revolusi Jerman tahun 1924 dan
stabilisasi kapitalisme internasional yang menyusul. Stalin adalah pemimpin
Bolshevik yang paling picik dan tidak pernah betul-betul berminat pada revolusi
global, tetapi ini belum menjelaskan reaksinya secara penuh. Jawabannya ialah
bahwa rumusan “sosialisme dalam satu negeri” 100% cocok dengan kepentingan dan
cita-cita kaum birokrat yang semakin menguasai negara Soviet. Mereka ingin
kembali ke kesebuah kehidupan stabil yang tidak lagi diganggu oleh petualangan
revolusioner internasional. Di saat yang sama, mereka memerlukan sebuah
semboyan yang mengungkapkan tujuan mereka itu. Seperti dikatakan Trotsky, slogan
“sosialisme dalam satu negeri mengucapkan suasana hati birokrasi … Ketika
mereka mendengungkan kemenangan sosialisme, yang dimaksudkan adalah kemenangan
mereka sendiri.”
Seperti telah kita
lihat di atas, Stalin mengajukan teori baru ini tanpa banyak cingcong (justru
untuk menyembunyikan revisi teoritis yang sedang dilaksanakan). Tetapi
sebetulnya ini merupakan perubahan yang radikal dalam orientasi rezim Soviet,
dengan akibat yang sangat luas. Uni Soviet terisolasi di hadapan dunia
kapitalis yang bermusuhan – sebuah dunia kapitalis yang telah membuktikan
keinginannya untuk mencekik revolusi Rusia dengan intervensi militer selama
perang sipil, dan (seperti ditegaskan Lenin) masih jauh lebih kuat daripada
negara soviet. Strategi yang diterapkan oleh Lenin dan Trotsky, walau tentu
saja mencakup upaya militer defensif yang nekad, namun pada dasarnya
mengandalkan pada perjuangan revolusioner kelas buruh sedunia untuk menjatuhkan
sistem kapitalisme. Kebijakan “sosialisme dalam satu negeri” memutarbalikkan orientasi
ini. Harapan pada revolusi internasional diganti dengan kepercayaan pada
kekuatan aparatus negara nasional Soviet, dengan konsekuensi yang amat luas.
Untuk membela negara
Soviet, rezim Stalinis memerlukan angkatan bersenjata dan persenjataan sekuat
negara-negara kapitalis. Itu tidak mungkin tercapai tanpa industri-industri
kuat yang bisa menghasilkan surplus-surplus modal untuk membiayai kepentingan
militer tersebut. Seperti dinyatakan Stalin sendiri saat beberapa pejabat ingin
melonggarkan tempo proses industrialisasi:
Jangan, kawan-kawan …
Temponya tidak boleh dilonggarkan! Sebaliknya, harus dipercepat sedapat mungkin
sesuai dengan kemampuan kita saat ini. Melonggarkan tempo berarti ketinggalan,
dan yang tertinggal akan kalah. Kita tidak ingin kalah – tidak mau! … Sampai
saat ini kita masih tertinggal sejauh 50 atau 100 tahun di belakang
negara-negara maju. Kita harus mengejarnya dalam kurun waktu 10 tahun; kalau
tidak mampu, kita akan dihancurkan.”
Tetapi Rusia adalah
negeri miskin, miskin sekali dibandingkan dengan negara-negara barat.
Produktivitas kerjanya sangat rendah. Rencana industrialisasi membutukan
penanaman modal secara besar-besaran yang tidak bisa diperoleh dari pasar modal
kapitalis internasional, sehingga hanya tinggal satu sumber lain: kerja kaum
buruh dan kaum tani. Sebuah surplus raksasa harus diperoleh dan ditanam kembali
guna merangsang pertumbuhan industri; tetapi dalam situasi di mana kebanyakan
warga Rusia hidup melarat, surplus semacam itu tidak mungkin diambil dari
rakyat pekerja secara sukarela. Hanya dapat diperoleh melalui eksploitasi
secara paksa. Dan eksploitasi itu hanya bisa dijalankan kalau ada golongan
sosial yang ingin menjalankannya – sebuah kelas penguasa yang lepas dari beban
eksploitasi tersebut, dan yang justru akan beruntung dari proses akumulasi
modal ini. Itulah sebabnya birokrasi Soviet menjadi sebuah kelas penguasa, dan
akibat dari rumusan “sosialisme dalam satu negeri” adalah sebuah masyarakat
yang sama sekali bukan sosialis, melainkan kapitalis negara.
Rumusan itu juga
berakibat di bidang teori. Kebanyakan warga Rusia bukan buruh, melainkan
petani. Walau Marx dan Lenin mengakui kemungkinan sebuah persekutuan antara
kedua kelas ini dalam melawan para kapitalis dan tuan tanah, mereka selalu
menegaskan bahwa kaum tani bukanlah sebuah kelas sosialis. Menurut Lenin:
“Gerakan kelas petani … bukanlah sebuah perjuangan melawan dasar-dasar
kapitalisme, melainkan sebuah perjuangan untuk membersihkan dasar-dasar
tersebut dari sisa-sisa feodal.” Akan tetapi jika Rusia ingin menjalankan
“sosialisme” secara terpisah dari dunia luar, maka gagasan ini jelas harus
dirubah. Maka selama beberapa waktu Stalin (dan sekutunya Nikolai Bukharin)
mengajukan ide bahwa kelas petani bisa “beralih secara berangsur-angsur”
menjadi kelas sosialis. Dalam kenyataan, kelas petani bakal dihancurkan oleh
proses kolektivisasi paksa tahun 1929-33, karena mereka merupakan halangan
untuk dibangunnya kapitalisme negara. Tetapi sebelum itu, sebagai akibat dari
upaya teoretis Stalini dan Bukharin tersebut, perbedaan antara kelas buruh dan
kelas petani dikaburkan dalam “Marxisme” Stalinis.
Teori Marxis tentang
imperialisme juga menjadi korban. Teori ini dikembangkan oleh Rosa Luxemburg,
Bukharin dan Lenin sebagai analisis mengenai tahap terbaru dalam kapitalisme
internasional – dan dengan sendirinya memprioritaskan sistem ekonomi global
sebagai faktor penentu.
Rumusan “sosialisme dalam satu negeri”
jelas tidak cocok dengan argumentasi klasik ini. Dalam perdebatan dengan
Oposisi Kiri yang dipimpin oleh Trotsky, yang menegaskan bahwa Marx dan Engels
telah menolak “sosialisme nasional”, Stalin malah berargumentasi bahwa
sosialisme dalam satu negeri memang mustahil di masa lampau, tetapi menjadi
mungkin di era imperialis yang disifati oleh “perkembangan yang tidak merata”.
Dengan cara ini Stalin menghilangkan isi pokok yang sebenarnya dari teori
imperialisme, dan mereduksinya menjadi semacam teori anti-kolonial saja, yang
bukan khas Marxis lagi dan bisa disesuaikan dengan nasionalisme.
Selain itu, logika
“sosialisme dalam satu negeri” memporak-porandakan teori Marxis tentang
aparatus negara. Pada tahun 1934 Stalin sudah mengklaim bahwa sosialisme telah
dibangun di Rusia, dengan argumentasi bahwa dengan transformasi kelas petani
menjadi pekerja yang diupah oleh negara, kelas-kelas tidak ada lagi di Uni
Soviet. Birokrasi negara tentu saja bukan kelas sosial di mata Stalin.
Seandainya sosialisme sudah dibangun, aparatus negara (sebagai aparatus untuk
kekuasaan berkelas) seharusnya mulai lenyap. Tetapi negara Stalinis sama sekali
tidak berniat untuk lenyap, dan hal ini tidak bisa disembunyikan dengan
propaganda yang mana pun.
Stalin menangani
kontradiksi ini dengan mengatakan, bahwa Marx dan Engels meramalkan hilangnya
aparatus negara karena mereka melihat sosialisme sebagai fenomena
internasional. Selama sosialisme hanya berdiri dalam satu negeri saja, negara
justru harus diperkuat! Argumentasi yang tak berujung pangkal ini tentunya
hanya efektif jika siapapun yang membantah akan menghadapi skuadron tembak.
Negara “sosialis” ini
mewakili kepentingan kelas yang mana? Stalin tidak bisa menyebutnya “negara
buruh”, karena Uni Soviet sudah digembar-gemborkan sebagai masyarakat tanpa
kelas – dan memang harus digambarkan begitu untuk menyanggah klaim bahwa
sosialisme telah dibangun. Satu-satunya jalan keluar adalah dengan mengatakan
bahwa negara Soviet telah menjadi “negara seluruh rakyat”. Rumusan yang khas
borjuis ini telah diserang oleh Marx dalam “Kritik Terhadap Program Gotha” dan
Lenin dalam “Negara dan Revolusi”. Mengapa disambut dengan hangat oleh
birokrasi Soviet? Karena birokrasi itu memang memainkan peranan yang sama
dengan borjuasi di barat. Di saat yang sama, juga seperti borjuasi itu,
birokrasi tidak ingin berterus-terang tentang statusnya sebagai kelas penguasa,
sehingga lebih suka mendefinisikan aparatus negara sebagai “negara seluruh
rakyat”.
Kita perlu mencatat
baik persamaan maupun perbedaan antara Stalinisme dan Kautskyisme. Keduanya
memisahkan teori dari praktek, sedangkan praktek dan teori disatukan oleh
Marxisme. Keduanya bersahabat dengan aparatus negara, sedangkan Marx dan Lenin
ingin menghilangkan aparatus tersebut (menurut Lenin, sebuah negara buruh
“sudah bukan lagi negara dalam artian aslinya”). Keduanya bergeser dari
internasionalisme Marxis ke sikap nasionalis. Namun ada juga sejumlah perbedaan
yang menyolok. Kautsky membuat tumpul teori dan praktek Marxisme menjadi
strategi parlementer saja. Stalinisme tetap sangat “revolusioner” dalam
kata-kata, sekaligus bertindak secara kontra-revolusioner. Stalin mendengungkan
pemberontakan revolusioner dan “diktatur proletariat”, tetapi dalam praktek
kelas proletarian tersebut ditindas secara mutlak. Kautsky bersahabat terhadap
aparatus negara, tetapi rezim Stalinis mengidolakan negara. Pada awal Perang
Dunia I, Kautsky dkk menyerah kepada nasionalisme dengan perasaan malu;
sedangkan setelah Stalin menerima nasionalisme dengan rumusan “sosialisme dalam
satu negeri”, dia sampai merangkul sovinisme yang ekstrim.
Kemiripan dan
perbedaan ini mencerminkan beberapa sifat dari basis sosial masing-masing kedua
ideologi tersebut. Keduanya merupakan ideologi dari sebuah birokrasi yang
berasal dari gerakan buruh. Namun dalam kasus sosial-demokrasi, birokrasinya
berdiri di tengah-tengah antara proletariat dan borjuasi. Sedangkan di Rusia
kelas borjuis sudah dihancurkan oleh revolusi, dan birokrasi Stalinis sudah
memegang kekuasaan. Ini sebabnya Kautskyisme tampil sebagai semacam “Marxisme
ragu-ragu” yang dapat ditolerir oleh borjuasi, sedangkan Stalinisme menjadi
sebuah “Marxisme” yang angkuh dan kejam. Meski begitu, pada dasarnya Stalinisme
adalah lebih dekat dengan Kautskyisme daripada teori revolusioner Marx dan
Lenin.
Persamaan antara
Stalinisme dan sosial-demokrasi menjadi lebih jelas jika disimak di tingkat
internasional. Stalinisme berdampak besar di luar Uni Soviet, terutama melalui
partai-partai yang bergabung dalam Internasional Komunis (Komintern). Walau
sudah dari awalnya Komintern itu didominasi oleh kepimpinanan Komunis Rusia,
yang sangat berwibawa di mata para komunis seluruh dunia karena telah
menjalankan sebuah revolusi, tetapi pada tahun-tahun pertama masih terjadi perdebatan
yang bebas dan para pimpinan partai-partai lain biasanya tidak segan-segan
untuk menantang kaum Bolshevik. Namun kegagalan perjuangan revolusioner di
Eropa barat antara tahun 1919 dan 1924 mengurangi kepercayaan-diri para komunis
barat. Di saat yang sama, partai-partai di barat dipengaruhi baik oleh bantuan
materiil maupun tekanan birokratis dari pihak Soviet, sehingga mereka semakin
bergantung pada pimpinan Soviet itu. Ketergantungan ini kemudian digunakan oleh
Stalin untuk membelokkan Komintern dari jalan revolusioner sosialis.
Pergeseran tersebut
juga berkaitan dengan teori “sosialisme di satu negeri”. Jika tugas utama,
yaitu membangun sosialisme, dapat dilaksanakan dalam satu negeri saja maka
revolusi internasional, walau mungkin masih dicita-citakan, tidak lagi
diperlukan. Sehingga peranan Partai-partai Komunis cenderung dikurangi menjadi
“satpam” untuk Uni Soviet. Tugas utama mereka adalah untuk menghindari setiap
ancaman militer terhadap Rusia. Untuk itu mereka harus mempengaruhi dan memberi
tekanan kepada kelas-kelas borjuis di negeri-negeri mereka masing-masing, dan
perjuangan revolusioner oleh kaum buruh tidak boleh menganggu tugas utama
mereka ini. Sebagai hasil pertama dari orientasi tersebut, Partai Komunis Cina
disuruh menempatkan diri dibawah terhadap gerakan nasional borjuis “progresif”
Kuomintang, yang mengakibatkan kehancuran gerakan Komunis di tangan Kuomintang
itu; sedangkan Partai Komunis Inggeris juga disuruh menempatkan diri dibawah
terhadap “sayap kiri” pimipinan serikat-serikat buruh reformis, yang mana
mengkhianati pemogokan umum tahun 1926. Kemudian pendekatan yang sama
menyebabkan kekalahan revolusi di Spanyol tahun 1930-an, karena Uni Soviet dan
Partai Komunis Spanyol menomorsatukan upaya untuk bersekutu dengan
negara-negara barat melawan Hitler, dan menomorduakan perjuangan kaum buruh
Spanyol yang betul-betul mampu untuk mengalahkan fasisme di negeri itu.
Akhirnya Komintern sendiri dibubarkan di tengah Perang Dunia Kedua untuk
mengambil hati para pimpinan Amerika Serikat dan Inggeris.
Namun sebelum
Partai-partai Komunis bisa dimanipulasi begini, mereka harus dirubah dulu
secara organisatoris dan ideologis. Kebanyakan para anggota partai-partai
tersebut adalah para buruh revolusioner yang betul-betul ingin menumbangkan
kapitalisme. Mereka hanya menerima teori “sosialisme dalam satu negeri” karena
tidak memahami implikasinya. Lagi pula, keadaan obyektif mereka sebagai buruh
akan mendorong mereka secara senantiasa kepada tindakan yang tidak cocok dengan
peranan “satpam” tadi. Makanya untuk memaksakan perubahan yang mendalam dalam
partai-partai ini, kaum buruh itu harus kehilangan kontrol atas pimpinannya.
Demokrasi dalam Partai-partai Komunis diganti dengan sebuah administrasi yang
birokratis, dan para pemimpin yang tidak ingin menjadi boneka Moskow dicopot
dari jabatan mereka. Kekuatan, gengsi dan duit yang begitu besar dari rezim
Soviet terbukti cukup efektif untuk menjalankan perubahan semacam ini di
seluruh pelosok dunia. Pada akhir tahun 1920-an semua Partai Komunis berada di
tangan kaum birokrat Stalinis.
Meski demikian,
proses perubahan ini masih ada batasannya. Jika Partai-partai Komunis tetap
akan menjadi satpam yang efektif – lebih efektif daripada kaum diplomat soviet
-- mereka harus tetap berbasis massa; di barat, basis itu jelas adalah kelas
buruh. Supaya pengaruh mereka dalam proletariat tidak menyurut, mereka masih
harus menghiraukan aspirasi kaum buruh sendiri, dan kadang-kadang harus
memimpin perjuangan kelas buruh itu. Makanya, seperti birokrasi sosial-demokrat
telah menjadi perantara antara proletariat dan borjuasi (tetapi borjuasi selalu
lebih beruntung), begitu juga birokrasi-birokrasi Komunis menjadi perantara
antara proletariat dan kelas penguasa Stalinis (dan disini, rezim Stalinislah
yang lebih beruntung).
Di saat yang sama,
“sosialisme dalam satu negeri” menimbulkan sejumlah kontradiksi dalam gerakan
komunis internasional. Teori ini pada dasarnya adalah teori nasionalis,
sehingga akhirnya membuka pintu untuk aliran nasionalis dalam semua Partai
Komunis. Seperti ditulis Trotsky:
“Jika sosialisme bisa
tercapai dalam satu negeri, orang bisa saja percaya pada teori itu bukan hanya
setelah terjadinya sebuah revolusi, melainkan juga *sebelumnya*. Jika
sosialisme bisa dibangun di dalam batasan nasional negeri Rusia yang terbelakang
itu, jelas bisa dibangun juga di negeri Jerman yang maju … Ini akan menjadi
titik keberangkatan untuk keretakan dalam Komintern …”
Mula-mula
kecenderungan nasionalis itu tetap laten saja, karena loyalitas para komunis
yang begitu besar kepada Rusia. Tetapi peranan mereka sebagai “satpam”, yang
harus mencari aliansi dengan borjuasi setempat di setiap negeri, akhirnya
menularkan penyakit nasionalis dimana-mana. Perkembangan penyakit tersebut
dirangsang oleh pengalaman Perang Dunia II, yang digembar-gemborkan sebagai
perang patriotik yang mengharuskan kaum buruh untuk menghentikan semua
perjuangan kelas, serta membuat para komunis timbul sebagai pecinta tanah air
yang terkemuka. Seusai Perang Dunia, nasionalisme itu meningkat terus. Di
beberapa negeri dimana Partai-partai Komunis bisa merebut kekuasaan melalui
upaya mereka sendiri (Cina, Yugoslavia, Albania), rezim-rezim baru ini menjadi
sangat nasionalis dan putus dengan Moskow. Di sejumlah negeri Eropa Barat, di
mana Partai-partai Komunis memiliki basis massa yang berarti (terutama di
Italia), ideologi nasionalisme juga menjadi dominan dan bermuara dalam fenomena
“Erokomunisme”.
Kalau kita
mengesampingkan (untuk sementara) perkembangan gerakan komunis di Dunia Ketiga,
dan memusatkan perhatian kepada pola perkembangan di barat saja, apa yang kita
saksikan? Reformisme dan aliansi dengan kelas borjuis, tindakan birokratis
dalam gerakan buruh, dan ideologi nasionalis. Apa bedanya dengan
sosial-demokrasi? Makin lama makin sedikit bedanya, sampai akhirnya Partai-partai
Komunis di barat kebanyakan berubah nama dan platformnya menjadi
sosial-demokrat juga.
Stalinisme di Rusia
dan di barat bentuknya memang berbeda. Di Rusia, Stalinisme
merupakan ideologi dari birokrasi kontra-revolusioner yang menjadi sebuah kelas penguasa baru – kelas
kapitalis negara – walau di bawah lambang dan slogan Marxisme. Sedangkan di
barat, Stalinisme menjelma secara berangsur-angsur dari utusan ideologis rezim
Soviet menjadi sebuah aliran birokratis dalam gerakan buruh yang semakin independen
dari Rusia. Tetapi walau berbeda, kedua macam Stalinisme ini senada dalam
masalah-masalah pokok: kedua-duanya bertentangan dengan emansipasi kelas buruh
sendiri secara global, dan tidak lagi termasuk tradisi Marxis yang sejati.