Hampir tujuh tahun berlalu sejak George Bush,
waktu itu presiden Amerika Serikat, mengucapkan pidatonya yang terkenal,
"Tatanan Dunia Baru". Itu terjadi tahun 1991. Saat melancarkan Perang
Teluk, kekuatan Imperialis yang paling utama di muka bumi menjanjikan sebuah
dunia tanpa peperangan, tanpa kediktatoran, dan &endash;tentu
saja&endash; sebuah dunia yang sepenuhnya berada di bawah kontrol
satu-satunya polisi dunia yang berkuasa penuh &endash;Amerika Serikat.
Setelah keruntuhan Stalinisme, Imperialisme AS benar-benar mengira bahwa dunia
akan dengan lekatnya berada di bawah perintah mereka dan mereka akan bisa
mendikte nasib tiap negara. Semua konflik di dunia diselesaikan melalui dialog
dalam semacam "Pax Americana". Nyatanya, sekarang semua impian ini
telah tereduksi menjadi puing-puing semata.
Dominasi imperialisme yang sifatnya menghancurkan
di dalam arena dunia, yang makin kuat saja setelah keruntuhan Stalinisme,
berarti terjadinya eksploitasi yang makin parah terhadap Dunia Ketiga secara
keseluruhan. Dominasi negara-negara metropolitan masih lebih besar daripada di
masa lalu. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa birokrasi-militer lama yang
langsung dikontrol oleh individu boss kolonial telah diganti tempatnya oleh
dominasi kolektif atas dunia kolonial oleh negara-negara eksploiter yang kaya
raya melalui mekanisme pasar. Di bawah panji "globalisasi" dan
"pembukaan pasar" imperialisme melakukan pemaksaan melalui
kebijaksanaan penurunan tarif dan swastanisasi berbagai prasarana di seluruh
Dunia Ketiga. Kebijakan-kebijakan ini adalah satu akibat dari krisis
kapitalisme di Dunia Barat yang memaksa negara-negara imperialis tadi untuk
terus mencari pasar dan lapangan investasi baru. Tetapi mereka menetakkan
kebangkrutan bagi industri-industri lokal di negara-negara yang mereka datangi,
industri-industri yang tak dapat melawan berbagai perusahaan multinasional
raksasa. Situasi ini telah memproduksi konsekuensi-konsekuensi yang paling membinasakan
dan telah menghasilkan akibat-akibat yang sebelumnya tidak terlihat oleh
Presiden Bush.
Secara tipikal, para pembuat strategi AS
mempunyai pandangan pendek. Mereka gagal mengerti apa yang telah diterangkan
oleh Trotsky bahkan sebelum Perang Dunia Kedua. Trotsky meramalkan bahwa
Amerika Serikat akan muncul dengan jayanya dari hiruk pikuk perang yang akan
tiba, tetapi sebagai akibatnya Amerika Serikat memasang dinamit di pondasinya
sendiri. Saat ini kita melihat bahwa ramalan ini menjadi kenyataan. Kolapsnya
Uni Soviet telah merubah bentuk relasi di antara pemilik kekuasaan, menjadikan
USA sebagai satu-satunya negara adi daya di dunia. Dalam sejarah umat manusia,
tidak pernah ada satu negara tunggal yang menikmati dominasi ekonomi dan
militer sedemikian rupa. Malahan krisis yang datang terus-menerus adalah
manifestasi bahwa imperialisme AS adalah si Colossus berkaki lempung. Meskipun
mengalami kemenangan militer dalam Perang Teluk, AS tidak mampu menggeser
Saddam Hussein. Usahanya dalam intervensi militer melawan milisi cakar ayam di
Somalia berakhir dalam satu kekalahan memalukan. Sekarang krisis di Asia dan
khususnya berbagai kejadian di Indonesia telah menempatkan revolusi secara ajeg
dalam agenda. Di Selatan, Amerika Serikat menghadapi suatu krisis menyeluruh di
Amerika Tengah dan Amerika Latin dengan berbagai gejolak sosial politik di
Meksiko, sebuah perang gerilya yang ber kepala batu di Kolombia, dan sebuah
situasi eksplosif di Argentina dan Brazil. Ke mana saja ia mengarahkan
pandangan, imperialisme AS dapat melihat bahwa tidak ada satupun rezim borjuis
bisa stabil. Seluruh dunia telah masuk ke dalam periode paling kejang dalam
kurun waktu ratusan tahun.
BEBAN HUTANG
Eksploitasi berlebihan terhadap Dunia Ketiga,
yang makin intensif setelah keruntuhan Stalinisme, mempunyai arti terjadinya
perpindahan kekayaan dari negara-negara ini ke peti penyimpanan uang milik
perusahan-perusahaan multinasional raksasa dan bank-bank. Hal ini dapat
terlihat pada beban hutang yang telah mencapai proporsi yang bahkan sebelum
pertemuan G-8 di Birmingham (Mei 1998) telah ada beberapa pembicaraan mengenai
inisiatif keringanan pinjaman bagi beberapa negara termiskin. Di akhir
pertemuan itu tidak ada satupun inisiatif disetujui. Bank Dunia
&endash;tanpa membicarakan pengembalian hutang yang sebenarnya, juga telah
memulai sebuah program HIPC (Highly Indebted Poor Countries) yang bertujuan
untuk memotong beban hutang 41 negara yang membelanjakan lebih dari 20 persen
pendapatan ekspor mereka untuk pembayaran bunga hutang.
Semua rencana ini tidaklah lahir dari niat baik
dan kemurahan hati para eksekutif Bank Dunia dan IMF. Ada tiga alasan utama
untuk hal ini. Yang paling pertama adalah sangat tidak mungkin bahwa
negara-negara ini akan pernah mampu membayar hutang mereka. Oleh karena itu,
mereka (IMF dan Bank Dunia) telah memutuskan untuk mengenali realita dan
membuat pemerintahan-pemerintahan dunia Barat mengembalikan apa yang
dipinjamnya dari bank-bank penyandang dana dengan uang para pembayar pajak.
Dalam cara ini bank tidak pernah kalah. Tujuan utama dari inisiatif-inisiatif
keringanan hutang ini adalah, di satu sisi, untuk memaastikan bahwa para bankir
memperoleh kembali uang mereka, dan di sisi lain, untuk mengangkat
negara-negara yang banyak hutang ini ke suatu posisi di mana mereka bisa
meminta lebih banyak pinjaman! Kedua, jumlah hutang yang dipinjam oleh
negara-negara penghutang terbesar ini, sebagai sebuah persentase dari total
pinjaman negara-negara yang dulunya negara-negara jajahan, adalah sangat kecil.
Dan yang ketiga, rencana-rencana keringanan tadi datang bersama-sama dengan
banyak sekali syarat-syarat terkait. Negara-negara yang terlibat harus
melaksanakan "rekomendasi-rekomendasi" (yaitu, perintah) dari IMF.
Rencana Penyesuaian Struktural (SAPs, Structural
Adjustment Plans) IMF yang terkenal sekarang telah berjalan cukup lama hingga
dapat mengetahui apa konsekuensi-konsekuensinya. Sebagai satu contoh, Zambia
adalah sebuah negara yang relatif berkembang dengan sekolah-sekolah dan rumah
sakit-rumah sakit, pelayanan pendidikan, serta sebuah infrastruktur modern yang
dibangun terutama di atas basis pendapatan dari pertambangan tembaga. Sepuluh
tahun pelaksanaan "penyesuaian struktural" menggiring angka harapan
hidup jatuh dari 54,4 tahun di tahun 1991 menjadi 42,6 tahun di tahun 1997.
Angka melek huruf berkurang, dan sebagai akibat langsung dari naiknya biaya
rumah sakit sekarang tercatat 203 kematian bayi per 1.000 kelahiran
dibandingkan 125 di tahun 1991. Akses mendapatkan air bersih juga berkurang,
dan 98,1 persen jumlah penduduk hidup atas 2 USD per hari atau malah kurang.
Hutang negara mewakili 225 persen GDP (Gross Domestic Product). Oleh karena
itu, sama sekali tidak mengejutkan bahwa baru-baru ini terjadi kerusuhan pangan
di Zambia &endash; juga di negara-negara yang lain, seperti Zimbabwe dan
Tanzania.
Beban hutang negara-negara termiskin di dunia
menghabiskan 94 persen pendapatan ekonomi per tahun mereka. Untuk negara-negara
yang termasuk dalam program HIPC gambaran ini berkisar 125 persen. Dibandingkan
pendapatan hasil ekspor, persentase hutang telah mencapai tingkat yang belum
pernah terdengar: Somalia 3.671 persen, Guinea-Bissau 3.509 persen, Sudan 2.131
persen, Mozambik 1.411 persen, Ethiopia 1.377 persen, Rwanda 1.374 persen,
Burundi 1.131 persen. Dan jauh dari membaik, situasi secara nyata malah makin
memburuk. Tahun 1980 total jumlah hutang dari negara-negara belum berkembang
adalah 600 miliar USD. Di tahun 1990 jumlah itu naik hingga 1,4 triliun USD dan
tahun 1997 jumlah itu secara mengagetkan menjadi 2,17 triliun USD. Adalah
penting untuk mencatat bahwa dalam periode 1990-97, ketika jumlah hutang total
naik 770 miliar US dollar, negara-negara ini sebenarnya telah membayar 1,83
triliun US dollar hanya untuk bunga hutang. Sebuah gambaran yang lebih bersifat
skandal licik akan muncul jika kita membandingkan pembayaran bunga hutang
dengan bantuan yang diterima negara-negara ini, yaitu untuk satu dollar yang
mereka terima dalam bantuan, mereka membayarkan kembali 11 dollar untuk bunga
hutang.
Akibat-akibat situasi ini jelas. Situasi di
seluruh Afrika Sub-Sahara adalah mimpi buruk. Menurut The Economis (6/6/98),
"Hampir setengah dari 760 juta orang yang di benua ini 'amat sangat
miskin', bertahan hidup, diungkapkan oleh ADB (Bank Pembangunan Afrika), atas
kurang dari 1 dollar per hari. Walaupun terdapat tanda-tanda yang membesarkan
hati dalam beberapa bagian benua, rata-rata pertumbuhan GDP nyata turun di
tahun 1997 menjadi 3,7 persen dari 5 persen di tahun sebelumnya. Kesembuhan
Afrika masih rapuh dan tatap sama rentan dengan sebelumnya terhadap harga-harga
komoditas dan iklim ekonomi yang memburuk. Globalisasi perdagangan dunia...
dapat menekan ekonomi benua ini jauh melampaui margin batasnya. Menurut Bank
Dunia Afrika hanya menarik minat 1,5 persen investasi langsung milik penanam
modal asing di tahun 1996. Penerima bantuan terbesar, memperoleh 32 persen dari
jumlah total, adalah Nigeria yang, terpisah dari fakta mempunyai persediaan
minyak bumi, tidak mereformasi ekonominya dalam cara di mana minyak bumi dikatakan
oleh Bank Dunia sebagai essensial untuk menarik investasi asing."
Meningkatnya tingkat pemiskinan dari penduduk di sebagian besar dunia kolonial
telah memberikan kenaikan tajam pada meningkatnya jumlah kriminalitas, pasar
gelap, dan "ekonomi informal". Dalam beberapa kasus, pasar gelap
mewakilkan jumlah yang lebih besar dalam bidang ekonomi dibandingkan pasar
resmi dan pasar gelap ini merembes ke semua bidang aparatus negara. Mereka
mencoba melindungi kepentingan mereka dalam arena politik melalui kekuatan-kekuatan
kaum fundamentalis dan "populis". Semua ini adalah kekuatan-kekuatan
ekonomi yang dahsyat yang dalam banyak kasus memiliki kepentingan-kepentingan
yang lalu menimbulkan konflik dengan kepentingan-kepentigan imperialisme. Jadi,
di semua tingkatan, pembusukan kapitalisme merusak apa yang menjadi hal paling
dasar bagi eksistensi umat manusiia di dua per tiga planet. Sebagaimana Lenin
ingatkan, perpanjangan eksistensi kapitalisme menandai "horor tanpa
akhir".
PERAN KELAS PEKERJA
Marx, Engels, dan Lenin senantiasa memberi
penekanan pada peran terdepan dari kaum proletariat di dalam revolusi. Mereka
menjelaskan bahwa hanya kelas pekerja yang bisa mengusung revolusi kaum
sosialis. Tak ada kelas lain yang dapat memenuhi peran ini. Mengapa begini? Ini
bukanlah sebuah cetusan pikiran yang tiba- tiba atau sebuah asumsi arbiter. Ia
berbasis pada peran para pekerja dalam produksi, dan kenyataan bahwa
partisipasi dalam produksi kolektif ("sosial") berarti bahwa kelas
pekerja sendirian membangun sebuah kesadaran sosialis (kolektifis). Ini bukan
kasus dengan kelas lain. Kaum tani adalah sebuah kelas para pemilik kecil.
Bahkan para petani yang tak bertanah, kaum proletariat pedesaan, sering sekali
mendambakan pemilikan tanah; jadilah slogan "Tanah untuk penggarapnya"
&endash;yang, meski ini merupakan signifikasi revolusioner yang luar biasa,
semboyan ini memiliki kandungan borjuis, bukan sosialis. Para mahasiswa dan
kaum cendekiawan mempunyai sebuah tendensi yang kuat terhadap individualisme
borjuis kecil, yang seringkali memunculkan dirinya bahkan ketika mereka mencoba
mengadopsi posisi revolusioner.
Melalui pengalamannya, kaum proletariat belajar
untuk memahami organisasi kolektif dan disiplin. Inilah hasil dari sekolah
keras produksi dan eksploitasi kapitalis, yang mempersiapkan para pekerja untuk
menghadapi perjuangan kelas. Senjata-senjata wajar milik kaum proletar adalah
metode-metode perjuangan massa &endash;pemogokan, pemogokan umum,
demonstrasi massa, yang bertindak sebagai sebuah sekolah yang mempersiapkan
kelas ini untuk tugas utamanya, yaitu mengambil alih jalannya masyarakat ke
dalam tangannya. Gerakan kaum pekerja di semua tempat adalah sekolah demokrasi.
Sebelum para pekerja itu memutuskan untuk melakukan pemogokan, terdapat diskusi
demokratis di mana di dalamnya pendapat yang saling bertentangan dapat
terdengar. Tetapi sekali telah diambil pilihan suara, kaum bekerja bertindak
sebagai satu kesatuan. Mereka yang telah mencoba menghianati keputusan
demokratis para pekerja dan mengacaukan pemogokan diperlakukan sebagai buruh
penghianat yang memang harus dihukum. Unjuk rasa adalah ekspresi kongkrit dari
kehendak mayoritas. Selama berlangsungnya pemogokan kaum pekerja
berpartisipasi, bekerja, dan berdiskusi. Setiap pekerja mengetahui bahwa ia
belajar lebih banyak selama satu hari pemogokan dibandingkan satu tahun
kehidupan "normal". Akibatnya, setiap pemogokan mengandung
elemen-elemen revolusi dan sebuah revolusi adalah apa yang teradapat dalam
sebuah pemogokan dalam skala besar dan luas. Banyak proses-proses yang muncul
di dalam kelas bersifat analog, meskipun dua hal tadi berbeda secara
kualitatif. Tetapi di masing-masing keduanya elemen kuncinya adalah partisipasi
aktif dan sadar dari kelas pekerja, yang mulai mengambil alih nasibnya ke
tangannya sendiri daripada menyerahkannya kepada orang lain &endash;para
pemimpin serikat pekerja, anggota parlemen, anggota dewan, dan birokrat. Inilah
esensi sosialisme atau, lebih tepatnya, esensi kekuatan pekerja.
Sosialisme
adalah demokratis atau ia bukan apa-apa. Sejak awal mula revolusi sosialis,
mestilah ada rezim yang paling demokratis, sebuah rezim yang akan berarti bahwa
untuk pertama kalinya semua tugas-tugas mengenai menjalankan industri,
masyarakat, dan negara akan berada di tangan mayoritas masyarakat, kelas
pekerja. Melalui komite-komite mereka yang dipilih secara demokratis (soviets),
yang dipilih secara langsung di tempat kerja serta tunduk atas recall
sewaktu-waktu, para pekerja akan menjadi tuan dari masyarakat bukan hanya
namanya saja, tetapi juga dalam kenyataan. Ini adalah posisi kaum pekerja di
Rusia setelah Revolusi Oktober. Marilah kita ingat kembali bahwa Lenin
meletakkan 4 syarat utama bagi sebuah negara kaum pekerja &endash;yaitu,
untuk periode transisi antara kapitalisme dan sosialisme:
1) Pemilihan
umum yang bebas dan demokratis dengan hak recall terhadap semua pejabat
2) Tidak
ada pejabat yang pantas menerima gaji yang lebih tinggi daripada seorang
pekerja yang ahli
3) tidak
ada tentara yang berjaga kecuali rakyat yang dipersenjatai
4) secara
bertahap, semua tugas-tugas menjalankan negara harus dilakukan oleh massa di
atas basis yang bergilir. Ketika setiap orang menjadi birokrat pada gilirannya,
maka tidak ada orang yang menjadi birokrat. Atau, sebagaimana Lenin menyatakan,
"Sembarang penggodok ide harus bisa menjadi perdana menteri."
Hanya di atas basis demikianlah masyarakat dapat
mulai bergerak dalam arahan sosialisme &endash;tahap tertinggi masyarakat
manusia yang Engels gambarkan sebagai loncatan kemanusiaan dari wilayah
keharusan menuju wilayah kebebasan. Secara jelas sebuah perkembangan yang
demikian menuntut adanya sebuah perkembangan yang tinggi dalam
kekuatan-kekuatan produktif. Itulah mengapa Marx dan Engels berpikir bahwa
revolusi sosialis akan bermula di Perancis, dilanjutkan di Jerman, dan berakhir
di Inggris. Pada waktu itu kelas pekerja hanya ada di negara-negara ini. Marx
dan Engels, dan bahkan Lenin sampai pada tahun 1917, bahkan tak membayangkan
kemungkinan kelas pekerja pertama kali muncul sebagai kekuatan justru di sebuah
negara terbelakang. Sosialisme menuntut sebuah tingkat tertentu dari
perkembangan industri, pertanian, ilmu pengetahuan, dan teknik, di dalam
bingkai kerjanya. Hanya di atas basis inilah para pekerja bisa memiliki waktu
bebas secukupnya &endash; di atas basis pengurangan hari kerja&endash;
untuk berpartisipasi dalam menjalankan masyarakat dan negara.
Bagaimanapun, situasi telah berubah secara
radikal setelah kematian Marx dan Engels, disebabkan oleh kedatangan
imperialisme, tahap tertinggi dari kapitalisme sebagaimana dianalisa oleh Lenin
dalam bukunya yang terkenal dengan judul sama. Lenin menjelaskan bahwa satu
dari gambaran-gambaran utama dari imperialisme adalah ekspor kapital dari
negara-negara maju ke negara-negara kolonial dan negara-negara semi-jajahan. Di
atas basis hukum 'perkembangan gabungan dan tak seimbang', sebuah kelas pekerja
yang perkasa tumbuh di negara-negara terbelakang seperti Rusia yang Tsarist,
sebuah fakta yang tidak mengubah karakternya sebagai sebuah negara yang
terbelakang, semi feodal, dan semi jajahan. Persoalan-persoalan utama dari
polemik di antara tendensi-tendensi yang berbeda dari gerakan buruh Rusia
sebelum 1917 adalah setepatnya merupakan karakter dari Revolusi Rusia dan
relasi antar kelas dalam revolusi. Tak dapat disangkal, teori yang
mengantisipasi dan menjelaskan apa yang sungguh-sungguh terjadi di tahun 1917
telah dikerjakan oleh Trotsky.
REVOLUSI PERMANEN
Teori revolusi permanen pertama dikembangkan oleh
Trotsky di awal 1904. Revolusi permanen, sambil menerima bahwa tugas-tugas objektif
yang menghadang pekerja Rusia adalah tugas-tugas revolusi demokratik kaum
borjuis, juga secara bersamaan menjelaskan bagaimana di dalam sebuah negara
terbelakang dan di dalam jaman imperialisme, "borjuasi nasional", di
satu sisi berkaitan secara tak dapat dipisahkan dengan feodalisme yang tersisa
sekaligus juga di sisi lainnya berkaitan dengan kapital milik kaum imperialis,
dan oleh karena itu borjuasi nasional sepenuhnya tidak mampu mengemban tugas
historis apapun. Kebusukan kaum borjuis liberal dan peran kontra revolusioner
mereka dalam revolusi borjuis demokratis telah diamati oleh Marx dan Engels.
Dalam artikelnya Borjuasi dan Kaum Kontra-Revolusi (1848), Marx menulis :
"Borjuasi Jerman telah berkembang dengan
begitu malas, secara berat dan lamban di saat di mana dengan terancam ia
menghadapi feodalisme dan absolutisme, ia juga melihat dirinya begitu terancam
berhadapan dengan kaum proletar serta segala faksi warga kota yang memiliki
berbagai kepentingan dan ide-ide yang bersaudaraan dengan ide serta kepentingan
yang dipunyai kaum proletar. Dan ia melihat kesatuan tempur yang amat
bermusuhan dnegannya bukanlah satu kelas di belakangnya, melainkan seluruh
Eropa di hadapannya. Borjuasi Prusia bukanlah, sebagaimana borjuasi Perancis di
tahun 1789, kelas yang merepresentasikann seluruh masyarakat modern vis-a-vis
wakil-wakil masyarakat lama, monarki dan kaum bangsawan. Ia telah terbenam ke
level sejenis lapisan sosial pemilik tanah, menentang kerajaaan sama jelasnya
dengan ia menentang rakyat, ingin sekali menjadi oposisi bagi keduanya.
Ragu-ragu melawan tiap lawannya, sendirianlah ia, sebab ia senantiasa melihat
keduanya tadi di belakang atau di depannya; ia merosot hingga mengkhianati
rakyat dan berkompromi dengan wakil-wakil kerajaan yang berasal dari masyarakat
lama sebab ia sendiri milik masyarakat lama." (Karl Marx, Borjuasi dan
Kaum Kontra Revolusi, MESW, volume 1, halaman 140-1).
Marx menjelaskan, borjuasi tidak mencapai
kekuasaan sebagai hasil dari kerja keras revolusionernya sendiri, melainkan
sebagai sebuah hasil dari gerakan massa di mana dalam gerakan ini ia tidak
memainkan peranan apa-apa. Borjuasi Prusia terlempar ke ketinggian kekuasaan
negara, bagaimanapun juga tidak dengan cara hal itu diinginkannya, yaitu dengan
sebuah tawar menawar yang damai dengan kerajaan, melainkan dengan sebuah
revolusi." (Karl Marx, Borjuasi dan Kaum Kontra Revolusi, MESW, volume 1,
halaman 138).
Bahkan dalam jaman revolusi borjuis demokratik di
Eropa, Marx dan Engels tanpa ampun membuka kedok peran kontra revolusioner,
pengecut, dari borjuasi dan menitikberatkan keharusan bagi para pekerja untuk
memelihara suatu kebijakan mengenai independensi kelas sepenuhnya, tidak hanya
independensi dari kaum borjuis liberal, tetapi juga dari kaum demokrat borjuis
kecil:
"Kaum Proletar, atau partai yang benar-benar
revolusioner," tulis Engels, "berhasil hanya dengan amat bertahap
dalam penolakan massa kelas pekerja terhadap pengaruh kaum demokrat yang
memiliki ikatan yang dibangun saat permulaan revolusi. Dalam waktu yang pasti,
kelemahan hati dan kepengecutan para pemimpin kaum demokratik melakukan langkah
mundur, dan sekarang mungkin yang bisa dikatakan sebagai satu dari hasil-hasil
utama ledakan tahun kemarin adalah bahwa di manapun kelas pekerja
terkonsentrasi dalam apapun yang serupa massa yang sangat besar, mereka
sepenuhnya terbebaskan dari bentuk pengaruh demokrasi yang menggiring mereka ke
dalam serial blunder dan kesialan tak ada akhirnya sepanjang 1848 dan
1849." (F. Engels, Revolusi dan Kontra Revolusi di Jerman, MESW, volume 1,
halaman 332.)
Situasi itu lebih jelas lagi saat ini. Borjuasi
nasional di negara-negara kolonial amatlah terlambat masuk ke dalam babakan
sejarah, ketika dunia telah terbagi-bagi di antara kaum imperialis yang
sedikit. Ia tidak maampu memaikan peranan progresif apapun dan telah sepenuhnya
tersubordinasi kepada tuan-tuan yang dulu menjajahnya. Borjuasi yang lemah dan
merosot akhlaknya di Asia, Amerika Latin, dan Afrika terlalu bergantung kepada
modal asing dan imperialisme, untuk memajukan masyarakat. Borjuasi itu terikat
dengan ribuan benang, tidak hanya kepada modal asing tetapi juga dengan kelas
pemilik tanah yang dengannya ia membentuk suatu blok reaksioner yang
menghadirkan sebuah benteng penghadang terjadinya kemajuan. Apapun perbedaan yang
mungkin ada di antara elemen-elemen ini, semuanya tidak signifikan dibandingkan
dengan ketakutan yang menyatukan mereka untuk melawan massa. Hanya kaum
proletariat, bersekutu dengan kaum tani miskin dan kaum urrban miskin, yang
mampu memecahkan masalah-masalah di masyarakat dengan mengambil kekuasaan ke
tangannya sendiri, mengambil alih milik kaum imperialis dan borjuasi, serta
memulai tugas mentrasformasikan masyarakat di atas garis sosialis.
Dengan menempatkan dirinya di kepala bangsa,
memimpin lapisan-lapisan tertindas di masyarakat (kaum borjuis kecil di daerah
rural urban), kaum proletar dapat mengambil kekuasaan dan kemudian mengemban
tugas-tugas revolusi borjuis demokratik (terutama land reform dan penyatuan
negara, serta pembebasan negara dari dominasi asing). Bagaimanapun, sekali
telah memegang kekuasaan, kaum proletar tidak akan hanya berhenti di situ,
melainkan akan mulai mengimplementasikan cara-cara sosialis mengenai
pengambillalihan milik kaum kapitalis. Dan sebagaimana tugas-tugas ini tidak
dapat dipecahkan di dalam satu negeri melulu, khususnya tidak di sebuah negara
terbelakang, hal ini akan menjadi awal mula dari revolusi dunia. Jadi, revolusi
itu "permanen" dalam dua pengertian: sebab ia mulai dengan
tugas-tugas kaum borjuis dan berlanjut dengan tugas-tugas kaum sosialis, dan
sebab ia mulai di satu negara dan berlanjut pada tingkat internasional.
Teori revolusi permanen adalah jawaban yang
paling utuh bagi posisi kaum reformis serta kaum kolaborator kelas di sayap
kanan gerakan kaum pekerja Rusia, yaitu kaum Menshevik. Teori dua tahap
dikembangkan oleh kaum Menshevik sebagai perspektif mereka untuk revolusi
Rusia. Secara mendasar teori ini menyatakan bahwa, karena tugas revolusi adalah
tugas-tugas revolusi nasional borjuis demokratik, maka kepemimpinan dari
revolusi harus ditangani oleh borjuasi demokratik nasional. Untuk pendapatnya
sendiri, Lenin setuju dengan Trotsky bahwa kaum liberal Rusia tidak dapat
mengadakan revolusi borjuis demokratis, dan bahwa tugas ini hanya dapat
diadakan oleh kaum proletariat dalam persekutuannya dengan kaum tani miskin.
Mengikuti jejak langkah Marx, yang telah menggambarkan "partai
demokratik" kaum borjuis sebagai "jauh lebih berbahaya bagi para
pekerja daripada kaum liberal yang terdahulu", Lenin menjelaskan bahwa
borjuasi Rusia, jauh dari menjadi sekutu kaum pekerja, akan tak dapat dielakkan
lagi bersisian dengan kaum kontra revolusi.
Tahun 1905 ia menulis, "Di tengah massa, tak
akan terhindarkan, kaum borjuis pastilah mendekati kontra revolusi dan melawan
rakyat secepat kepentingan-kepentingannya yang picik dan mau menang sendiri itu
bertemu, secepat itulah ia 'mencelat' dari demokrasi konsisten (dan ia memang
telah berkecut hati karena ini!)".; (Lenin, Selected Works, volume 9,
halaman 98.)
Dalam pandangan Lenin, kelas mana yang mampu
memimpin revolusi demokrasi-borjuis? "Tetaplah 'rakyat', yaitu, kaum
proletar dan kaum tani. Kaum proletar sendiri dapat dipercaya untuk melakukan
marching hingga ke akhir, jauh melampaui revolusi demokratik. Itulah mengapa
kaum proletar bertempur di garis depan demi sebuah republik dan dengan menghina
ia menolak saran bodoh dan tak berharga untuk mempertimbangkan kemungkinan
borjuasi mencelat mundur." (Ibid)
Dalam semua pidato dan tulisan Lenin, peranan
kontra-revolusi kaum demokratik-borjuis Liberal selalu ditekankan, terus
menerus. Bagaimanapun, hingga 1917, Lenin tidak yakin bahwa kaum pekerja Rusia
akan bisa mencapai kekuasaan sebelum terjadi revolusi sosialis di Barat
&endash;ini satu perspektif yang sebelum 1917 hanya dipertahankan oleh
Trotsky. Tahun 1917 hal ini diadopsi sepenuhnya oleh Lenin dalam Tesis-tesis
April-nya. Kebenaran teori revolusi permanen secara gilang-gemilang ditunjukkan
oleh Revolusi Oktober sendiri. Kelas buruh Rusia &endash;sebagaimannna telah
diramalkan oleh Trotsky di tahun 1904&endash; meraih kekuasaan sebelum kaum
buruh dari Eropa Barat. Mereka menyelenggarakan semua tugas-tugas Revolusi
demokratik-borjuis, dan langsung memulai nasionalisasi industri dan menempuh
tugas-tugas revolusi sosialis. Kaum borjuis memainkan sebuah peranan kontra
revolusioner secara terbuka, tetapi dikalahkan oleh kaum buruh dalam aliansinya
dengan kaum tani miskin. Kemudian kaum Bolshevik membuat suatu himbauan
revolusioner kepada kaum buruh di seluruh dunia untuk mengikuti contoh mereka.
Lenin mengetahui dengan baik bahwa tanpa kemenangan revolusi di negara-negara
kapitalis yang maju, terutama Jerman, revolusi tidak dapat bertahan dalam
keadaan terisolasi, terutama di sebuah negara terbelakang seperti Rusia. Apa
yang kemudian terjadi memperlihatkan bahwa hal ini sepenuhnya benar. Pendirian
dari (Komunis) Internasional Ketiga, partai dunia dari kaum sosialis, adalah
manifestasi kongkrit dari perspektif ini.
Jikalau Komunis Internasional tetap kukuh berada
di atas posisi yang dibuat oleh Lenin dan Trotsk,y tentulah kemenangan revolusi
di tingkat dunia telah dapat dipastikan. Malangnya, tahun-tahun pertumbuhan
Komintern bertepatan dengan maraknya kontra revolusi kaum Staslinis di Rusia,
yang memiliki akibat yang sangat menghancurkan bagi Partai Komunis di seluruh
dunia. Birokrasi Stalinis, memiliki kontrol yang mendalam di Uni Soviet,
mengembangkan sebuah pandangan yang amat konservatif. Teori bahwa sosialisme
dapat dibangun dalam satu negara &endash;sebuah hal yang amat dibenci dalam
sudut padang pendirian Marx dan Lenin&endash; sangat mencerminkan
mentalitas birokrasi yang telah mengalami cukup berbagai tekanan dan stress
dari revolusi dan berusaha untuk bisa berjalan terus dengan mengadakan
tugas-tugas mengenai "membangun sosialisme di Rusia". Bisa
diikatakan, mereka ingin melindungi dan memperluas kewenangasn mereka dan tidak
"mengotori" sumber daya negara dengan cara mengejar revolusi di
tingkat dunia. Pada sisi lain, mereka takut bahwa revolusi di negara-negara
lain dapat berkembang pada garis yang sehat dan hal itu merupakan ancaman
terhadap dominasi mereka sendiri di Rusia, dan oleh karena itu pada satu tahap
tertentu, secara aktif mereka berusaha menghalang-halangi terjadinya revolusi
di tempat-tempat lain.
Daripada mengejar sebuah kebijakan revolusioner
berdasarkan pada independensi kelas, sebagaimana senantiasa diadvokasikan
Lenin, mereka mengajukan sebuah aliansi Partai Komunis dengan "kaum
borjuis progresif nasional" (dan jikalau tidak ada kum ini yang tersedia
begitu saja, mereka telah mempersiapkan diri untk melakukan intervensi
terrhadapnya) untuk mengadakan revolusi demokratik, dan setelahnya, menyusul,
di kelak kemudian hari yang jauh, saat negara telah mengembangkan perekonomian
yang menghilangkan kaum kapitalis sepenuhnya, barulah ada perjuangan demi
sosialisme. Kebijakan ini menghadirkan sebuah jurang yang sama sekali berpisah
dengan Leninisme dan sebuah titik balik kepada posisi kuno yang amat tercemar
dari Menshevisme &endash;inilah teori "dua tahapan".
PERAN PARTAI-PARTAI KOMUNIS
Teori ini memainkan peran kriminal dalam
perkembangan revolusi di dunia jajahan. Di Cina, Partai Komunis yang masih muda
terpaksa masuk ke dalam aturan main kaum borjuis nasional, Kuomintang, yang
kemudian melakukan likuidasi secara fisikal terhadap Partai Komunis tersebut,
serikat-serikat buruh, dan dewan-dewan tani selama berlangsungnya revolusi Cina
tahun 1925-27. Alasan mengapa revolusi Cina yag kedua mengambil bentuk berupa
perang kaum tani di mana kelas buruh tetap pasif, adalah perluasan dari
kehancuran kaum proletar Cina sebagai akibat kebijakan-kebijakan Stalin yang
dikarakterisasikan Trotsky sebagai "sebuah karikatur jahat dari
Menshevisme". Di manapun ia diterapkan dalam dunia jajahan, teori kaum
Staliniss mengennai 'dua tahapan' telah menggiring terjadinya satu malapetaka
menyusul malapetaka lainnya.
Di Sudan dan Irak pada tahun 1950-an dan 1960-an,
Partai Komunis merupakan kekuatan massa yang mampu menghimbau adanya demostrasi
sejuta orang di Baghdad dan dua juta orang di Khartoum. Daripada melanjutkan
adanya kebijakan mengenai kelas independen dan memimpin para buruh dan kaum
tani untuk merebut kekuasaa, mereka ini mencari aliansi dengan kaum borjuis
"progresif" serta golongan-golongan "progresif" dalam
jajaran militer. Yang disebut terakhir, setelah mengambil alih kekuasaan dengan
dukungan penuh dari partai-partai Komunis, kemudian mulailah mengeliminasikan
mereka dengan pembunuhan dan pemenjaraan anggota-anggota serta
pimpinan-pimpinannya. Di Sudan, proses yang sama terjadi bukan hanya sekali
tetapi dua kali. Masih saja, bahkan hingga saat ini, para pemimpin Partai
Komunis Sudan mempunyai suatu kebijakan tentang "Aliansi Patriotik"
dengan kaum gerilya di Selatan (sekarang disokong oleh imperialisme AS) dan
kaum borjuis "progresif" di Utara, untuk melawan rezim fundamentalis.
Yang disebut para pemimpin Komunis ini mirip kaum Bourbon kuno yang "tidak
melupakan satupun dan tidak mempelajari apa-apa". Kebijakan-kebijakan
mereka adalah sebuah resep akhir bagi satu kekalahan berdarah setelah kekalahan
berdarah lainnya.
Contoh paling tragis mengenai konsekuensi yang
sifatnya menghancurkan dari teori dua tahapan adalah apa yang terjadi di
Indonesia. Di tahun 1960-an Partai Komunis Indonesia adalah kekuatan massa yang
utama di negara tersebut. Itu adalah Partai Komunis terbesar di dunia di luar
Blok Soviet, dengan tiga juta orang anggota, serta sepuluh juta orang
berafiliasi kepada serikat-serikat pekerjanya serta organisasi-organisasi buruh
taninya, dan bahkan Partai Komunis Indonesia (PKI) mengklaim adanya dukungan 40
persen tentara (termasuk jajaran perwira). Kaum Bolshevik Rusia tidak memiliki
dukungan terorganisir yang sebanyak itu pada saat revolusi Oktober! PKI dapat
dengan mudah mengambil alih kekuasaan dan memulai transformasi sosialis
terhadap masyarakat yang akan memiliki efek luar biasa besar di seluruh dunia
jajahan, menjadi rantai revolusi-revolusi di Asia. Daripada melakukan itu, para
pemimpin Partai Komunis (di bawah kontrol kaum Maois Cina) malah membentuk
sebuah aliansi dengan Soekarno, seorang pemimpin nasionalis borjuis yang pada
saat itu mengadopsi fraseologi "kiri". Kebijakan-kebijakan tersebut
menyebabkan PKI sepenuhnya tidak siap saat kaum borjuis (di bawah instruksi
langsung dari CIA) mengorganisasikan sebuah pembantaian terhadap para anggota
dan simpatisannya, di mana dalam pembantaian itu sedikitnya 1,5 juta orang
dijagal.
Walaupun ada segala kekalahan dan tinjauan masa
lalu, kaum buruh dan petani akan mengambil jalan perjuangan dari waktu ke
waktu, secara tak terelakkan. Kejadian-kejadian yang terjadi di Indonesia
baru-baru ini merupakan indikasi nyata dari fakta ini. Kejadian-kejadian itu
adalah sebuah antisipasi terhadap apa yang akan terjadi di satu per satu negara
Asia. Dan ini hanyalah awal dari sebuah proses revolusioner yang akan tidak
terbendung selewat periode bertahun-tahun. Jika sebuah partai Leninis murni
eksis, hal ini dapat berakhir dalam sebuah revolusi proletar dalam bentuk
klasik. Masalah mengenai gerilyaisme atau Bonapartisme kaum proletar tidak akan
muncul. Di sini, sebagaimana biasanya selalu, faktor subyektif mutlak
diperlukan. Malangnya kepemimpinan partai-partai komunis di negara-negara ini
mengulang-ulang segala kesalahan lama yang sama saja, di mana hal ini telah
menggiring kepada terjadinya kekalahan dan pembantaian di masa lalu. Meskipun
Jepang bukan sebuah negara jajahan, hal ini tidak berarti apapun dalam hal
pertumbuhan yang spektakuler dari Partai Komunis Jepang (JCP) sebagai akibat
dari krisis ekonomi negara tersebut. JCP menjadi partai yang memiliki wakil
terbanyak dalam dewan-dewan lokal, merupakan partai kedua terbesar dalam
Majelis Metropolitan Tokyo dan koran harian JCP memiliki sirkulasi sebesar 3,2
juta.
Gelombang radikalisasi yang menyapu seluruh Asia
telah juga mempengaruhi kelas buruh di Jepang. Peringatan May Day tahun ini di
Jepang adalah yang terbesar sejak bertahun-tahun. Tidak kurang dari satu juta
buruh ikut beerpartisipasi ari seluruh negeri berkumpul. Ini adalah contoh
jelas tentang bagaimana kesadaran dapat berubah dengan kecepatan kilat saat
kondisi-kondisi berubah. Tetapi sialnya kebijakan-kebijakan kepemimpinan JCP
sepenuhnya berharak dari tugas-tugas nyata yang dihadapi kaum kelas buruh
Jepang. Menurut Kimitoshi Morihara vice head dari departemen internasional JCP,
"kami bekerja menuju pendirian sebuah pemerintahan demokratis yang mencari
penyelesaian masalah-masalah ini, dalam kerangka kerja kapitalisme, di awal
abad mendatang". (Wawancara dalam mingguan Greenleft Weekly No. 317).
Mereka menyempurnakan teori dua tahapan Stalinis yang kuno dengan menambahkan
satu tahapan ekstra! Ini adalah "perspektif untuk kemajuan sosial di
Jepang : pemerintahan koalisi demokratik, revolusi demokratik, dan revolusi
sosialis" (?). Hal ini makin makin membingungkan karena, sebagaimana
Jepang telah menjadi kekuatan industri kedua di dunia, orang dapat membayangkan
hal tersebut dapat dilakukan tanpa sebuah "revolusi demokratik".
Kelihatannya alasan apapun akan diambil supaya revolusi sosialis tidak
dimasukkan ke dalam agenda.
Selama berpuluh-puluh, tahun kelas buruh di
negara-negara kolonial dan bekas kolonial telah menunjukkan keberaniannya yang
kolosal dan potensial revolusionernya. Dari waktu ke waktu kelas ini telah
bergerak untuk mengadakan transformasi revolusioner di masyarakat. Di Irak,
Sudan, Iran, Chili, Argentina, India, Pakistan, dan Indonesia, kaum buruh telah
menunjukkan bahwa mereka berkehendak untuk menjadi tuan dari masyarakat mereka.
Jikalau mereka gagal, hal ini bukan karena mereka tidak bisa meeraih keberhasilan,
melainkan karena mereka kekurangan syarat yang sangat diperlukan untuk
mengambil alih kekuasaan. Dalam setiap kasus, mereka membenturkan kepala mereka
terhadap tembok tebal sebab partai-partai dan para pemimpin yang mereka
percayai untuk memimpin mereka kepada transformasi sosialis dari masyarakat
berubah menjadi rintangan-rintangan raksasa.
Guna meraih kekuasaan, tidaklah cukup bahwa kaum
buruh disiapkan untuk bertempur. Bila itu masalahnya, kelas buruh telah dapat
mengambil kekuasaan di seluruh negara-negara ini sejak dulu kala. Hal itu akan
berlangsung mudah sebab mereka berada dalam posisi yang jauh leebih kuat
daripada para buruh Rusia pada tahun 1917. Meskipun demikian mereka tidak
mengambil kekuasaan. Mengapa tidak? Sebab kelas buruh membutuhkan sebuah partai
dan sebuah kepemimpinan. Untuk menyangkal kenyataan hidup yang elementer ini
adalah semata-mata anarkisme kekanakan. Dulu sekali Marx menjelaskan bahwa
tanpa organisasi, kelas buruh adalah semata-mata bahan mentah bagi eksploitasi.
Meskipun kekuatannya dalam jumlah dan peran kuncinya dalam produksi, kaum
proletar tidak dapat merubah masyarakat kecuali ia menjadi sebuah kelas
"ditengah-dan-untuk-dirinya sendiri" dengan kesadaran,
perspektif-perspektif, dan pemahaman yang diperlukan. Untuk menunggu adanya
kelas yang sepenuhnya memiliki pemahaman yang diperlukan mengenai hal (revolusi
sosialis) tersebut hingga memadai untuk mengambil alih kekuasaan lalu mengubah
masyarakat, ini adalah sebuah proporsi utopia yang sama saja dengan
mengulur-ulur terjadinya revolusi secara tidak menentu. Adalah perlu untuk
mengorganisasikan lapisan-lapisan yang paling maju dari kelas (buruh pekerja),
mendidik kader, dan memasukkan kepada kader mereka perspektif-perspektif
mengenai revolusi, tidak hanya dalam skala nasional, melainkan juga revolusi
dalam skala internasional, mengintegrasikan mereka di tengah massa pada setiap
level, dan secara sabar menyiapkan gerakan saat perjuangann-perjuangan parsial
dari massa terkombinasi menjadi suatu serangan revolusioner yanng menyeluruh.
Tanpa satu partai yang revolusioner, kekuatan
potensial milik kaum proletar akan tetap semata begitu &endash;sebuah
potensial. Hubungan antara kelas (proletar) dengan partai adalah serupa dengan
hubungan antara uap dan piston box dalam mesin uap. Tetapi bahkan
keberadaan-keberadaan partai tidaklah cukup unntuk memastikan adanya
keberhasilan. Partai tersebut harus dipimpin oleh para laki-laki dan perempuan
yang dilengkapi dengan pemahaman yang diperlukan mengenai tugas-tugas revolusi,
berbagai taktik, strategi, dan perspektif, tidak hanya perspektif-perspektif
nasional tetapi juga internasional. Situasi obyektif di Indonesia tahun 1964-65
tak dapat berlangsung lebih baik lagi. Massa telah mengalahkan Imperialisme
Belanda. Kaum komunis memiliki dukungan mayoritas luas dari kelas pekerja dan
buruh tani. Tetapi sebuah kebijakan dan perspektif yang keliru sudah cukup
untuk menghadirkan kekacauan total pada revolusi. Jika revolusi Oktober
membuktikan kebenaran dari revolusi permanen dalam sebuah pengertian positif,
malapetaka di Indonesia menghadiahkan kepada kita sebuah bukti negatif dalam
bentuknya yang paling mengerikan.
Cara yang menyimpang dan kacau balau di mana
dengan cara ini revolusi di daerah kolonial telah terbentang sejak tahun 1945
adalah bukan akibat dari keterbelakangan, atau karena tertundanya revolusi
sosialis di negara-negara kapitalis yang maju. Hal itu bukanlah sesuatu yang
tak dapat dielakkan dan bukan pula ditentukan lebih dahuulu oleh hukum-hukum
sejarah. Di atas semuanya, hal itu adalah akibat ketiadaan faktor subyektif,
ketiadaan suatu partai revolusioner yang murni dan kepemimpinannya yang bisa
memberikan suatu karakter serta arahan yang sepenuhnya beda terhadap revolusi.
Berbicara apa adanya, tidak ada satupun yang bisa menghalangi revolusi di Cina,
ini untuk contoh, dari hal memainkan peran yang sama dengan revolusi Rusia di
tahun 1917, jika saja kondisinya adalah para pemimpin Komunis Cina berbuat
sebagaimana Lenin dan Trotsky. Tetapi para pemimpin ala Stalinis tersebut takut
terhadap gerakan independen dari kelas buruh dan melakukan apapun yang berada
dalam kekuasaan mereka untuk menghalanginya. Cara konyol di mane revolusi Cina
muncul di tahun 1949, sebagai satu revolusi menyimpang dalam bayang-bayang
Rusia di bawah kepemimpinan Stalin, menjadikan (revolusi tersebut) memiliki
sedikit saja himbauan untuk bergerak di kalangan kaum buruh di negara-negara
yang maju, meskipun revolusi tersebut memberikan suatu stimulus penting
terhadap revolusi di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Hal yang sama persis
terjadi pada rezim-rezim Bonapartisme proletar yang lainnya yang hadir
setelahnya. Walaupun tak dapat disangkal mereka ini menyajikan satu langkah ke
depan, mereka benar-benar sebuah penyelewengan dan sebuah titik balik dari
norma revolusi kaum proletar yang didirikan oleh Lenin yang lalu menjadi
kenyataan di bulan Oktober 1917. Fakta ini harus terus kita jaga dalam pikiran
jika kita mau memahami signifikasi sesungguhnya dari revolusi di daerah
kolonial setelah tahun 1945.
REVOLUSI CINA
Dari waktu ke waktu adalah penting untuk menarik
sebuah perhitungan mengenai ide-ide kita dan posisi-posisi teoritis kita.
Bagaimana setelah berlalu 50 tahun hal-hal tersebut terwujud dalam praktek?
Jika ada satu kontribusi utama dari tendensi kita terhadap Marxisme, ini adalah
analisis kita mengenai revolusi kolonial dan perkembangan Bonapartisme kaum
proletar, dimulai dengan analisis kita mengenai revolusi Cina setelah 1945. Hal
ini benar-benar kebuntuan kapitalisme di negara-negara ini dan tekanan kebutuhan
massa untuk adanya sebuah jalan maju yang telah memunculkan fenomena
Bonapartisme kaum proletar. Hal ini berkaitan dengan sejumlah faktor-faktor
yang berlainan. Di tempat pertama, kebuntuan komplit di masyarakat di
negara-negara terbelakang dan ketidakmampuan kaum borjuis kolonial untuk
menunjukkan jalan maju. Kedua, ketidakmampuan dari imperialisme untuk
memelihara kontrolnya dengan cara-cara lama yaitu aturan milliter-birokratik
secara langsung. Ketiga, tertundanya revolusi kaum proletar di negara-negara
kapitalis yang maju dan lemahnya faktor subyektif . Terakhir, adanya rezim yang
amat kuat dari Bonapartisme kaum proletar di Uni Soviet.
Kemenangan USSR dalam Perang Dunia Kedua, dan
menguatnya Stalinisme setelah Perang itu dengan perluasan dari Stalinisme ini
ke wilayah Eropa Timur, serta kemenangan revolusi Cina, adalah keseluruhan
faktor yang terkombinnasi menjadi kondisi yang mendukung perkembangan
Bonapartisme kaum proletar sebagai sebuah varian konyol dari revolusi permanen
yang hanya dimengerti oleh tendensi kita. (Bonapartisme kaum proletar) ini
adalah fenomena yang sebelumnya sungguh tidak pernah terjadi dan tidak pernah
diharapkan adanya. Tidak ada tempat dalam Marxisme klasik yang bahkan pernah
mempertimbangkan sebagai suatu kemungkinan teoritis, bahwa sebuah perang kaum
tani dapat memimpin terjadinya pendirian sebuah negara pekerja, bahkan negara
milik pekerja yang dideformasi. Meski demikian, inilah tepatnya yang muncul di
Cina, lalu menyusul di Kuba dan Vietnnam.
Kami mengkarakterisasikan revolusi Cina sebagai
kejadian terbesar kedua dalam sejarah, setelah revolusi Rusia di tahun 1917.
Kejadian itu mempunyai efek yang luar biasa besar dalam perkembangan
selanjutnya dari revolusi di daerah-daerah jajahan. Tetapi revolusi Cina ini
tidak mengambil tempatnya di atas garis klasik revolusi Rusia tahun 1917
ataupun revolusi Cina tahun 1925-27. Kelas buruh tidak memainkan peran penting
apapun. Mao meraih kekuasaan di atas basis perang kaum tani yang gagah berani,
sesuai tradisi Cina. Satu-satuya cara Mao bisa memenangkan perang saudara di
tahun 1944-49 adalah dengan menawarkan sebuah program mengenai pembebasan
sosial kepada para bala tentara petani dari Chiang Kai-Shek, yang dipersenjatai
dan disokong oleh imperialisme Amerika. Tetapi para pemimpin Stalinis dari
Tentara Merah kaum tani tidak memiliki perspektif mengenai hal memimpin keum
buruh menuju kekuasaan sebagaimana dilakukan Lenin dan Trotsky tahun 1917.
Ketika bala tentara petani Mao sampai di kota-kota, dan secara spontan kaum
buruh menduduki pabrik-pabrik dan memberi lambaian selamat kepada bala tentara
Mao dengan lambaian bendera merah, Mao memberikan perintah bahwa
demonstrasi-demonstrasi tersebut harus ditekan dan para buruh tersebut
ditembaki.
Awalnya, Mao tidak bermaksud untuk melakukan
penyitaan terhadap kapitalis-kapitalis Cina. Perspektifnya untuk revolusi Cina
tertuang dalam sebuah pamflet berjudul On New Democracy yang di dalamnya ia
menulis bahwa revolusi sosialis adalah bukan tugas mendesak di Cina, dan
satu-satunya perkembangan yang dapat diberi tempat adalah sebuah perekonomian
campuran, yaitu kapitalisme. Ini adalah teori Menshevik "dua tahapan"
klasik yang telah diadopsi oleh birokrasi Stalinis dan telah menggiring
kekalahan revolusi di Cina tahun 1925-27. Tetapi kita memahami bahwa di bawah
kondisi-kondisi kongkrit yang telah berkembang waktu itu, harusnya Mao akan
terdorong untuk melakukan penyitaan kapitalisme.
Tidak hanya itu, tetapi kita jauh-jauh hari telah
memprediksikan kenyataan bahwa Mao akan terpaksa putus hubungan dengan Stalin.
Di awal tahun 1949 kita telah menulis : "Fakta bahwa Mao memiliki massa
murni yang basisnya independen dari Tentara Merah Rusia dalam semua kemungkinan
akan menyediakan basis independen untuk pertama kalinya bagi Stalinisme Cina
yang akan tidak lebih lama lagi bergantung pada Moskow. Sebagaimana Tito,
begitu pulalah dengan Mao, meski bagaimanapun peran Tentara Merah di Manchuria,
Stalinisme Cina kini mengembangkan dasar yang independen. Sebab
aspiirasi-aspirasi nasional dari massa di Cina, perjuangan tradisional melawan
dominasi asing, kebutuhan ekonomi negeri, dan di atas semua itu, dasar yang
kokoh dalam aparatus negara yang independen, kebahayaan mengenai munculnya
seorang Tito yang baru dan perkasa di Cina merupakan satu faktor yang menimbulkan
kecemasan di Moskow (...)
"Bagaimanapun, subordinasi terhadap ekonomi
Cina untuk keuntungan birokrasi Rusia, dengan berbagai upaya menempatkan
boneka-boneka di dalam kontrol Moskow, yang boneka-boneka ini akan sepenuhnya
berporos ke Moskow &endash;dengan kata lain, penindasan nasional terhadap
Cina&endash; akan menciptakan dasar yang besar sekali signifikasinya bagi
perpecahan dengan Kremlin. Dengan aparatus negara yang independen dan kuat,
dengan kemungkinannya melakukan manuver terhadap kaum imperialis Barat (yang
akan mencari negoisasi dengan Cina untuk hal perdagangan dan mendorong
perpecahan antara Peking dan Moskow), dan dengan dukungan massa Cina yang
menganggapnya sebagai pemimpin yang jaya dalam melawan Kuomintang, Mao akan
memiliki point-point dukugan yang kuat dalam hal melawan Moskow.
"Usaha-usaha ngotot Stalin untuk mencobakan
dan mencegah perkembangan ini akan memperunyam, mempercepat dan mengintensifkan
kemarahan serta konflik." (Reply to David James, dicetak kembali dalam E.
Grant, The Unbroken Thread, hal. 304.)
Baris-baris ini ditulis lebih dari satu dekade
sebelum pecahnya konflik Sino-Soviet, ketika birokrasi-birokrasi Cina dan Rusia
terlihat sebagai konco nan tak terpisahkan.
Kemenangan laskar petani Mao di Cina terjadi
akibat sejumlah faktor: kebuntuan total dan menyeluruh dari kapitalisme dan
pertuantanahan di Cina, ketidakmampuan Cina melakukan intervensi sebab di
pasukan tempur kaum imperialis setelah Perang Dunia kedua terdapat ketakutan
akan perang, dan juga sebab daya tarik kekuatan kolosal dari nasionalisasi
rencana ekonomi di Rusia Stalinis yang menunjukkan superioritasnya selama
perang melawan Jerman di bawah kepamimpinan Hitler.
Fakta bahwa kaum tani digunakan untuk memikul
sebuah revolusi sosial adalah sebuah perkembangan yang sepenuhnya baru dalam
sejarah Cina. Cina adalah negeri yang peran kaum taninya sudah menjadi hal
klasik, di mana perang ini terjadi pada interval-interval beraturan tetapi
bahkan ketika perang-perang ini berjaya ini semata akibat dalam fusi elemen-elemen
kepemimpinan dari laskar petani dengan kaum elit di perkotaan, akibat dari
pembentukan suatu dinasti yang baru. Perang petani adalah sebuah lingkaran
setan yang menjadi karakter sejarah orang Cina selama lebih dari 2.000 tahun.
Tetapi di sini kita mempunyai sebuah titik balik yang fundamental. Tentara
petani di bawah kepemimpinan Mao mampu menggebuk kapitalisme dan mampu
menciptakan suatu masyarakat di atas imaji Moskow pimpinan Stalin. Tentu saja,
tidak akan ada hal mengenai negara pekerja yang sehat sebagaimana di Rusia pada
bulan November tahun 1917 telah didirikan dengan cara yang sedemikian rupa.
Untuk terjadi seperti apa yang ada di Rusia itu, partisipasi aktif dan
kepemimpinan kelas buruh amat diperlukan. Tetapi suatu tentara kaum tani, tanpa
kepemimpinan dari kelas buruh, adalah instrumen klasik dari Bonapartisme, bukan
kekuatan kaum buruh. Revolusi Cinna di tahun 1949 bermulai pada saat revolusi
Rusia telah berakhir. Jadinya tidak ada masalah mengenai dewan-dewan buruh atau
demokrasi milik kaum buruh. Sejak awalnya revolusi Cina adalah sebuah negara
pekerja yang terdeformasi secara mengerikan. Tendensi kita menggarisbawahi
bahwa pada skala dunia, satu-satunya kelas yang dapat mengadakan kemenangan
bagi sosialisme adalah kaum proletariat.
Sekali Mao meraih kekuasaan dan menciptakan suatu
aparatus negara di atas basis hierarki Tentara Merah dia tidak memiliki
kebutuhan apapun untuk menggalang persahabatan antara dirinya sendiri dengan
kaum borjuis. Dalam sebuah cara yang tipikal milik kaum Bonapartis, Mao
menyamaratakan antara kelas-kelas yang berbeda. Mao bersandar kepada kaum tani
dan pada bidang-bidang tertentu ia bersandar kepada kelas buruh untuk menyita
hak kaum kapitalis. tetapi sekali kaum kapitalis ini telah dikalahkan, kemudian
Mao mulai mengeliminir elemen apapun yang mungkin eksis dari demokrasi buruh.
Fenomena ini dimungkinkan adanya adalah sepenuhnya karena kekosongan revolusi
di tingkat dunia dan kebuntuan masyarakat. Mao memiliki contoh yang amat kuat
dari Stalinisme di Rusia, di mana sebuah birokrasi yang kuat menggerogoti
rencana perekonomian dan menarik keuntungan dari hal itu hingga iapun
memutuskan untuk mengikuti model yang sama. Walau karakternya dideformasi
habis-habisan, Revolusi Cina biar bagaimanapun juga tetap menyajikan satu
langkah maju yang amat besar bagi ratusan juta orang yang telah diperbudak oleh
imperialisme.
BONAPARTISME KAUM PROLETAR
Dalam menelaah proses-proses yang timbul dalam
revolusi di daerah kolonial pada periode setelah perang dunia kedua, sebagai basis
titik awal kita mengambil teori revolusi permanen dari Trotsky yang,
sebagaimana sudah kita lihat, telah secara brilian terkonfirmasikan oleh
sejarah. Tetapi dalam praktek, teori-teori tidak perlu dikerjakan dalam cara
yang murni dan tersuling secara kimiawi. Bisa terdapat segala macam
varian-varian pembelokan, distorsi-distorsi dan beberapa titik balik dari
berbagai norma tadi. Hal ini dapat dilihat dalam segala cara.
Periode klasik revolusi demokratik-borjuis
dimulai dua atau bahkan tiga ratus tahun yang lalu dengan terjadinya revolusi
di Belanda, Inggris, dan Perancis. Marx mengambil revolusi Perancis tahun
1789-93 sebagai modelnya untuk revolusi demokratik borjuis dalam pengertian
politis (sementara Inggris menyajikan model ekonomi). Tetapi senantiasa ada
perkecualian terhadap norma-norma klasik. Sebagai contohnya Jerman, di mana
tugas-tugas dasar dari revolusi demokratik-borjuis diadakan dengan cara ganjil,
yaitu dari jajaran atas oleh kaum negarawan Junker lama di bawah pimpinan
Bismarc. Tentu saja, terdapat banyak kontradiksi dan elemen yang tertinggal
dari feodalisme yang baru kemudian berhasil dibersihkan dengan revolusi
November 1918 &endash;sebuah revolusi kaum proletar yang kalah, di mana di
dalamnya kaum buruh menyingkirkan bentuk negara yang lama dan kemudian para
pemimpin Sosial Demokratik menyerahkan kekuasaan di tangannya kepada kaum
borjuis. Serupa juga di Jepang yang merupakan negara feodal kuno yang memulai
proses revolusi demokratik-borjuis pada 1860-an. Di bawah tekanan kekuatan-kekuatan
eksternal, proses tersebut terselesaikan hanya oleh pendudukan kekuatan Amerika
setelah 1945, yang dilakukan sebagai usaha untuk menghalang-halangi terjadinya
revolusi di Jepang.
Fenomena bonapartisme kaum proletar memiliki
hubungan terhadap teori revolusi permanen serupa dengan sebagaimana proses yang
mengambil tempat di Jerman dan di Jepang berhubungan dengan norma klasik
revolusi demokratik-borjuis, yaitu sebagai penyimpangan-penyimpangan yang
muncul dari suatu jalan historis dari berbagai keadaan. Fenomena ini hanya
dapat dimengerti terjadinya atas dasar kebuntuan komplit dari
masyarakat-masyarakat tersebut (di mana terjadi bonapartisme proletar) dan
kekosongan adanya revolusi di Dunia barat. Massa di negara-negara kolonial
tidak dapat lebih lama lagi menunggu. Itu adalah penjelasan yang fundamental.
Tetapi kita juga harus memasukkan ke dalam pertimbangan kita mengenai
kepelikan-kepelikan yang spesifik dari negara-negara kolonial dan bekas
jajahan, yang membuat negara-negara ini berbeda dari negara-negara yang maju
akibat kapitalisme, dan oleh karena itu mengijinkan varian-varian rumit
tertentu untuk terjadi, di mana varian-varian ini sebelumnya tidak dilihat oleh
kaum klasik penganut Marxisme. Kami mengajukan tulisan ini secara khusus dalam
hubungannnya dengan negara.
Marxisme akan menjadi urusan yang sangat
sederhana jika ia semata-mata cuma suatu masalah mengenai belajar di luar
kepala soal formula-formula elementer yang diambil dari teks-teks klasik dan
mengaplikasikan semua ini dalam suatu cara yang mekanis dan tanpa dipikirkan,
lalu menerapkannya pada setiap jenis situasi. Metode dialektik menuntut bahwa
kita mulai dari sebuah pertimbangan obyektif dari fenomena yang terjadi,
membawa setiap kasus ke dalam kebenarannya dan melakukan peninjauan terhadapnya
dari segala sudut pandang. Sebuah analisis yang serius mengenai negara-negara
kolonial dan bekas kolonial membukakan adanya perbedaan-perbedaan besar antara
negara-nagara ini dengan jenis negara yang ada dalam bangsa-bangsa kapitalis
yang maju, serta perbedaan-perbedaan dengan negara-negara yang menyajikan model
dasar bagi karya-karya klasik Engels dan Lenin. Negara-negara (jajahan dan
bekas jajahan) ini telah diciptakan dan disempurnakan oleh kaum borjuis sebagai
perangkat bagi aturan-aturannya. Pada setiap level, negara-negara ini dikelola
oleh wakil-wakil setia yang dibentuk dan dilatih oleh kaum borjuis untuk
melayani kepentingan-kepentingannya. Di atas semua itulah negara-negara
industri maju dapat mengembangkan kekuatan-kekuatan produktif. Tetapi,
negara-negara yang baru dibentuk di wilayah-wilayah tadi sepenuhnya beda dengan
negara-negara yang telah diciptakan dan dikembangkan selama bergenerasi lamanya
oleh kaum Borjuis di dunia Barat. Di tempat-tempat seperti Syria atau Burma
masyarakat ini berada dalam sebuah kebuntuan, tidak dapat mengembangkan
kekuatan-kekuatan produktif dan sepenuhnya berada dalam kekisruhan.
Ini adalah satu dalil elementer mengenai
Marxisme, bahwa negara bukanlah sebuah kekuatan independen. Ia harus
merefleksikan kepentingan dari sebuah grup atau kelas di tengah masyarakat.
Dalam masa-masa normal negara merefleksikan posisi kelas berkuasa. Tetapi dalam
periode krisis dan ketidakstabilan sosial, pemerintah dan tentara terpecah dan
bercerai-berai dalam sejumlah faksi. Negara-negara yang telah diciptakan di
atas basis penolakan terhadap imperialisme, meskipen karakternya borjuis,
amatlah lemah. Di negeri-negeri ini &endash;Burma Syria, Angola, Mozambik,
Ethiopia, Somalia, Afghanistan, dan negara-negara lain yang mengacu pada
Bonapartisme kaum proletar&emdash; negara tunduk kepada berbagai kudeta dan
krisis terus-menerus. Dengan adanya kebuntuan rezim sepenuhnya dan kekosongan
adanya revolusi di dunia Barat, serta contoh yang diperlihatkan Stalinisme, di
mana pada tahap ini negeri-negeri tadi sedang membangun kekuatan-kekuatan
produktif, menjadi sebuah kekuatan yang sangat menarik minat bagi
lapisan-lapisan tertentu di tengah aparatus negara.
Mengambil Cina yang terdorong oleh daya tarik
Stalinisme sebagai contoh mengenai satu langkah maju bukan hanya terjadi di
tengah massa yang terdiri dari kaum tani miskin di negara-negara yang dulunya
berupa negara jajahan, tetapi juga terjadi pada bagian-bagian di jajaran
aparatus negara di negeri-negeri tadi. Sejumlah negara-negara yang berada dalam
situasi kolaps dan ancaman disintegrasi, bergerak dalam arahan menuju
bonapartisme kaum proletar. Jajaran para pejabat bersandar pada kelas buruh dan
kaum tani untuk mengadakan sebuah revolusi, untuk menumbangkan kapitalisme dan
pertuantanahan. Mereka melihat Stalinisme sebagai sebuah rezim yang membawa
masyarakat ke arah maju tetapi pada saat yang bersamaan memperbolehkan golongan
birokratik mempunyai hak-hak istimewa dan menjalankan masyarakat. Ini adalah
proses yang terjadi terutama di negara-negara kolonial yang paling terbelakang
seperti Ethiopia, Angola, Afghanistan, dll; di mana kaum proletar adalah (dan
masih) merupakan kelas yang sangat lemah atau bahkan hampir tidak eksis.
Faktor penting lain dalam pergerakan menuju
bonapartisme kaum proletar di seluruh negara-negara ini adalah terjadinya
tendensi di seluruh dunia atas hal statisasi. Fenomena ini sudah diibahas oleh
Engels, yang lebih merujuk "serbuan perekonomian kaum sosialis", dan
kemudian oleh Lenin yang menggambarkan hal itu sebagai monopoli kapitalisme
negara. Fakta bahwa kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi telah mencapai
limitasinya diekspresikan oleh kenyataan bahwa di semua negara-negara kapitalis
sebagian besar perekonomian berada di tangan negara meskipun, tentu saja, elemen-elemen
kunci, yaitu sektor-sektor yang paling menguntungkan, tetap berada di bawah
penguasaan swasta. Sektor yang dikuasai negara tidak memainkan peran independen
melainkan diadakan hanya sebagai perpanjangan tangan sektor swasta, bertugas
menyediakan kepada kaum kapitalis: baja murah, listrik murah, batu bara murah,
dll.
Proses yang sama berlangsung di dunia ketiga,
tidak semata di dalam rezim-rezim bonapartisme kaum proletar tetapi bahkan
terjadi di negara-negara borjuis yang relatif lebih berkembang seperti
Argentina, Meksiko, India, dll. Banyak pemimpin borjuis dari negara ini
menyatakan diri sebagai "sosialis" (seperti Nasser di Mesir, Nyrere
di Tannzania, Nehru di India dan Nkrumah di Ghana) dan melakukan nasionalisasi
pada sebagian besar perekonomian. Dalam kasus-kasus sebagaimana terjadi di
Syria, Ethiopia, dan yang lainnya, sebagian dari lapisan pejabat sebenarnya
mengadakan proses menuju sebuah konklusi, bersandar kepada kelas buruh untuk
melakukan penyitaan sepenuhnya terhadap borjuasi. Mereka mendirikan rezim di
bawah bayang-bayang Moskow dan Beijing di mana di dalamnya kapitalisme
dienyahkan tetapi kaum buruh ditaklukkan kepada sebuah tirani baru dalam bentuk
rezim totalitarian dengan partai tunggal yang birokratis. Tentu saja, rezim-rezim
yang demikian tidak mempunyai satupun ciri sosialisme atau bahkan ciri sebuah
negara buruh yang sehat. Dalam setiap kasus di mana tugas-tugas historis dari
satu kelas telah diadakan dengan cara yang didistorsi oleh kelas yang lain,
selalu saja ada harga yang harus dibayar. Kami menjelaskan bahwa untuk
melakukan kemajuan dalam arah sosialisme, sebuah revolusi baru akan diperlukan.
Bukan sebuah revolusi sosial untuk membangun relasi-relasi kepemilikan yang
baru (sebab hal ini sudah dilakukan), melainkan sebuah revolusi politis melawan
kasta birokratik yang berkuasa dengan tujuan untuk mendirikan sebuah rezim
demokrasi kaum buruh yang murni. Bagaimanapun juga, penghapusan kapitalisme dan
pertuantanahan di negara-negara ini mempresentasikan adanya satu langkah maju
dan sebuah guncangan melawan imperialisme dan, yang demikian ini, disambut baik
oleh kaum Marxis.
Dalam sebagian besar, jika tidak dalam semua
kasus, Moskow dan Beijing tidak memainkan peran apapun. Lebih sering daripada
tidak berperan apapun, mereka dilawan untuk menumbangkan kapitalisme dan mereka
ini melakukan apa saja yang mereka bisa untuk menghalanginya. Partai Komunis
Kuba mendukung Batista untuk melawan Castro. Belakangan birokrasi Rusia dan
Kuba memberikan tekanan terhadap kaum sandinista untuk tidak melakukan
pengambilalihan terhadap kapitalisme di Nikaragua. Tentu saja di manapun proses
begitu terjadi, mereka (kaum birokrat itu) mengambil keuntungan darinya untuk
memperkuat posisi mereka dalam berhadap-hadapan dengan imperialisme AS. Inilah juga
kasus di Afghanistan, di mana para pejabat militer Stalinis mengadakan revolusi
dari atas, tanpa referensi apapun ke Moskow. Birokrasi Rusia memiliki hubungan
yang amat baik dengan rezim borjuis Doud di Kabul, dan bahkan siap mengorbankan
Partai Komunis kepada rezim tersebut. Tetapi sekali revolusi merupakan sebuah
kenyataan, mereka harus menerimanya.
Kaum Imperialis merespon revolusi di Afghanistan
dengan mempersenjatai dan membiayai kelompok-kelompok bandit dan gelandangan
yang diupah untuk mengadakan perang melawan rezim yang baru. Jikalau yang
disebut terakhir ini mengikuti kebijakan-kebijakan yang sama sebagaimana yang
dilakukan kaum Bolshevik, mendasari diri mereka pada massa dalam perjuangan
melawan imperialisme dan reaksi, bisa jadi mereka menang walaupun harus diingat
bahwa dalam kondisi yang amat luar biasa terbelakang begitu bahkan sebuah
negara buruh yang sehat akan menghadapi begitu banyak kesukaran. Adalah sangat
perlu untuk memulainya secara bertahap dan dengan kehati-hatian yang sungguh,
terutama pada permasalahan agama. Tetapi usaha untuk menyelinapkan perubahan
masyarakat dari atas, dalam sebuah karakter birokratis yang terkontrol
habis-habisan, terdorong oleh invasi Rusia dan pembersihan yang luar biasa
besar serta lain-lain cara yang dihasilkannya, telah dengan fatal memperlemah
revolusi saat berhadapan dengan jagal-jagal kekuatan kontra-revolusioner yang
disokong oleh Amerika dan Pakistan.
Sebuah proses serupa terjadi di Afrika, di mana
kaum imperialis memperlengkapi pemerintah di Afrika selatan untuk menumbangkan
rezim-rezim kaum Bonapartis proletar di Angola dan Mozambique. Sebagaimana di
Afghanistan mereka mempersenjatai dan membiayai tentara bayaran yang kejam
serta para bandit. Apa yang terjadi bukanlah perjuangan politis melainkan
semata-mata mobilisasi "kekuatan-kekuatan hitam" untuk membunuh,
membakar, memperkosa, dan melakukan penjarahan. Imperialisme tidak dapat
mentoleransi keberadaan bahkan negara-negara buruh yang terdeformasi di jantung
Afrika, sebab hal itu akan menjadi contoh bagi Afrika Selatan. Daripada melihat
hal tersebut terjadi, kaum imperialis lebih suka membenamkan Angola, Mozambik,
dan Afghanistan ke dalam abad kegelapan.
APAKAH REZIM-REZIM BONAPARTISME PROLETAR YANG BARU BISA MUNGKIN?
Mendasari diri kita pada analisis ini, apa yang
menjadi kemungkinan bagi formasi rezim-rezim Bonapartisme proletar baru? Untuk
menjawab masalah ini perlu memulainya dari perspektif-perspektif dunia secara
menyeluruh. Tendensi seluruh dunia terhadap intervensi negara dalam bidang perekonomian
telah berbalik setelah kemerosotan tahun 1974 dan berbelok menjadi lawannya,
terutama sejak proses swastanisasi dimulai oleh Tacther di tahun 1980-an. Hal
ini merefleksikan kebuntuan kapitalisme pada skala dunia serta kebangkrutan
dari model kuno Keynesianisme. Negara-negara kolonial secara luas telah
dipaksa, melalui diktean dari IMF dan Bank Dunia, untuk "membuka"
pasar mereka dan melakukan swastanisasi terhadap industri-industri nasional.
Ini sungguh sebuah penjarahan terhadap negara-negara itu. Hal ini akan memiliki
konsekuensi-konsekuensi berjangka panjang di periode yang akan datang. Mereka
menciptakan sebuah bahasa yang baru keseluruhnya ("perampingan",
"liberalisasi","pembukaan pasar", "perekonomian bebas",
dll.) untuk menjadi bungkus yang menutupi apa yang sebenar-benarnya merupakan
destruksi habis-haabisan terhadap kekuatan-kekuatan produktif dan pekerjaan.
Ini mengingatkan orang pada "Bahasabaru dalam novel George Orwell, 1984,
di mana Kementrian Kekayaan mengurusi pemiskinan, Kementrian Perdamaian adalah
Kementrian Perang, dan Kementrian Cinta Kasih adalah polisi rahasia.
Para advokat "pasar bebas" telah dengan
baik sekali melupakan bahwa kapitalisme sesungguhnya berkembang berdasarkan
basis benteng tarif yang tinggi. Di fase awal kapitalsme Inggris, kapitalisme
bernaung di belakang benteng perdagangan biaya tinggi untuk mempertahankan
industri-industri nasionalnya sendiri yang masih kintis-kinyis. Hanya ketika
industrinya telah menjadi kuat maka kaum borjuis Inggris menjadi semacam advokat
yang amat bernafsu mengenai "prinsip" perdagangan bebas. Ini sama
persis dengan Perancis, Jerman, Amerika, Jepang, dan semua lainnya yang
sekarang memohon-mohon adanya nilai perdagangan bebas kepada bangsa-bangsa di
Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tetapi proses ini menciptakan
kontradiksi-kontradiksi baru. Golongan-golongan aparatus negara