Marxisme dan Perjuangan Melawan Imperialisme




Hampir tujuh tahun berlalu sejak George Bush, waktu itu presiden Amerika Serikat, mengucapkan pidatonya yang terkenal, "Tatanan Dunia Baru". Itu terjadi tahun 1991. Saat melancarkan Perang Teluk, kekuatan Imperialis yang paling utama di muka bumi menjanjikan sebuah dunia tanpa peperangan, tanpa kediktatoran, dan &endash;tentu saja&endash; sebuah dunia yang sepenuhnya berada di bawah kontrol satu-satunya polisi dunia yang berkuasa penuh &endash;Amerika Serikat. Setelah keruntuhan Stalinisme, Imperialisme AS benar-benar mengira bahwa dunia akan dengan lekatnya berada di bawah perintah mereka dan mereka akan bisa mendikte nasib tiap negara. Semua konflik di dunia diselesaikan melalui dialog dalam semacam "Pax Americana". Nyatanya, sekarang semua impian ini telah tereduksi menjadi puing-puing semata.
Dominasi imperialisme yang sifatnya menghancurkan di dalam arena dunia, yang makin kuat saja setelah keruntuhan Stalinisme, berarti terjadinya eksploitasi yang makin parah terhadap Dunia Ketiga secara keseluruhan. Dominasi negara-negara metropolitan masih lebih besar daripada di masa lalu. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa birokrasi-militer lama yang langsung dikontrol oleh individu boss kolonial telah diganti tempatnya oleh dominasi kolektif atas dunia kolonial oleh negara-negara eksploiter yang kaya raya melalui mekanisme pasar. Di bawah panji "globalisasi" dan "pembukaan pasar" imperialisme melakukan pemaksaan melalui kebijaksanaan penurunan tarif dan swastanisasi berbagai prasarana di seluruh Dunia Ketiga. Kebijakan-kebijakan ini adalah satu akibat dari krisis kapitalisme di Dunia Barat yang memaksa negara-negara imperialis tadi untuk terus mencari pasar dan lapangan investasi baru. Tetapi mereka menetakkan kebangkrutan bagi industri-industri lokal di negara-negara yang mereka datangi, industri-industri yang tak dapat melawan berbagai perusahaan multinasional raksasa. Situasi ini telah memproduksi konsekuensi-konsekuensi yang paling membinasakan dan telah menghasilkan akibat-akibat yang sebelumnya tidak terlihat oleh Presiden Bush.
Secara tipikal, para pembuat strategi AS mempunyai pandangan pendek. Mereka gagal mengerti apa yang telah diterangkan oleh Trotsky bahkan sebelum Perang Dunia Kedua. Trotsky meramalkan bahwa Amerika Serikat akan muncul dengan jayanya dari hiruk pikuk perang yang akan tiba, tetapi sebagai akibatnya Amerika Serikat memasang dinamit di pondasinya sendiri. Saat ini kita melihat bahwa ramalan ini menjadi kenyataan. Kolapsnya Uni Soviet telah merubah bentuk relasi di antara pemilik kekuasaan, menjadikan USA sebagai satu-satunya negara adi daya di dunia. Dalam sejarah umat manusia, tidak pernah ada satu negara tunggal yang menikmati dominasi ekonomi dan militer sedemikian rupa. Malahan krisis yang datang terus-menerus adalah manifestasi bahwa imperialisme AS adalah si Colossus berkaki lempung. Meskipun mengalami kemenangan militer dalam Perang Teluk, AS tidak mampu menggeser Saddam Hussein. Usahanya dalam intervensi militer melawan milisi cakar ayam di Somalia berakhir dalam satu kekalahan memalukan. Sekarang krisis di Asia dan khususnya berbagai kejadian di Indonesia telah menempatkan revolusi secara ajeg dalam agenda. Di Selatan, Amerika Serikat menghadapi suatu krisis menyeluruh di Amerika Tengah dan Amerika Latin dengan berbagai gejolak sosial politik di Meksiko, sebuah perang gerilya yang ber kepala batu di Kolombia, dan sebuah situasi eksplosif di Argentina dan Brazil. Ke mana saja ia mengarahkan pandangan, imperialisme AS dapat melihat bahwa tidak ada satupun rezim borjuis bisa stabil. Seluruh dunia telah masuk ke dalam periode paling kejang dalam kurun waktu ratusan tahun.
BEBAN HUTANG
Eksploitasi berlebihan terhadap Dunia Ketiga, yang makin intensif setelah keruntuhan Stalinisme, mempunyai arti terjadinya perpindahan kekayaan dari negara-negara ini ke peti penyimpanan uang milik perusahan-perusahaan multinasional raksasa dan bank-bank. Hal ini dapat terlihat pada beban hutang yang telah mencapai proporsi yang bahkan sebelum pertemuan G-8 di Birmingham (Mei 1998) telah ada beberapa pembicaraan mengenai inisiatif keringanan pinjaman bagi beberapa negara termiskin. Di akhir pertemuan itu tidak ada satupun inisiatif disetujui. Bank Dunia &endash;tanpa membicarakan pengembalian hutang yang sebenarnya, juga telah memulai sebuah program HIPC (Highly Indebted Poor Countries) yang bertujuan untuk memotong beban hutang 41 negara yang membelanjakan lebih dari 20 persen pendapatan ekspor mereka untuk pembayaran bunga hutang.
Semua rencana ini tidaklah lahir dari niat baik dan kemurahan hati para eksekutif Bank Dunia dan IMF. Ada tiga alasan utama untuk hal ini. Yang paling pertama adalah sangat tidak mungkin bahwa negara-negara ini akan pernah mampu membayar hutang mereka. Oleh karena itu, mereka (IMF dan Bank Dunia) telah memutuskan untuk mengenali realita dan membuat pemerintahan-pemerintahan dunia Barat mengembalikan apa yang dipinjamnya dari bank-bank penyandang dana dengan uang para pembayar pajak. Dalam cara ini bank tidak pernah kalah. Tujuan utama dari inisiatif-inisiatif keringanan hutang ini adalah, di satu sisi, untuk memaastikan bahwa para bankir memperoleh kembali uang mereka, dan di sisi lain, untuk mengangkat negara-negara yang banyak hutang ini ke suatu posisi di mana mereka bisa meminta lebih banyak pinjaman! Kedua, jumlah hutang yang dipinjam oleh negara-negara penghutang terbesar ini, sebagai sebuah persentase dari total pinjaman negara-negara yang dulunya negara-negara jajahan, adalah sangat kecil. Dan yang ketiga, rencana-rencana keringanan tadi datang bersama-sama dengan banyak sekali syarat-syarat terkait. Negara-negara yang terlibat harus melaksanakan "rekomendasi-rekomendasi" (yaitu, perintah) dari IMF.
Rencana Penyesuaian Struktural (SAPs, Structural Adjustment Plans) IMF yang terkenal sekarang telah berjalan cukup lama hingga dapat mengetahui apa konsekuensi-konsekuensinya. Sebagai satu contoh, Zambia adalah sebuah negara yang relatif berkembang dengan sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakit, pelayanan pendidikan, serta sebuah infrastruktur modern yang dibangun terutama di atas basis pendapatan dari pertambangan tembaga. Sepuluh tahun pelaksanaan "penyesuaian struktural" menggiring angka harapan hidup jatuh dari 54,4 tahun di tahun 1991 menjadi 42,6 tahun di tahun 1997. Angka melek huruf berkurang, dan sebagai akibat langsung dari naiknya biaya rumah sakit sekarang tercatat 203 kematian bayi per 1.000 kelahiran dibandingkan 125 di tahun 1991. Akses mendapatkan air bersih juga berkurang, dan 98,1 persen jumlah penduduk hidup atas 2 USD per hari atau malah kurang. Hutang negara mewakili 225 persen GDP (Gross Domestic Product). Oleh karena itu, sama sekali tidak mengejutkan bahwa baru-baru ini terjadi kerusuhan pangan di Zambia &endash; juga di negara-negara yang lain, seperti Zimbabwe dan Tanzania.
Beban hutang negara-negara termiskin di dunia menghabiskan 94 persen pendapatan ekonomi per tahun mereka. Untuk negara-negara yang termasuk dalam program HIPC gambaran ini berkisar 125 persen. Dibandingkan pendapatan hasil ekspor, persentase hutang telah mencapai tingkat yang belum pernah terdengar: Somalia 3.671 persen, Guinea-Bissau 3.509 persen, Sudan 2.131 persen, Mozambik 1.411 persen, Ethiopia 1.377 persen, Rwanda 1.374 persen, Burundi 1.131 persen. Dan jauh dari membaik, situasi secara nyata malah makin memburuk. Tahun 1980 total jumlah hutang dari negara-negara belum berkembang adalah 600 miliar USD. Di tahun 1990 jumlah itu naik hingga 1,4 triliun USD dan tahun 1997 jumlah itu secara mengagetkan menjadi 2,17 triliun USD. Adalah penting untuk mencatat bahwa dalam periode 1990-97, ketika jumlah hutang total naik 770 miliar US dollar, negara-negara ini sebenarnya telah membayar 1,83 triliun US dollar hanya untuk bunga hutang. Sebuah gambaran yang lebih bersifat skandal licik akan muncul jika kita membandingkan pembayaran bunga hutang dengan bantuan yang diterima negara-negara ini, yaitu untuk satu dollar yang mereka terima dalam bantuan, mereka membayarkan kembali 11 dollar untuk bunga hutang.
Akibat-akibat situasi ini jelas. Situasi di seluruh Afrika Sub-Sahara adalah mimpi buruk. Menurut The Economis (6/6/98), "Hampir setengah dari 760 juta orang yang di benua ini 'amat sangat miskin', bertahan hidup, diungkapkan oleh ADB (Bank Pembangunan Afrika), atas kurang dari 1 dollar per hari. Walaupun terdapat tanda-tanda yang membesarkan hati dalam beberapa bagian benua, rata-rata pertumbuhan GDP nyata turun di tahun 1997 menjadi 3,7 persen dari 5 persen di tahun sebelumnya. Kesembuhan Afrika masih rapuh dan tatap sama rentan dengan sebelumnya terhadap harga-harga komoditas dan iklim ekonomi yang memburuk. Globalisasi perdagangan dunia... dapat menekan ekonomi benua ini jauh melampaui margin batasnya. Menurut Bank Dunia Afrika hanya menarik minat 1,5 persen investasi langsung milik penanam modal asing di tahun 1996. Penerima bantuan terbesar, memperoleh 32 persen dari jumlah total, adalah Nigeria yang, terpisah dari fakta mempunyai persediaan minyak bumi, tidak mereformasi ekonominya dalam cara di mana minyak bumi dikatakan oleh Bank Dunia sebagai essensial untuk menarik investasi asing." Meningkatnya tingkat pemiskinan dari penduduk di sebagian besar dunia kolonial telah memberikan kenaikan tajam pada meningkatnya jumlah kriminalitas, pasar gelap, dan "ekonomi informal". Dalam beberapa kasus, pasar gelap mewakilkan jumlah yang lebih besar dalam bidang ekonomi dibandingkan pasar resmi dan pasar gelap ini merembes ke semua bidang aparatus negara. Mereka mencoba melindungi kepentingan mereka dalam arena politik melalui kekuatan-kekuatan kaum fundamentalis dan "populis". Semua ini adalah kekuatan-kekuatan ekonomi yang dahsyat yang dalam banyak kasus memiliki kepentingan-kepentingan yang lalu menimbulkan konflik dengan kepentingan-kepentigan imperialisme. Jadi, di semua tingkatan, pembusukan kapitalisme merusak apa yang menjadi hal paling dasar bagi eksistensi umat manusiia di dua per tiga planet. Sebagaimana Lenin ingatkan, perpanjangan eksistensi kapitalisme menandai "horor tanpa akhir".
PERAN KELAS PEKERJA
Marx, Engels, dan Lenin senantiasa memberi penekanan pada peran terdepan dari kaum proletariat di dalam revolusi. Mereka menjelaskan bahwa hanya kelas pekerja yang bisa mengusung revolusi kaum sosialis. Tak ada kelas lain yang dapat memenuhi peran ini. Mengapa begini? Ini bukanlah sebuah cetusan pikiran yang tiba- tiba atau sebuah asumsi arbiter. Ia berbasis pada peran para pekerja dalam produksi, dan kenyataan bahwa partisipasi dalam produksi kolektif ("sosial") berarti bahwa kelas pekerja sendirian membangun sebuah kesadaran sosialis (kolektifis). Ini bukan kasus dengan kelas lain. Kaum tani adalah sebuah kelas para pemilik kecil. Bahkan para petani yang tak bertanah, kaum proletariat pedesaan, sering sekali mendambakan pemilikan tanah; jadilah slogan "Tanah untuk penggarapnya" &endash;yang, meski ini merupakan signifikasi revolusioner yang luar biasa, semboyan ini memiliki kandungan borjuis, bukan sosialis. Para mahasiswa dan kaum cendekiawan mempunyai sebuah tendensi yang kuat terhadap individualisme borjuis kecil, yang seringkali memunculkan dirinya bahkan ketika mereka mencoba mengadopsi posisi revolusioner.
Melalui pengalamannya, kaum proletariat belajar untuk memahami organisasi kolektif dan disiplin. Inilah hasil dari sekolah keras produksi dan eksploitasi kapitalis, yang mempersiapkan para pekerja untuk menghadapi perjuangan kelas. Senjata-senjata wajar milik kaum proletar adalah metode-metode perjuangan massa &endash;pemogokan, pemogokan umum, demonstrasi massa, yang bertindak sebagai sebuah sekolah yang mempersiapkan kelas ini untuk tugas utamanya, yaitu mengambil alih jalannya masyarakat ke dalam tangannya. Gerakan kaum pekerja di semua tempat adalah sekolah demokrasi. Sebelum para pekerja itu memutuskan untuk melakukan pemogokan, terdapat diskusi demokratis di mana di dalamnya pendapat yang saling bertentangan dapat terdengar. Tetapi sekali telah diambil pilihan suara, kaum bekerja bertindak sebagai satu kesatuan. Mereka yang telah mencoba menghianati keputusan demokratis para pekerja dan mengacaukan pemogokan diperlakukan sebagai buruh penghianat yang memang harus dihukum. Unjuk rasa adalah ekspresi kongkrit dari kehendak mayoritas. Selama berlangsungnya pemogokan kaum pekerja berpartisipasi, bekerja, dan berdiskusi. Setiap pekerja mengetahui bahwa ia belajar lebih banyak selama satu hari pemogokan dibandingkan satu tahun kehidupan "normal". Akibatnya, setiap pemogokan mengandung elemen-elemen revolusi dan sebuah revolusi adalah apa yang teradapat dalam sebuah pemogokan dalam skala besar dan luas. Banyak proses-proses yang muncul di dalam kelas bersifat analog, meskipun dua hal tadi berbeda secara kualitatif. Tetapi di masing-masing keduanya elemen kuncinya adalah partisipasi aktif dan sadar dari kelas pekerja, yang mulai mengambil alih nasibnya ke tangannya sendiri daripada menyerahkannya kepada orang lain &endash;para pemimpin serikat pekerja, anggota parlemen, anggota dewan, dan birokrat. Inilah esensi sosialisme atau, lebih tepatnya, esensi kekuatan pekerja.
Sosialisme adalah demokratis atau ia bukan apa-apa. Sejak awal mula revolusi sosialis, mestilah ada rezim yang paling demokratis, sebuah rezim yang akan berarti bahwa untuk pertama kalinya semua tugas-tugas mengenai menjalankan industri, masyarakat, dan negara akan berada di tangan mayoritas masyarakat, kelas pekerja. Melalui komite-komite mereka yang dipilih secara demokratis (soviets), yang dipilih secara langsung di tempat kerja serta tunduk atas recall sewaktu-waktu, para pekerja akan menjadi tuan dari masyarakat bukan hanya namanya saja, tetapi juga dalam kenyataan. Ini adalah posisi kaum pekerja di Rusia setelah Revolusi Oktober. Marilah kita ingat kembali bahwa Lenin meletakkan 4 syarat utama bagi sebuah negara kaum pekerja &endash;yaitu, untuk periode transisi antara kapitalisme dan sosialisme:
1)      Pemilihan umum yang bebas dan demokratis dengan hak recall terhadap semua pejabat
2)      Tidak ada pejabat yang pantas menerima gaji yang lebih tinggi daripada seorang pekerja yang ahli
3)      tidak ada tentara yang berjaga kecuali rakyat yang dipersenjatai
4)      secara bertahap, semua tugas-tugas menjalankan negara harus dilakukan oleh massa di atas basis yang bergilir. Ketika setiap orang menjadi birokrat pada gilirannya, maka tidak ada orang yang menjadi birokrat. Atau, sebagaimana Lenin menyatakan, "Sembarang penggodok ide harus bisa menjadi perdana menteri."
Hanya di atas basis demikianlah masyarakat dapat mulai bergerak dalam arahan sosialisme &endash;tahap tertinggi masyarakat manusia yang Engels gambarkan sebagai loncatan kemanusiaan dari wilayah keharusan menuju wilayah kebebasan. Secara jelas sebuah perkembangan yang demikian menuntut adanya sebuah perkembangan yang tinggi dalam kekuatan-kekuatan produktif. Itulah mengapa Marx dan Engels berpikir bahwa revolusi sosialis akan bermula di Perancis, dilanjutkan di Jerman, dan berakhir di Inggris. Pada waktu itu kelas pekerja hanya ada di negara-negara ini. Marx dan Engels, dan bahkan Lenin sampai pada tahun 1917, bahkan tak membayangkan kemungkinan kelas pekerja pertama kali muncul sebagai kekuatan justru di sebuah negara terbelakang. Sosialisme menuntut sebuah tingkat tertentu dari perkembangan industri, pertanian, ilmu pengetahuan, dan teknik, di dalam bingkai kerjanya. Hanya di atas basis inilah para pekerja bisa memiliki waktu bebas secukupnya &endash; di atas basis pengurangan hari kerja&endash; untuk berpartisipasi dalam menjalankan masyarakat dan negara.
Bagaimanapun, situasi telah berubah secara radikal setelah kematian Marx dan Engels, disebabkan oleh kedatangan imperialisme, tahap tertinggi dari kapitalisme sebagaimana dianalisa oleh Lenin dalam bukunya yang terkenal dengan judul sama. Lenin menjelaskan bahwa satu dari gambaran-gambaran utama dari imperialisme adalah ekspor kapital dari negara-negara maju ke negara-negara kolonial dan negara-negara semi-jajahan. Di atas basis hukum 'perkembangan gabungan dan tak seimbang', sebuah kelas pekerja yang perkasa tumbuh di negara-negara terbelakang seperti Rusia yang Tsarist, sebuah fakta yang tidak mengubah karakternya sebagai sebuah negara yang terbelakang, semi feodal, dan semi jajahan. Persoalan-persoalan utama dari polemik di antara tendensi-tendensi yang berbeda dari gerakan buruh Rusia sebelum 1917 adalah setepatnya merupakan karakter dari Revolusi Rusia dan relasi antar kelas dalam revolusi. Tak dapat disangkal, teori yang mengantisipasi dan menjelaskan apa yang sungguh-sungguh terjadi di tahun 1917 telah dikerjakan oleh Trotsky.
REVOLUSI PERMANEN
Teori revolusi permanen pertama dikembangkan oleh Trotsky di awal 1904. Revolusi permanen, sambil menerima bahwa tugas-tugas objektif yang menghadang pekerja Rusia adalah tugas-tugas revolusi demokratik kaum borjuis, juga secara bersamaan menjelaskan bagaimana di dalam sebuah negara terbelakang dan di dalam jaman imperialisme, "borjuasi nasional", di satu sisi berkaitan secara tak dapat dipisahkan dengan feodalisme yang tersisa sekaligus juga di sisi lainnya berkaitan dengan kapital milik kaum imperialis, dan oleh karena itu borjuasi nasional sepenuhnya tidak mampu mengemban tugas historis apapun. Kebusukan kaum borjuis liberal dan peran kontra revolusioner mereka dalam revolusi borjuis demokratis telah diamati oleh Marx dan Engels. Dalam artikelnya Borjuasi dan Kaum Kontra-Revolusi (1848), Marx menulis :
"Borjuasi Jerman telah berkembang dengan begitu malas, secara berat dan lamban di saat di mana dengan terancam ia menghadapi feodalisme dan absolutisme, ia juga melihat dirinya begitu terancam berhadapan dengan kaum proletar serta segala faksi warga kota yang memiliki berbagai kepentingan dan ide-ide yang bersaudaraan dengan ide serta kepentingan yang dipunyai kaum proletar. Dan ia melihat kesatuan tempur yang amat bermusuhan dnegannya bukanlah satu kelas di belakangnya, melainkan seluruh Eropa di hadapannya. Borjuasi Prusia bukanlah, sebagaimana borjuasi Perancis di tahun 1789, kelas yang merepresentasikann seluruh masyarakat modern vis-a-vis wakil-wakil masyarakat lama, monarki dan kaum bangsawan. Ia telah terbenam ke level sejenis lapisan sosial pemilik tanah, menentang kerajaaan sama jelasnya dengan ia menentang rakyat, ingin sekali menjadi oposisi bagi keduanya. Ragu-ragu melawan tiap lawannya, sendirianlah ia, sebab ia senantiasa melihat keduanya tadi di belakang atau di depannya; ia merosot hingga mengkhianati rakyat dan berkompromi dengan wakil-wakil kerajaan yang berasal dari masyarakat lama sebab ia sendiri milik masyarakat lama." (Karl Marx, Borjuasi dan Kaum Kontra Revolusi, MESW, volume 1, halaman 140-1).
Marx menjelaskan, borjuasi tidak mencapai kekuasaan sebagai hasil dari kerja keras revolusionernya sendiri, melainkan sebagai sebuah hasil dari gerakan massa di mana dalam gerakan ini ia tidak memainkan peranan apa-apa. Borjuasi Prusia terlempar ke ketinggian kekuasaan negara, bagaimanapun juga tidak dengan cara hal itu diinginkannya, yaitu dengan sebuah tawar menawar yang damai dengan kerajaan, melainkan dengan sebuah revolusi." (Karl Marx, Borjuasi dan Kaum Kontra Revolusi, MESW, volume 1, halaman 138).
Bahkan dalam jaman revolusi borjuis demokratik di Eropa, Marx dan Engels tanpa ampun membuka kedok peran kontra revolusioner, pengecut, dari borjuasi dan menitikberatkan keharusan bagi para pekerja untuk memelihara suatu kebijakan mengenai independensi kelas sepenuhnya, tidak hanya independensi dari kaum borjuis liberal, tetapi juga dari kaum demokrat borjuis kecil:
"Kaum Proletar, atau partai yang benar-benar revolusioner," tulis Engels, "berhasil hanya dengan amat bertahap dalam penolakan massa kelas pekerja terhadap pengaruh kaum demokrat yang memiliki ikatan yang dibangun saat permulaan revolusi. Dalam waktu yang pasti, kelemahan hati dan kepengecutan para pemimpin kaum demokratik melakukan langkah mundur, dan sekarang mungkin yang bisa dikatakan sebagai satu dari hasil-hasil utama ledakan tahun kemarin adalah bahwa di manapun kelas pekerja terkonsentrasi dalam apapun yang serupa massa yang sangat besar, mereka sepenuhnya terbebaskan dari bentuk pengaruh demokrasi yang menggiring mereka ke dalam serial blunder dan kesialan tak ada akhirnya sepanjang 1848 dan 1849." (F. Engels, Revolusi dan Kontra Revolusi di Jerman, MESW, volume 1, halaman 332.)
Situasi itu lebih jelas lagi saat ini. Borjuasi nasional di negara-negara kolonial amatlah terlambat masuk ke dalam babakan sejarah, ketika dunia telah terbagi-bagi di antara kaum imperialis yang sedikit. Ia tidak maampu memaikan peranan progresif apapun dan telah sepenuhnya tersubordinasi kepada tuan-tuan yang dulu menjajahnya. Borjuasi yang lemah dan merosot akhlaknya di Asia, Amerika Latin, dan Afrika terlalu bergantung kepada modal asing dan imperialisme, untuk memajukan masyarakat. Borjuasi itu terikat dengan ribuan benang, tidak hanya kepada modal asing tetapi juga dengan kelas pemilik tanah yang dengannya ia membentuk suatu blok reaksioner yang menghadirkan sebuah benteng penghadang terjadinya kemajuan. Apapun perbedaan yang mungkin ada di antara elemen-elemen ini, semuanya tidak signifikan dibandingkan dengan ketakutan yang menyatukan mereka untuk melawan massa. Hanya kaum proletariat, bersekutu dengan kaum tani miskin dan kaum urrban miskin, yang mampu memecahkan masalah-masalah di masyarakat dengan mengambil kekuasaan ke tangannya sendiri, mengambil alih milik kaum imperialis dan borjuasi, serta memulai tugas mentrasformasikan masyarakat di atas garis sosialis.
Dengan menempatkan dirinya di kepala bangsa, memimpin lapisan-lapisan tertindas di masyarakat (kaum borjuis kecil di daerah rural urban), kaum proletar dapat mengambil kekuasaan dan kemudian mengemban tugas-tugas revolusi borjuis demokratik (terutama land reform dan penyatuan negara, serta pembebasan negara dari dominasi asing). Bagaimanapun, sekali telah memegang kekuasaan, kaum proletar tidak akan hanya berhenti di situ, melainkan akan mulai mengimplementasikan cara-cara sosialis mengenai pengambillalihan milik kaum kapitalis. Dan sebagaimana tugas-tugas ini tidak dapat dipecahkan di dalam satu negeri melulu, khususnya tidak di sebuah negara terbelakang, hal ini akan menjadi awal mula dari revolusi dunia. Jadi, revolusi itu "permanen" dalam dua pengertian: sebab ia mulai dengan tugas-tugas kaum borjuis dan berlanjut dengan tugas-tugas kaum sosialis, dan sebab ia mulai di satu negara dan berlanjut pada tingkat internasional.
Teori revolusi permanen adalah jawaban yang paling utuh bagi posisi kaum reformis serta kaum kolaborator kelas di sayap kanan gerakan kaum pekerja Rusia, yaitu kaum Menshevik. Teori dua tahap dikembangkan oleh kaum Menshevik sebagai perspektif mereka untuk revolusi Rusia. Secara mendasar teori ini menyatakan bahwa, karena tugas revolusi adalah tugas-tugas revolusi nasional borjuis demokratik, maka kepemimpinan dari revolusi harus ditangani oleh borjuasi demokratik nasional. Untuk pendapatnya sendiri, Lenin setuju dengan Trotsky bahwa kaum liberal Rusia tidak dapat mengadakan revolusi borjuis demokratis, dan bahwa tugas ini hanya dapat diadakan oleh kaum proletariat dalam persekutuannya dengan kaum tani miskin. Mengikuti jejak langkah Marx, yang telah menggambarkan "partai demokratik" kaum borjuis sebagai "jauh lebih berbahaya bagi para pekerja daripada kaum liberal yang terdahulu", Lenin menjelaskan bahwa borjuasi Rusia, jauh dari menjadi sekutu kaum pekerja, akan tak dapat dielakkan lagi bersisian dengan kaum kontra revolusi.
Tahun 1905 ia menulis, "Di tengah massa, tak akan terhindarkan, kaum borjuis pastilah mendekati kontra revolusi dan melawan rakyat secepat kepentingan-kepentingannya yang picik dan mau menang sendiri itu bertemu, secepat itulah ia 'mencelat' dari demokrasi konsisten (dan ia memang telah berkecut hati karena ini!)".; (Lenin, Selected Works, volume 9, halaman 98.)
Dalam pandangan Lenin, kelas mana yang mampu memimpin revolusi demokrasi-borjuis? "Tetaplah 'rakyat', yaitu, kaum proletar dan kaum tani. Kaum proletar sendiri dapat dipercaya untuk melakukan marching hingga ke akhir, jauh melampaui revolusi demokratik. Itulah mengapa kaum proletar bertempur di garis depan demi sebuah republik dan dengan menghina ia menolak saran bodoh dan tak berharga untuk mempertimbangkan kemungkinan borjuasi mencelat mundur." (Ibid)
Dalam semua pidato dan tulisan Lenin, peranan kontra-revolusi kaum demokratik-borjuis Liberal selalu ditekankan, terus menerus. Bagaimanapun, hingga 1917, Lenin tidak yakin bahwa kaum pekerja Rusia akan bisa mencapai kekuasaan sebelum terjadi revolusi sosialis di Barat &endash;ini satu perspektif yang sebelum 1917 hanya dipertahankan oleh Trotsky. Tahun 1917 hal ini diadopsi sepenuhnya oleh Lenin dalam Tesis-tesis April-nya. Kebenaran teori revolusi permanen secara gilang-gemilang ditunjukkan oleh Revolusi Oktober sendiri. Kelas buruh Rusia &endash;sebagaimannna telah diramalkan oleh Trotsky di tahun 1904&endash; meraih kekuasaan sebelum kaum buruh dari Eropa Barat. Mereka menyelenggarakan semua tugas-tugas Revolusi demokratik-borjuis, dan langsung memulai nasionalisasi industri dan menempuh tugas-tugas revolusi sosialis. Kaum borjuis memainkan sebuah peranan kontra revolusioner secara terbuka, tetapi dikalahkan oleh kaum buruh dalam aliansinya dengan kaum tani miskin. Kemudian kaum Bolshevik membuat suatu himbauan revolusioner kepada kaum buruh di seluruh dunia untuk mengikuti contoh mereka. Lenin mengetahui dengan baik bahwa tanpa kemenangan revolusi di negara-negara kapitalis yang maju, terutama Jerman, revolusi tidak dapat bertahan dalam keadaan terisolasi, terutama di sebuah negara terbelakang seperti Rusia. Apa yang kemudian terjadi memperlihatkan bahwa hal ini sepenuhnya benar. Pendirian dari (Komunis) Internasional Ketiga, partai dunia dari kaum sosialis, adalah manifestasi kongkrit dari perspektif ini.
Jikalau Komunis Internasional tetap kukuh berada di atas posisi yang dibuat oleh Lenin dan Trotsk,y tentulah kemenangan revolusi di tingkat dunia telah dapat dipastikan. Malangnya, tahun-tahun pertumbuhan Komintern bertepatan dengan maraknya kontra revolusi kaum Staslinis di Rusia, yang memiliki akibat yang sangat menghancurkan bagi Partai Komunis di seluruh dunia. Birokrasi Stalinis, memiliki kontrol yang mendalam di Uni Soviet, mengembangkan sebuah pandangan yang amat konservatif. Teori bahwa sosialisme dapat dibangun dalam satu negara &endash;sebuah hal yang amat dibenci dalam sudut padang pendirian Marx dan Lenin&endash; sangat mencerminkan mentalitas birokrasi yang telah mengalami cukup berbagai tekanan dan stress dari revolusi dan berusaha untuk bisa berjalan terus dengan mengadakan tugas-tugas mengenai "membangun sosialisme di Rusia". Bisa diikatakan, mereka ingin melindungi dan memperluas kewenangasn mereka dan tidak "mengotori" sumber daya negara dengan cara mengejar revolusi di tingkat dunia. Pada sisi lain, mereka takut bahwa revolusi di negara-negara lain dapat berkembang pada garis yang sehat dan hal itu merupakan ancaman terhadap dominasi mereka sendiri di Rusia, dan oleh karena itu pada satu tahap tertentu, secara aktif mereka berusaha menghalang-halangi terjadinya revolusi di tempat-tempat lain.
Daripada mengejar sebuah kebijakan revolusioner berdasarkan pada independensi kelas, sebagaimana senantiasa diadvokasikan Lenin, mereka mengajukan sebuah aliansi Partai Komunis dengan "kaum borjuis progresif nasional" (dan jikalau tidak ada kum ini yang tersedia begitu saja, mereka telah mempersiapkan diri untk melakukan intervensi terrhadapnya) untuk mengadakan revolusi demokratik, dan setelahnya, menyusul, di kelak kemudian hari yang jauh, saat negara telah mengembangkan perekonomian yang menghilangkan kaum kapitalis sepenuhnya, barulah ada perjuangan demi sosialisme. Kebijakan ini menghadirkan sebuah jurang yang sama sekali berpisah dengan Leninisme dan sebuah titik balik kepada posisi kuno yang amat tercemar dari Menshevisme &endash;inilah teori "dua tahapan".
PERAN PARTAI-PARTAI KOMUNIS
Teori ini memainkan peran kriminal dalam perkembangan revolusi di dunia jajahan. Di Cina, Partai Komunis yang masih muda terpaksa masuk ke dalam aturan main kaum borjuis nasional, Kuomintang, yang kemudian melakukan likuidasi secara fisikal terhadap Partai Komunis tersebut, serikat-serikat buruh, dan dewan-dewan tani selama berlangsungnya revolusi Cina tahun 1925-27. Alasan mengapa revolusi Cina yag kedua mengambil bentuk berupa perang kaum tani di mana kelas buruh tetap pasif, adalah perluasan dari kehancuran kaum proletar Cina sebagai akibat kebijakan-kebijakan Stalin yang dikarakterisasikan Trotsky sebagai "sebuah karikatur jahat dari Menshevisme". Di manapun ia diterapkan dalam dunia jajahan, teori kaum Staliniss mengennai 'dua tahapan' telah menggiring terjadinya satu malapetaka menyusul malapetaka lainnya.
Di Sudan dan Irak pada tahun 1950-an dan 1960-an, Partai Komunis merupakan kekuatan massa yang mampu menghimbau adanya demostrasi sejuta orang di Baghdad dan dua juta orang di Khartoum. Daripada melanjutkan adanya kebijakan mengenai kelas independen dan memimpin para buruh dan kaum tani untuk merebut kekuasaa, mereka ini mencari aliansi dengan kaum borjuis "progresif" serta golongan-golongan "progresif" dalam jajaran militer. Yang disebut terakhir, setelah mengambil alih kekuasaan dengan dukungan penuh dari partai-partai Komunis, kemudian mulailah mengeliminasikan mereka dengan pembunuhan dan pemenjaraan anggota-anggota serta pimpinan-pimpinannya. Di Sudan, proses yang sama terjadi bukan hanya sekali tetapi dua kali. Masih saja, bahkan hingga saat ini, para pemimpin Partai Komunis Sudan mempunyai suatu kebijakan tentang "Aliansi Patriotik" dengan kaum gerilya di Selatan (sekarang disokong oleh imperialisme AS) dan kaum borjuis "progresif" di Utara, untuk melawan rezim fundamentalis. Yang disebut para pemimpin Komunis ini mirip kaum Bourbon kuno yang "tidak melupakan satupun dan tidak mempelajari apa-apa". Kebijakan-kebijakan mereka adalah sebuah resep akhir bagi satu kekalahan berdarah setelah kekalahan berdarah lainnya.
Contoh paling tragis mengenai konsekuensi yang sifatnya menghancurkan dari teori dua tahapan adalah apa yang terjadi di Indonesia. Di tahun 1960-an Partai Komunis Indonesia adalah kekuatan massa yang utama di negara tersebut. Itu adalah Partai Komunis terbesar di dunia di luar Blok Soviet, dengan tiga juta orang anggota, serta sepuluh juta orang berafiliasi kepada serikat-serikat pekerjanya serta organisasi-organisasi buruh taninya, dan bahkan Partai Komunis Indonesia (PKI) mengklaim adanya dukungan 40 persen tentara (termasuk jajaran perwira). Kaum Bolshevik Rusia tidak memiliki dukungan terorganisir yang sebanyak itu pada saat revolusi Oktober! PKI dapat dengan mudah mengambil alih kekuasaan dan memulai transformasi sosialis terhadap masyarakat yang akan memiliki efek luar biasa besar di seluruh dunia jajahan, menjadi rantai revolusi-revolusi di Asia. Daripada melakukan itu, para pemimpin Partai Komunis (di bawah kontrol kaum Maois Cina) malah membentuk sebuah aliansi dengan Soekarno, seorang pemimpin nasionalis borjuis yang pada saat itu mengadopsi fraseologi "kiri". Kebijakan-kebijakan tersebut menyebabkan PKI sepenuhnya tidak siap saat kaum borjuis (di bawah instruksi langsung dari CIA) mengorganisasikan sebuah pembantaian terhadap para anggota dan simpatisannya, di mana dalam pembantaian itu sedikitnya 1,5 juta orang dijagal.
Walaupun ada segala kekalahan dan tinjauan masa lalu, kaum buruh dan petani akan mengambil jalan perjuangan dari waktu ke waktu, secara tak terelakkan. Kejadian-kejadian yang terjadi di Indonesia baru-baru ini merupakan indikasi nyata dari fakta ini. Kejadian-kejadian itu adalah sebuah antisipasi terhadap apa yang akan terjadi di satu per satu negara Asia. Dan ini hanyalah awal dari sebuah proses revolusioner yang akan tidak terbendung selewat periode bertahun-tahun. Jika sebuah partai Leninis murni eksis, hal ini dapat berakhir dalam sebuah revolusi proletar dalam bentuk klasik. Masalah mengenai gerilyaisme atau Bonapartisme kaum proletar tidak akan muncul. Di sini, sebagaimana biasanya selalu, faktor subyektif mutlak diperlukan. Malangnya kepemimpinan partai-partai komunis di negara-negara ini mengulang-ulang segala kesalahan lama yang sama saja, di mana hal ini telah menggiring kepada terjadinya kekalahan dan pembantaian di masa lalu. Meskipun Jepang bukan sebuah negara jajahan, hal ini tidak berarti apapun dalam hal pertumbuhan yang spektakuler dari Partai Komunis Jepang (JCP) sebagai akibat dari krisis ekonomi negara tersebut. JCP menjadi partai yang memiliki wakil terbanyak dalam dewan-dewan lokal, merupakan partai kedua terbesar dalam Majelis Metropolitan Tokyo dan koran harian JCP memiliki sirkulasi sebesar 3,2 juta.
Gelombang radikalisasi yang menyapu seluruh Asia telah juga mempengaruhi kelas buruh di Jepang. Peringatan May Day tahun ini di Jepang adalah yang terbesar sejak bertahun-tahun. Tidak kurang dari satu juta buruh ikut beerpartisipasi ari seluruh negeri berkumpul. Ini adalah contoh jelas tentang bagaimana kesadaran dapat berubah dengan kecepatan kilat saat kondisi-kondisi berubah. Tetapi sialnya kebijakan-kebijakan kepemimpinan JCP sepenuhnya berharak dari tugas-tugas nyata yang dihadapi kaum kelas buruh Jepang. Menurut Kimitoshi Morihara vice head dari departemen internasional JCP, "kami bekerja menuju pendirian sebuah pemerintahan demokratis yang mencari penyelesaian masalah-masalah ini, dalam kerangka kerja kapitalisme, di awal abad mendatang". (Wawancara dalam mingguan Greenleft Weekly No. 317). Mereka menyempurnakan teori dua tahapan Stalinis yang kuno dengan menambahkan satu tahapan ekstra! Ini adalah "perspektif untuk kemajuan sosial di Jepang : pemerintahan koalisi demokratik, revolusi demokratik, dan revolusi sosialis" (?). Hal ini makin makin membingungkan karena, sebagaimana Jepang telah menjadi kekuatan industri kedua di dunia, orang dapat membayangkan hal tersebut dapat dilakukan tanpa sebuah "revolusi demokratik". Kelihatannya alasan apapun akan diambil supaya revolusi sosialis tidak dimasukkan ke dalam agenda.
Selama berpuluh-puluh, tahun kelas buruh di negara-negara kolonial dan bekas kolonial telah menunjukkan keberaniannya yang kolosal dan potensial revolusionernya. Dari waktu ke waktu kelas ini telah bergerak untuk mengadakan transformasi revolusioner di masyarakat. Di Irak, Sudan, Iran, Chili, Argentina, India, Pakistan, dan Indonesia, kaum buruh telah menunjukkan bahwa mereka berkehendak untuk menjadi tuan dari masyarakat mereka. Jikalau mereka gagal, hal ini bukan karena mereka tidak bisa meeraih keberhasilan, melainkan karena mereka kekurangan syarat yang sangat diperlukan untuk mengambil alih kekuasaan. Dalam setiap kasus, mereka membenturkan kepala mereka terhadap tembok tebal sebab partai-partai dan para pemimpin yang mereka percayai untuk memimpin mereka kepada transformasi sosialis dari masyarakat berubah menjadi rintangan-rintangan raksasa.
Guna meraih kekuasaan, tidaklah cukup bahwa kaum buruh disiapkan untuk bertempur. Bila itu masalahnya, kelas buruh telah dapat mengambil kekuasaan di seluruh negara-negara ini sejak dulu kala. Hal itu akan berlangsung mudah sebab mereka berada dalam posisi yang jauh leebih kuat daripada para buruh Rusia pada tahun 1917. Meskipun demikian mereka tidak mengambil kekuasaan. Mengapa tidak? Sebab kelas buruh membutuhkan sebuah partai dan sebuah kepemimpinan. Untuk menyangkal kenyataan hidup yang elementer ini adalah semata-mata anarkisme kekanakan. Dulu sekali Marx menjelaskan bahwa tanpa organisasi, kelas buruh adalah semata-mata bahan mentah bagi eksploitasi. Meskipun kekuatannya dalam jumlah dan peran kuncinya dalam produksi, kaum proletar tidak dapat merubah masyarakat kecuali ia menjadi sebuah kelas "ditengah-dan-untuk-dirinya sendiri" dengan kesadaran, perspektif-perspektif, dan pemahaman yang diperlukan. Untuk menunggu adanya kelas yang sepenuhnya memiliki pemahaman yang diperlukan mengenai hal (revolusi sosialis) tersebut hingga memadai untuk mengambil alih kekuasaan lalu mengubah masyarakat, ini adalah sebuah proporsi utopia yang sama saja dengan mengulur-ulur terjadinya revolusi secara tidak menentu. Adalah perlu untuk mengorganisasikan lapisan-lapisan yang paling maju dari kelas (buruh pekerja), mendidik kader, dan memasukkan kepada kader mereka perspektif-perspektif mengenai revolusi, tidak hanya dalam skala nasional, melainkan juga revolusi dalam skala internasional, mengintegrasikan mereka di tengah massa pada setiap level, dan secara sabar menyiapkan gerakan saat perjuangann-perjuangan parsial dari massa terkombinasi menjadi suatu serangan revolusioner yanng menyeluruh.
Tanpa satu partai yang revolusioner, kekuatan potensial milik kaum proletar akan tetap semata begitu &endash;sebuah potensial. Hubungan antara kelas (proletar) dengan partai adalah serupa dengan hubungan antara uap dan piston box dalam mesin uap. Tetapi bahkan keberadaan-keberadaan partai tidaklah cukup unntuk memastikan adanya keberhasilan. Partai tersebut harus dipimpin oleh para laki-laki dan perempuan yang dilengkapi dengan pemahaman yang diperlukan mengenai tugas-tugas revolusi, berbagai taktik, strategi, dan perspektif, tidak hanya perspektif-perspektif nasional tetapi juga internasional. Situasi obyektif di Indonesia tahun 1964-65 tak dapat berlangsung lebih baik lagi. Massa telah mengalahkan Imperialisme Belanda. Kaum komunis memiliki dukungan mayoritas luas dari kelas pekerja dan buruh tani. Tetapi sebuah kebijakan dan perspektif yang keliru sudah cukup untuk menghadirkan kekacauan total pada revolusi. Jika revolusi Oktober membuktikan kebenaran dari revolusi permanen dalam sebuah pengertian positif, malapetaka di Indonesia menghadiahkan kepada kita sebuah bukti negatif dalam bentuknya yang paling mengerikan.
Cara yang menyimpang dan kacau balau di mana dengan cara ini revolusi di daerah kolonial telah terbentang sejak tahun 1945 adalah bukan akibat dari keterbelakangan, atau karena tertundanya revolusi sosialis di negara-negara kapitalis yang maju. Hal itu bukanlah sesuatu yang tak dapat dielakkan dan bukan pula ditentukan lebih dahuulu oleh hukum-hukum sejarah. Di atas semuanya, hal itu adalah akibat ketiadaan faktor subyektif, ketiadaan suatu partai revolusioner yang murni dan kepemimpinannya yang bisa memberikan suatu karakter serta arahan yang sepenuhnya beda terhadap revolusi. Berbicara apa adanya, tidak ada satupun yang bisa menghalangi revolusi di Cina, ini untuk contoh, dari hal memainkan peran yang sama dengan revolusi Rusia di tahun 1917, jika saja kondisinya adalah para pemimpin Komunis Cina berbuat sebagaimana Lenin dan Trotsky. Tetapi para pemimpin ala Stalinis tersebut takut terhadap gerakan independen dari kelas buruh dan melakukan apapun yang berada dalam kekuasaan mereka untuk menghalanginya. Cara konyol di mane revolusi Cina muncul di tahun 1949, sebagai satu revolusi menyimpang dalam bayang-bayang Rusia di bawah kepemimpinan Stalin, menjadikan (revolusi tersebut) memiliki sedikit saja himbauan untuk bergerak di kalangan kaum buruh di negara-negara yang maju, meskipun revolusi tersebut memberikan suatu stimulus penting terhadap revolusi di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Hal yang sama persis terjadi pada rezim-rezim Bonapartisme proletar yang lainnya yang hadir setelahnya. Walaupun tak dapat disangkal mereka ini menyajikan satu langkah ke depan, mereka benar-benar sebuah penyelewengan dan sebuah titik balik dari norma revolusi kaum proletar yang didirikan oleh Lenin yang lalu menjadi kenyataan di bulan Oktober 1917. Fakta ini harus terus kita jaga dalam pikiran jika kita mau memahami signifikasi sesungguhnya dari revolusi di daerah kolonial setelah tahun 1945.
REVOLUSI CINA
Dari waktu ke waktu adalah penting untuk menarik sebuah perhitungan mengenai ide-ide kita dan posisi-posisi teoritis kita. Bagaimana setelah berlalu 50 tahun hal-hal tersebut terwujud dalam praktek? Jika ada satu kontribusi utama dari tendensi kita terhadap Marxisme, ini adalah analisis kita mengenai revolusi kolonial dan perkembangan Bonapartisme kaum proletar, dimulai dengan analisis kita mengenai revolusi Cina setelah 1945. Hal ini benar-benar kebuntuan kapitalisme di negara-negara ini dan tekanan kebutuhan massa untuk adanya sebuah jalan maju yang telah memunculkan fenomena Bonapartisme kaum proletar. Hal ini berkaitan dengan sejumlah faktor-faktor yang berlainan. Di tempat pertama, kebuntuan komplit di masyarakat di negara-negara terbelakang dan ketidakmampuan kaum borjuis kolonial untuk menunjukkan jalan maju. Kedua, ketidakmampuan dari imperialisme untuk memelihara kontrolnya dengan cara-cara lama yaitu aturan milliter-birokratik secara langsung. Ketiga, tertundanya revolusi kaum proletar di negara-negara kapitalis yang maju dan lemahnya faktor subyektif . Terakhir, adanya rezim yang amat kuat dari Bonapartisme kaum proletar di Uni Soviet.
Kemenangan USSR dalam Perang Dunia Kedua, dan menguatnya Stalinisme setelah Perang itu dengan perluasan dari Stalinisme ini ke wilayah Eropa Timur, serta kemenangan revolusi Cina, adalah keseluruhan faktor yang terkombinnasi menjadi kondisi yang mendukung perkembangan Bonapartisme kaum proletar sebagai sebuah varian konyol dari revolusi permanen yang hanya dimengerti oleh tendensi kita. (Bonapartisme kaum proletar) ini adalah fenomena yang sebelumnya sungguh tidak pernah terjadi dan tidak pernah diharapkan adanya. Tidak ada tempat dalam Marxisme klasik yang bahkan pernah mempertimbangkan sebagai suatu kemungkinan teoritis, bahwa sebuah perang kaum tani dapat memimpin terjadinya pendirian sebuah negara pekerja, bahkan negara milik pekerja yang dideformasi. Meski demikian, inilah tepatnya yang muncul di Cina, lalu menyusul di Kuba dan Vietnnam.
Kami mengkarakterisasikan revolusi Cina sebagai kejadian terbesar kedua dalam sejarah, setelah revolusi Rusia di tahun 1917. Kejadian itu mempunyai efek yang luar biasa besar dalam perkembangan selanjutnya dari revolusi di daerah-daerah jajahan. Tetapi revolusi Cina ini tidak mengambil tempatnya di atas garis klasik revolusi Rusia tahun 1917 ataupun revolusi Cina tahun 1925-27. Kelas buruh tidak memainkan peran penting apapun. Mao meraih kekuasaan di atas basis perang kaum tani yang gagah berani, sesuai tradisi Cina. Satu-satuya cara Mao bisa memenangkan perang saudara di tahun 1944-49 adalah dengan menawarkan sebuah program mengenai pembebasan sosial kepada para bala tentara petani dari Chiang Kai-Shek, yang dipersenjatai dan disokong oleh imperialisme Amerika. Tetapi para pemimpin Stalinis dari Tentara Merah kaum tani tidak memiliki perspektif mengenai hal memimpin keum buruh menuju kekuasaan sebagaimana dilakukan Lenin dan Trotsky tahun 1917. Ketika bala tentara petani Mao sampai di kota-kota, dan secara spontan kaum buruh menduduki pabrik-pabrik dan memberi lambaian selamat kepada bala tentara Mao dengan lambaian bendera merah, Mao memberikan perintah bahwa demonstrasi-demonstrasi tersebut harus ditekan dan para buruh tersebut ditembaki.
Awalnya, Mao tidak bermaksud untuk melakukan penyitaan terhadap kapitalis-kapitalis Cina. Perspektifnya untuk revolusi Cina tertuang dalam sebuah pamflet berjudul On New Democracy yang di dalamnya ia menulis bahwa revolusi sosialis adalah bukan tugas mendesak di Cina, dan satu-satunya perkembangan yang dapat diberi tempat adalah sebuah perekonomian campuran, yaitu kapitalisme. Ini adalah teori Menshevik "dua tahapan" klasik yang telah diadopsi oleh birokrasi Stalinis dan telah menggiring kekalahan revolusi di Cina tahun 1925-27. Tetapi kita memahami bahwa di bawah kondisi-kondisi kongkrit yang telah berkembang waktu itu, harusnya Mao akan terdorong untuk melakukan penyitaan kapitalisme.
Tidak hanya itu, tetapi kita jauh-jauh hari telah memprediksikan kenyataan bahwa Mao akan terpaksa putus hubungan dengan Stalin. Di awal tahun 1949 kita telah menulis : "Fakta bahwa Mao memiliki massa murni yang basisnya independen dari Tentara Merah Rusia dalam semua kemungkinan akan menyediakan basis independen untuk pertama kalinya bagi Stalinisme Cina yang akan tidak lebih lama lagi bergantung pada Moskow. Sebagaimana Tito, begitu pulalah dengan Mao, meski bagaimanapun peran Tentara Merah di Manchuria, Stalinisme Cina kini mengembangkan dasar yang independen. Sebab aspiirasi-aspirasi nasional dari massa di Cina, perjuangan tradisional melawan dominasi asing, kebutuhan ekonomi negeri, dan di atas semua itu, dasar yang kokoh dalam aparatus negara yang independen, kebahayaan mengenai munculnya seorang Tito yang baru dan perkasa di Cina merupakan satu faktor yang menimbulkan kecemasan di Moskow (...)
"Bagaimanapun, subordinasi terhadap ekonomi Cina untuk keuntungan birokrasi Rusia, dengan berbagai upaya menempatkan boneka-boneka di dalam kontrol Moskow, yang boneka-boneka ini akan sepenuhnya berporos ke Moskow &endash;dengan kata lain, penindasan nasional terhadap Cina&endash; akan menciptakan dasar yang besar sekali signifikasinya bagi perpecahan dengan Kremlin. Dengan aparatus negara yang independen dan kuat, dengan kemungkinannya melakukan manuver terhadap kaum imperialis Barat (yang akan mencari negoisasi dengan Cina untuk hal perdagangan dan mendorong perpecahan antara Peking dan Moskow), dan dengan dukungan massa Cina yang menganggapnya sebagai pemimpin yang jaya dalam melawan Kuomintang, Mao akan memiliki point-point dukugan yang kuat dalam hal melawan Moskow.
"Usaha-usaha ngotot Stalin untuk mencobakan dan mencegah perkembangan ini akan memperunyam, mempercepat dan mengintensifkan kemarahan serta konflik." (Reply to David James, dicetak kembali dalam E. Grant, The Unbroken Thread, hal. 304.)
Baris-baris ini ditulis lebih dari satu dekade sebelum pecahnya konflik Sino-Soviet, ketika birokrasi-birokrasi Cina dan Rusia terlihat sebagai konco nan tak terpisahkan.
Kemenangan laskar petani Mao di Cina terjadi akibat sejumlah faktor: kebuntuan total dan menyeluruh dari kapitalisme dan pertuantanahan di Cina, ketidakmampuan Cina melakukan intervensi sebab di pasukan tempur kaum imperialis setelah Perang Dunia kedua terdapat ketakutan akan perang, dan juga sebab daya tarik kekuatan kolosal dari nasionalisasi rencana ekonomi di Rusia Stalinis yang menunjukkan superioritasnya selama perang melawan Jerman di bawah kepamimpinan Hitler.
Fakta bahwa kaum tani digunakan untuk memikul sebuah revolusi sosial adalah sebuah perkembangan yang sepenuhnya baru dalam sejarah Cina. Cina adalah negeri yang peran kaum taninya sudah menjadi hal klasik, di mana perang ini terjadi pada interval-interval beraturan tetapi bahkan ketika perang-perang ini berjaya ini semata akibat dalam fusi elemen-elemen kepemimpinan dari laskar petani dengan kaum elit di perkotaan, akibat dari pembentukan suatu dinasti yang baru. Perang petani adalah sebuah lingkaran setan yang menjadi karakter sejarah orang Cina selama lebih dari 2.000 tahun. Tetapi di sini kita mempunyai sebuah titik balik yang fundamental. Tentara petani di bawah kepemimpinan Mao mampu menggebuk kapitalisme dan mampu menciptakan suatu masyarakat di atas imaji Moskow pimpinan Stalin. Tentu saja, tidak akan ada hal mengenai negara pekerja yang sehat sebagaimana di Rusia pada bulan November tahun 1917 telah didirikan dengan cara yang sedemikian rupa. Untuk terjadi seperti apa yang ada di Rusia itu, partisipasi aktif dan kepemimpinan kelas buruh amat diperlukan. Tetapi suatu tentara kaum tani, tanpa kepemimpinan dari kelas buruh, adalah instrumen klasik dari Bonapartisme, bukan kekuatan kaum buruh. Revolusi Cinna di tahun 1949 bermulai pada saat revolusi Rusia telah berakhir. Jadinya tidak ada masalah mengenai dewan-dewan buruh atau demokrasi milik kaum buruh. Sejak awalnya revolusi Cina adalah sebuah negara pekerja yang terdeformasi secara mengerikan. Tendensi kita menggarisbawahi bahwa pada skala dunia, satu-satunya kelas yang dapat mengadakan kemenangan bagi sosialisme adalah kaum proletariat.
Sekali Mao meraih kekuasaan dan menciptakan suatu aparatus negara di atas basis hierarki Tentara Merah dia tidak memiliki kebutuhan apapun untuk menggalang persahabatan antara dirinya sendiri dengan kaum borjuis. Dalam sebuah cara yang tipikal milik kaum Bonapartis, Mao menyamaratakan antara kelas-kelas yang berbeda. Mao bersandar kepada kaum tani dan pada bidang-bidang tertentu ia bersandar kepada kelas buruh untuk menyita hak kaum kapitalis. tetapi sekali kaum kapitalis ini telah dikalahkan, kemudian Mao mulai mengeliminir elemen apapun yang mungkin eksis dari demokrasi buruh. Fenomena ini dimungkinkan adanya adalah sepenuhnya karena kekosongan revolusi di tingkat dunia dan kebuntuan masyarakat. Mao memiliki contoh yang amat kuat dari Stalinisme di Rusia, di mana sebuah birokrasi yang kuat menggerogoti rencana perekonomian dan menarik keuntungan dari hal itu hingga iapun memutuskan untuk mengikuti model yang sama. Walau karakternya dideformasi habis-habisan, Revolusi Cina biar bagaimanapun juga tetap menyajikan satu langkah maju yang amat besar bagi ratusan juta orang yang telah diperbudak oleh imperialisme.
BONAPARTISME KAUM PROLETAR
Dalam menelaah proses-proses yang timbul dalam revolusi di daerah kolonial pada periode setelah perang dunia kedua, sebagai basis titik awal kita mengambil teori revolusi permanen dari Trotsky yang, sebagaimana sudah kita lihat, telah secara brilian terkonfirmasikan oleh sejarah. Tetapi dalam praktek, teori-teori tidak perlu dikerjakan dalam cara yang murni dan tersuling secara kimiawi. Bisa terdapat segala macam varian-varian pembelokan, distorsi-distorsi dan beberapa titik balik dari berbagai norma tadi. Hal ini dapat dilihat dalam segala cara.
Periode klasik revolusi demokratik-borjuis dimulai dua atau bahkan tiga ratus tahun yang lalu dengan terjadinya revolusi di Belanda, Inggris, dan Perancis. Marx mengambil revolusi Perancis tahun 1789-93 sebagai modelnya untuk revolusi demokratik borjuis dalam pengertian politis (sementara Inggris menyajikan model ekonomi). Tetapi senantiasa ada perkecualian terhadap norma-norma klasik. Sebagai contohnya Jerman, di mana tugas-tugas dasar dari revolusi demokratik-borjuis diadakan dengan cara ganjil, yaitu dari jajaran atas oleh kaum negarawan Junker lama di bawah pimpinan Bismarc. Tentu saja, terdapat banyak kontradiksi dan elemen yang tertinggal dari feodalisme yang baru kemudian berhasil dibersihkan dengan revolusi November 1918 &endash;sebuah revolusi kaum proletar yang kalah, di mana di dalamnya kaum buruh menyingkirkan bentuk negara yang lama dan kemudian para pemimpin Sosial Demokratik menyerahkan kekuasaan di tangannya kepada kaum borjuis. Serupa juga di Jepang yang merupakan negara feodal kuno yang memulai proses revolusi demokratik-borjuis pada 1860-an. Di bawah tekanan kekuatan-kekuatan eksternal, proses tersebut terselesaikan hanya oleh pendudukan kekuatan Amerika setelah 1945, yang dilakukan sebagai usaha untuk menghalang-halangi terjadinya revolusi di Jepang.
Fenomena bonapartisme kaum proletar memiliki hubungan terhadap teori revolusi permanen serupa dengan sebagaimana proses yang mengambil tempat di Jerman dan di Jepang berhubungan dengan norma klasik revolusi demokratik-borjuis, yaitu sebagai penyimpangan-penyimpangan yang muncul dari suatu jalan historis dari berbagai keadaan. Fenomena ini hanya dapat dimengerti terjadinya atas dasar kebuntuan komplit dari masyarakat-masyarakat tersebut (di mana terjadi bonapartisme proletar) dan kekosongan adanya revolusi di Dunia barat. Massa di negara-negara kolonial tidak dapat lebih lama lagi menunggu. Itu adalah penjelasan yang fundamental. Tetapi kita juga harus memasukkan ke dalam pertimbangan kita mengenai kepelikan-kepelikan yang spesifik dari negara-negara kolonial dan bekas jajahan, yang membuat negara-negara ini berbeda dari negara-negara yang maju akibat kapitalisme, dan oleh karena itu mengijinkan varian-varian rumit tertentu untuk terjadi, di mana varian-varian ini sebelumnya tidak dilihat oleh kaum klasik penganut Marxisme. Kami mengajukan tulisan ini secara khusus dalam hubungannnya dengan negara.
Marxisme akan menjadi urusan yang sangat sederhana jika ia semata-mata cuma suatu masalah mengenai belajar di luar kepala soal formula-formula elementer yang diambil dari teks-teks klasik dan mengaplikasikan semua ini dalam suatu cara yang mekanis dan tanpa dipikirkan, lalu menerapkannya pada setiap jenis situasi. Metode dialektik menuntut bahwa kita mulai dari sebuah pertimbangan obyektif dari fenomena yang terjadi, membawa setiap kasus ke dalam kebenarannya dan melakukan peninjauan terhadapnya dari segala sudut pandang. Sebuah analisis yang serius mengenai negara-negara kolonial dan bekas kolonial membukakan adanya perbedaan-perbedaan besar antara negara-nagara ini dengan jenis negara yang ada dalam bangsa-bangsa kapitalis yang maju, serta perbedaan-perbedaan dengan negara-negara yang menyajikan model dasar bagi karya-karya klasik Engels dan Lenin. Negara-negara (jajahan dan bekas jajahan) ini telah diciptakan dan disempurnakan oleh kaum borjuis sebagai perangkat bagi aturan-aturannya. Pada setiap level, negara-negara ini dikelola oleh wakil-wakil setia yang dibentuk dan dilatih oleh kaum borjuis untuk melayani kepentingan-kepentingannya. Di atas semua itulah negara-negara industri maju dapat mengembangkan kekuatan-kekuatan produktif. Tetapi, negara-negara yang baru dibentuk di wilayah-wilayah tadi sepenuhnya beda dengan negara-negara yang telah diciptakan dan dikembangkan selama bergenerasi lamanya oleh kaum Borjuis di dunia Barat. Di tempat-tempat seperti Syria atau Burma masyarakat ini berada dalam sebuah kebuntuan, tidak dapat mengembangkan kekuatan-kekuatan produktif dan sepenuhnya berada dalam kekisruhan.
Ini adalah satu dalil elementer mengenai Marxisme, bahwa negara bukanlah sebuah kekuatan independen. Ia harus merefleksikan kepentingan dari sebuah grup atau kelas di tengah masyarakat. Dalam masa-masa normal negara merefleksikan posisi kelas berkuasa. Tetapi dalam periode krisis dan ketidakstabilan sosial, pemerintah dan tentara terpecah dan bercerai-berai dalam sejumlah faksi. Negara-negara yang telah diciptakan di atas basis penolakan terhadap imperialisme, meskipen karakternya borjuis, amatlah lemah. Di negeri-negeri ini &endash;Burma Syria, Angola, Mozambik, Ethiopia, Somalia, Afghanistan, dan negara-negara lain yang mengacu pada Bonapartisme kaum proletar&emdash; negara tunduk kepada berbagai kudeta dan krisis terus-menerus. Dengan adanya kebuntuan rezim sepenuhnya dan kekosongan adanya revolusi di dunia Barat, serta contoh yang diperlihatkan Stalinisme, di mana pada tahap ini negeri-negeri tadi sedang membangun kekuatan-kekuatan produktif, menjadi sebuah kekuatan yang sangat menarik minat bagi lapisan-lapisan tertentu di tengah aparatus negara.
Mengambil Cina yang terdorong oleh daya tarik Stalinisme sebagai contoh mengenai satu langkah maju bukan hanya terjadi di tengah massa yang terdiri dari kaum tani miskin di negara-negara yang dulunya berupa negara jajahan, tetapi juga terjadi pada bagian-bagian di jajaran aparatus negara di negeri-negeri tadi. Sejumlah negara-negara yang berada dalam situasi kolaps dan ancaman disintegrasi, bergerak dalam arahan menuju bonapartisme kaum proletar. Jajaran para pejabat bersandar pada kelas buruh dan kaum tani untuk mengadakan sebuah revolusi, untuk menumbangkan kapitalisme dan pertuantanahan. Mereka melihat Stalinisme sebagai sebuah rezim yang membawa masyarakat ke arah maju tetapi pada saat yang bersamaan memperbolehkan golongan birokratik mempunyai hak-hak istimewa dan menjalankan masyarakat. Ini adalah proses yang terjadi terutama di negara-negara kolonial yang paling terbelakang seperti Ethiopia, Angola, Afghanistan, dll; di mana kaum proletar adalah (dan masih) merupakan kelas yang sangat lemah atau bahkan hampir tidak eksis.
Faktor penting lain dalam pergerakan menuju bonapartisme kaum proletar di seluruh negara-negara ini adalah terjadinya tendensi di seluruh dunia atas hal statisasi. Fenomena ini sudah diibahas oleh Engels, yang lebih merujuk "serbuan perekonomian kaum sosialis", dan kemudian oleh Lenin yang menggambarkan hal itu sebagai monopoli kapitalisme negara. Fakta bahwa kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi telah mencapai limitasinya diekspresikan oleh kenyataan bahwa di semua negara-negara kapitalis sebagian besar perekonomian berada di tangan negara meskipun, tentu saja, elemen-elemen kunci, yaitu sektor-sektor yang paling menguntungkan, tetap berada di bawah penguasaan swasta. Sektor yang dikuasai negara tidak memainkan peran independen melainkan diadakan hanya sebagai perpanjangan tangan sektor swasta, bertugas menyediakan kepada kaum kapitalis: baja murah, listrik murah, batu bara murah, dll.
Proses yang sama berlangsung di dunia ketiga, tidak semata di dalam rezim-rezim bonapartisme kaum proletar tetapi bahkan terjadi di negara-negara borjuis yang relatif lebih berkembang seperti Argentina, Meksiko, India, dll. Banyak pemimpin borjuis dari negara ini menyatakan diri sebagai "sosialis" (seperti Nasser di Mesir, Nyrere di Tannzania, Nehru di India dan Nkrumah di Ghana) dan melakukan nasionalisasi pada sebagian besar perekonomian. Dalam kasus-kasus sebagaimana terjadi di Syria, Ethiopia, dan yang lainnya, sebagian dari lapisan pejabat sebenarnya mengadakan proses menuju sebuah konklusi, bersandar kepada kelas buruh untuk melakukan penyitaan sepenuhnya terhadap borjuasi. Mereka mendirikan rezim di bawah bayang-bayang Moskow dan Beijing di mana di dalamnya kapitalisme dienyahkan tetapi kaum buruh ditaklukkan kepada sebuah tirani baru dalam bentuk rezim totalitarian dengan partai tunggal yang birokratis. Tentu saja, rezim-rezim yang demikian tidak mempunyai satupun ciri sosialisme atau bahkan ciri sebuah negara buruh yang sehat. Dalam setiap kasus di mana tugas-tugas historis dari satu kelas telah diadakan dengan cara yang didistorsi oleh kelas yang lain, selalu saja ada harga yang harus dibayar. Kami menjelaskan bahwa untuk melakukan kemajuan dalam arah sosialisme, sebuah revolusi baru akan diperlukan. Bukan sebuah revolusi sosial untuk membangun relasi-relasi kepemilikan yang baru (sebab hal ini sudah dilakukan), melainkan sebuah revolusi politis melawan kasta birokratik yang berkuasa dengan tujuan untuk mendirikan sebuah rezim demokrasi kaum buruh yang murni. Bagaimanapun juga, penghapusan kapitalisme dan pertuantanahan di negara-negara ini mempresentasikan adanya satu langkah maju dan sebuah guncangan melawan imperialisme dan, yang demikian ini, disambut baik oleh kaum Marxis.
Dalam sebagian besar, jika tidak dalam semua kasus, Moskow dan Beijing tidak memainkan peran apapun. Lebih sering daripada tidak berperan apapun, mereka dilawan untuk menumbangkan kapitalisme dan mereka ini melakukan apa saja yang mereka bisa untuk menghalanginya. Partai Komunis Kuba mendukung Batista untuk melawan Castro. Belakangan birokrasi Rusia dan Kuba memberikan tekanan terhadap kaum sandinista untuk tidak melakukan pengambilalihan terhadap kapitalisme di Nikaragua. Tentu saja di manapun proses begitu terjadi, mereka (kaum birokrat itu) mengambil keuntungan darinya untuk memperkuat posisi mereka dalam berhadap-hadapan dengan imperialisme AS. Inilah juga kasus di Afghanistan, di mana para pejabat militer Stalinis mengadakan revolusi dari atas, tanpa referensi apapun ke Moskow. Birokrasi Rusia memiliki hubungan yang amat baik dengan rezim borjuis Doud di Kabul, dan bahkan siap mengorbankan Partai Komunis kepada rezim tersebut. Tetapi sekali revolusi merupakan sebuah kenyataan, mereka harus menerimanya.
Kaum Imperialis merespon revolusi di Afghanistan dengan mempersenjatai dan membiayai kelompok-kelompok bandit dan gelandangan yang diupah untuk mengadakan perang melawan rezim yang baru. Jikalau yang disebut terakhir ini mengikuti kebijakan-kebijakan yang sama sebagaimana yang dilakukan kaum Bolshevik, mendasari diri mereka pada massa dalam perjuangan melawan imperialisme dan reaksi, bisa jadi mereka menang walaupun harus diingat bahwa dalam kondisi yang amat luar biasa terbelakang begitu bahkan sebuah negara buruh yang sehat akan menghadapi begitu banyak kesukaran. Adalah sangat perlu untuk memulainya secara bertahap dan dengan kehati-hatian yang sungguh, terutama pada permasalahan agama. Tetapi usaha untuk menyelinapkan perubahan masyarakat dari atas, dalam sebuah karakter birokratis yang terkontrol habis-habisan, terdorong oleh invasi Rusia dan pembersihan yang luar biasa besar serta lain-lain cara yang dihasilkannya, telah dengan fatal memperlemah revolusi saat berhadapan dengan jagal-jagal kekuatan kontra-revolusioner yang disokong oleh Amerika dan Pakistan.
Sebuah proses serupa terjadi di Afrika, di mana kaum imperialis memperlengkapi pemerintah di Afrika selatan untuk menumbangkan rezim-rezim kaum Bonapartis proletar di Angola dan Mozambique. Sebagaimana di Afghanistan mereka mempersenjatai dan membiayai tentara bayaran yang kejam serta para bandit. Apa yang terjadi bukanlah perjuangan politis melainkan semata-mata mobilisasi "kekuatan-kekuatan hitam" untuk membunuh, membakar, memperkosa, dan melakukan penjarahan. Imperialisme tidak dapat mentoleransi keberadaan bahkan negara-negara buruh yang terdeformasi di jantung Afrika, sebab hal itu akan menjadi contoh bagi Afrika Selatan. Daripada melihat hal tersebut terjadi, kaum imperialis lebih suka membenamkan Angola, Mozambik, dan Afghanistan ke dalam abad kegelapan.
APAKAH REZIM-REZIM BONAPARTISME PROLETAR YANG BARU BISA MUNGKIN?
Mendasari diri kita pada analisis ini, apa yang menjadi kemungkinan bagi formasi rezim-rezim Bonapartisme proletar baru? Untuk menjawab masalah ini perlu memulainya dari perspektif-perspektif dunia secara menyeluruh. Tendensi seluruh dunia terhadap intervensi negara dalam bidang perekonomian telah berbalik setelah kemerosotan tahun 1974 dan berbelok menjadi lawannya, terutama sejak proses swastanisasi dimulai oleh Tacther di tahun 1980-an. Hal ini merefleksikan kebuntuan kapitalisme pada skala dunia serta kebangkrutan dari model kuno Keynesianisme. Negara-negara kolonial secara luas telah dipaksa, melalui diktean dari IMF dan Bank Dunia, untuk "membuka" pasar mereka dan melakukan swastanisasi terhadap industri-industri nasional. Ini sungguh sebuah penjarahan terhadap negara-negara itu. Hal ini akan memiliki konsekuensi-konsekuensi berjangka panjang di periode yang akan datang. Mereka menciptakan sebuah bahasa yang baru keseluruhnya ("perampingan", "liberalisasi","pembukaan pasar", "perekonomian bebas", dll.) untuk menjadi bungkus yang menutupi apa yang sebenar-benarnya merupakan destruksi habis-haabisan terhadap kekuatan-kekuatan produktif dan pekerjaan. Ini mengingatkan orang pada "Bahasabaru dalam novel George Orwell, 1984, di mana Kementrian Kekayaan mengurusi pemiskinan, Kementrian Perdamaian adalah Kementrian Perang, dan Kementrian Cinta Kasih adalah polisi rahasia.
Para advokat "pasar bebas" telah dengan baik sekali melupakan bahwa kapitalisme sesungguhnya berkembang berdasarkan basis benteng tarif yang tinggi. Di fase awal kapitalsme Inggris, kapitalisme bernaung di belakang benteng perdagangan biaya tinggi untuk mempertahankan industri-industri nasionalnya sendiri yang masih kintis-kinyis. Hanya ketika industrinya telah menjadi kuat maka kaum borjuis Inggris menjadi semacam advokat yang amat bernafsu mengenai "prinsip" perdagangan bebas. Ini sama persis dengan Perancis, Jerman, Amerika, Jepang, dan semua lainnya yang sekarang memohon-mohon adanya nilai perdagangan bebas kepada bangsa-bangsa di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tetapi proses ini menciptakan kontradiksi-kontradiksi baru. Golongan-golongan aparatus negara