Mereka yang merantau makmur hidupnya. Mereka hidup dari
perdagangan dan pelayaran. Kemakmuran itu memberi kelonggaran bagi mereka untuk
mengerjakan hal-hal lain selain mencari penghidupan. Waktu yang luang
dipergunakan mereka untuk memperkaya kehidupannya dengan seni dan buah pikiran.
Itulah sebabnya literatur dan filosofi Yunani yang pertama
lahir di daerah perantauan itu. Yang sangat tersohor dan makmur pada waktu itu
adalah kota Miletos di Asia Minor. Puncak kemakmurannya adalah pada abad
ke-enam sebelum Isa. Di sana pula tempat kediaman filosof-filosof Yunani yang
pertama seperti Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Mereka disebut Filosof
Alam, sebab tujuan filosofi mereka memikirkann tentang persoalan alam. Bagaimana
terjadinya alam, itulah yang menjadi persoalan bagi mereka.
Thales
Sama seperti pujangga-pujangga Yunani yang laiinya, tanggal
lhirnya tidak diketahui secara pasti. Banyak orang menyebut masa hidupnya
adalah dari tahun 625-545 SM.
Thales termasuk salah satu dari tujuh orang pandai yang
tersohor dalam cerita-cerita lama Yunani. Yang lainnya adalah Solon, Bias,
Pittakos, Chilon, Periandos dan Kleobulos. Mereka kesohor karena petuahnya yang
singkat, seperti “kenal dirimu”, “tahan amarahmu” dan banyak lagi yang lainnya.
Menurut cerita, Thales adalah seorang saudagar yang banyak
berlayar ke nbegeri Mesir. Ia juga seorang ahli politik yang terkenal di
Miletos. Pada waktu itu dia menyempatkan untuk mempelajari ilmu matematik (ilmu
pasti) dan astronomi (ilmu bintang). Ada cerita yang mengatakan, bahwa Thales
mempergunakan kepintarannya itu sebagai ahli nujum. Dengan cara itu ia menjadi
kaya raya. Pada suatu waktu diramalkannya akan ada gerhana matahari pada bulan
itu dan tahun itu. Ramalannya terbukti, yaitu gerhana matahari yang terjadi
pada tahun 585 SM. Hal itu menyatakan ia mengetahui ilmu matematik orang
Babylonia yang sangat terkenal pada waktu itu.
Ada pula cerita yang menyatakan, bahwa Thales sangat
mengasingkan diri dari pergaulan. Ia selalu berpikir dan pikirannya terikat
kepada alam semesta. Pada suatu hari Thales pergi berjalan-jalan. Matanya asik memandang
keatas, melihat keindahan alam di langit. Tanpa disadarinya, ia terperosok
jatuh ke lubang. Seorang perempuan tua yang lewat dekatnya menertawakannya
sambil berkata : “ Hai Thales, jalan di langit engkau ketahui, tapi jalanmu di atas
bumi ini tidak kau ketahui”.
Walaupun Thales terbilang sebagai Bapak Filosofi Yunani,
sebab dialah filosof yang pertama, ia tek pernah meninggalkan pelajaran yang
dituliskannya sendiri. Filosofinya diajarkan dengan mulut saja, dan
dikembangkan oleh murid-muridnya dari mulut ke mulut pula. Baru Aristoteles
yang kemudian menuliskannya.
Menurut keterangan
Aristoteles, kesimpulan ajaran Thales adalah “semuanya itu air”. Air
yang cair itu adalah pangkal, pokok dan dasar (priscipe) segala-galanya. Semua
barang terjadi dari air dan kesemuanya kembali pada air pula.
Denga jalan berpikir Thales mendapat kesimulan tentang
permasalahan besar yang selalu menarik perhatian : Apa permulaan alam ini? Apa
yang menyebabkan penghabisan dari segala yang ada?
Untuk mencari apa yang menyebabkan penghabisan itu, ia
tidak menggunakan takhayul atau kepercayaan yang berkembang pada waktu itu,
melainkan menggunakan akal. Dengan
berdasarkan pengalaman yang silihatnya sehari-hari, ia menjadikan pikirannya
untuk menyusun bentuk alam. Sebagai orang pesisir, setiap hari, ia dapat
melihat betapa air laut menjadi sumber kehidupan. Dan di Mesir dilihatnya betapa
nasib rakyat disana bergantung pada air Sungai Nil. Air Sungai Nil itulah yang
menyuburkan tanah sepanjang alirannya, sehingga dapat dihuni oleh manusia. Jika
tak ada Sungai Nil yang sewaktu-waktu melimpahkan airnya ke darat, negri Mesir
kembali menjadi padang pasir. Sebagai seorang saudagar pelayar Thales melihat
pula kemegahan air laut, yang membuat ia takjub. Kadang-kadang air laut itu
menggulung dan menghanyutkan. Ia memusnahkan serta menghidupkan. Di sini
dihapuskannya segala yang hidup. Tetapi bibit dan buah kayu-kayuan yang
ditumbangkannya itu dihanyutkan dan diantarkannya ke pantai tanah lain. Bibit
dan buah itu tumbuh di sana dan menjadi tanaman hidup.
Demikianlah laut menyebarkan bibit seluruh dunia, yang
menjadi dasar penghidupan. Semua itu terpikir oleh Thales. Air yang tidak berkesudahan
itu dilihatnya dalam pelayaran, berpengaruh besar atas pandangan dan pikirannya
tentang alam
“Semuanya itu air!” katanya. Dalam perkataan itu
menyimpulkan, dengan disengaja atau tidak, suatu pandangan yang dalam, yaitu
baha “semuanya itu satu”.
Pada masa itu, selagi dunia penuh dengan takhyul dan
kepercayaan yang ajaib-ajaib, buah pikiran yang mengatakan bahwa yang lahir itu
tidak banyak melainkan satu, sangat dangkal maknanya. Pikirannya itu membuka
mata tentang bentuk alam dan menyingkapkan selimut yang selama ini menutupi
hati manusia. Benar atau tidak pandangannya itu, tidak perlu dipermasalahkan
disini. Yang dinyatakan Cuma kelanjutan pikirannya, yang mengutamakan akal
daripada belenggu takhyul dan dongeng.
Bagi Thales, air adalah sebab yang pertama dari segala yang
ada dan yang jadi, tetapi juga akhir daripada segala yang ada dan yang jadi
itu. Di awal air di ujung air. Air yang menyebabkan penghabisan! Asal ir pulang
ke air. Air adalah bingkai dan isi pula. Atau dengan perkataan filosofi, air adalah substrat (bingkai) dan substansi
(isi) kedua-duanya.
Dalam pandangan Thales tak ada jurang yang memisahkan hidup
dan mati. Semuanya satu! Dan sebagai orang yang hidup pada masa itu, ia percaya
bahwa segala benda itu memiliki jiwa. Benda itu bisa berubah bentuknya, bisa
bergerak, bisa timbul dan menghilang, semua itu atas kodratnya sendiri.
Kepercayaan batin Thales masih animisme. Animisme adalah
kepercayaan, bahwa bukan saja benda hidup yang memiliki jiwa, tetapi juga benda
mati. Kepercayaannya ke sana dikuatkan oleh pengalaman pula. Besi berani dan
batu api yang digosok sampai panas dapat menarik benda yang dekat padanya. Ini
dipandangnya sebagai berjiwa.
Sekianlah tentang filosofi Yunani yang pertama itu.
Pandangan pikirannya menyatukan semua pada air!
Air asal dan akhir.
Anaximandros
Anaximandros adalah murid Thales. Masa hidupnya disebut
orang dari tahun 610 – 574 SM. Ia lima belas tahun dari Thales, tetapi
meninggal dua tahun lebih dulu. Sebagai filosof, ia lebih besar daripada
gurunya. Ia juga ahli astronomi dan ahli ilmu bumi.
Menurut pendapatnya langit itu bulat seperti bola. Bumi
terdapat ditengah-tengahnya. Bentuknya seperti silinder dan datar pada atasnya.
Anaximandros menuliskan buah pikirannya dengan keterangan
yang jelas. Oleh karena itu karangan-karangannya dianggap orang sebagai buku
filosofi paling tua.
Sama seperti gurunya, Anaximandros mencari akan permulaan dari segalanya. Ia tidak
menerima begitu saja apa yang diajarkan oleh gurunya. Yang dapat diterima
akalnya ialah bahwa yang permulaan itu satu,
tidak banyak. Tetapi yang satu itu bukanlah air. Menurut pendapatnya, sesuatu
yang permulaan itu tidak berhingga
dan tidak berkesudahan.
Yang permulaan itu, yang menjadi dasar alam dinamai oleh
Anaximandros dengan sebutan “Apeiron”. Apeiron itu tidak dapat digambarkan, tak
ada persamaannya dengan salah satu benda yang tampak di dunia ini. Segala yang
kelihatan itu, yang dapat ditentukan bentuknya dengan pancaindra kita, adalah
benda yang memiliki akhir, yang berhingga. Oleh karena itu, permulaan, yang
tidak berhingga dan tidak berkesudahan, mustahil dari salah satu benda yang
berkesudahan itu. Segala yang tampak dan terasa dibatasi oleh lawannya.
Yang panas di batasi oleh yang dingin. Dimana bermula yang dingin, disana
berakhir yang panas. Yang cair dibatasi oleh yang beku, yang terang oleh yang
gelap. Dan bagaimana sesuatu yang terbatas itu dapat memberikan sifat kepada
yang tidak berkesudahan?
Segala yang tampak dan berkesudahan itu, segala yang dapat
ditentukanrupanya dengan pancaindra kita, semuanya itu mempunyai akhir. Ia timbul
(jadi), hidup, mati dan lenyap. Segala yang berakhir itu selalu berada dalam kejadian, yaitu dalam keadaan berpindah
dari yang satu kepada keadaan yang lain. Yang cair menjadi beku dan sebaliknya.
Yang panas menjadi dingin dan sebaliknya. Semuanya
itu terjadi akibat Apeiron dan kembali kepada Apeiron pula.
Demikianlah kesimpulan hukum alam menurut pandangan
Anaximandros! Disitu tampak kelebihannya daripada gurunya. Selagi Thales
berpendapat bahwa sesuatu yang permulaan itu salah satu dari yang lahir, yang
tampak dan yang berhingga, Anaximandros meletakkannya di luar alam dan
memberikan sifat yang tidak berhingga padanya dan tidak dapat diserupakan.
Setelah dibulatkannya pikirannya, bahwa semuanya terjadi
akibat Apeiron, dipecahkan pula permasalahan, bahwa sesungguhnya alam tercipta
dari Apeiron itu.
Dari Apeiron awalnya keluar Yang panas dan yang dingin.
Yang panas membalut yang dingin, sehingga yang dingin itu terkandung di
dalamnya. Oleh karena itu yang dingin itu menjadi bumi. Dab dari yang dingin itu
timbul pula yang cair dan yang beku sebagai dua bagian yang bertentangan. Apa
yang membalut yang bulat tadi pecah pula, dan pecahan-pecahannya itu
berputar-putar seperti roda. Karena putarannya itu timbullah berbagai lubang.
Pecahan- pecahan api itu terpisah-pisah, dan menjadi matahari, bulan dan
bintang.
Bumi ini awalnya diselimuti oleh uap yang basah. Karena ia
berputar, yang basah tadi mengering perlaha-lahan. Akhirnya tinggallah sisa uap
yang basah itu menjadi laut di bumi.
Atas pengaruh Yang Panas terciptalah dari uap yang basah
tadi makhluk dengan berbeda-beda kemajuan hidupnya. Pada awalnya bumi ini
diliputi air semata-mata. Sebab itu makhluk yang pertama di atas bumi ialah
hewan yang hidup dalam air. Juga bangsa binatang darat pada mulanya seperti
ikan. Baru kemudian, setelah timbul daratan, binatang darat itu mendapat bentuk
seperti sekarang ini. Dari binatang yang berupa ikan itu tercipta manusia
pertama. Manusia awalnya tidak serupa dengan manusia sekarang. Sebab orang yang
dilahirkan berupa anak-anak tidak dapat serentak berdiri sendiri. Ia perlu
asuhan orang lain terlebih dulu, bertahun-tahun lamanya. Makhluk seperti itu
tidak dapat hidup pada awal kehidupan di atas dunia ini. Pada awal kehidupan
itu masing-masing harus bisa menolong dirinya sendiri dengan cepat, sejak dari
lahirnya. Yang sanggup berbuat begitu adalah binatang berupa ikan.
Anaximandros menganggap jiwa yang menjadi dasar hidup itu mirip
udara.
Pendapat Anaximandros tentang kejadian dan kemajuan makhluk
di dunia ini banyak menyerupai teori Darwin, yang timbul di abad ke-19, dua
puluh lima abad setelahnya. Tak heran kalau orang sekarang mengarang lelucon,
bahwa Anaximandros patut dianggap pengikut Darwinisme yang paling pertama.
Dilihat dari jurusan ilmu sekarang, banyak yang janggal
tampak pada keterangan Anaximandros tentang kejadian alam. Tetapi ditilik dari
masa hidupnya, dimana segala keterangan berdasarkan pada takhyul dan cerita
yang ganjil, pendapatnya itu adalah pikiran yang sangat mutakhir. Itu saja
sudah cukup untuk menganggapnya sebagai seorang pemikir yang jenius. Tetapi
yang jadi perhatian besar bagi orang kemudian adalah caranya menguraikan buah pikirannya. Ia mencari keterangan dengan
metode berpikir yang sangat teratur. Masalah yang rumit dapat ditinjaunya dari
satu jurusan atau pokok yang mudah. Sama halnya dengan cara ilmu modern
bekerja, walaupun dengan alat pikiran yang lebih sempurna.
Anaximenes
Anaximenes hidup dari tahun 585 – 528 SM. Dia adalah guru
yang terakhir dari filosofi alam yang berkembang di Miletos. Akhir kemajuan
filosofi itu tidak lama setelah ia meninggal. Pada tahu 494 SM. kota Miletos diserang dan ditaklukkan oleh Persia.
Karena itu banyak para pemikir yang lari dari kota itu. Dengan kepergian mereka
maka lenyaplah kebesaran Miletos sebagai pusat pengajaran dan pengmbangan
filosofi alam.
Anaximenes adalah murid Anaximandros. Karena itu tidak
mengherankan jika pandangannya tentang kejadian alam ini sama dasarnya dengan
pandangan gurunya. Ia juga mengajarkan bahwa sesuatu yang permulaan itu satu dan tidak berbatas. Tapi ia tak
dapat menerima ajaran Anaximandros, bahwa sesuatu yang permulaan itu tak ada
persamaannya dengan sesuatu yang lahir dan tak dapat digambarkan rupanya.
Baginya yang permulaan itu mesti salah satu dari yang ada dan yang nampak. Sesuatu
yang permulaan itu adalah udara.
Udara itulah yang satu dan tidak terbatas.
Dalam pandangannya tetntang sesuatu yang permulaan,
Anaximenes turun kembali ke tingkat yang sama dengan Thales. Keduanya
berpendapat, yang permulaan itu harus salah satu dari yang ada dan yang
kelihatan. Thales mengatakan air adalah awal dan akhir dari segalanya.
Anaximenes mengatakan udara. Udara yang meliputi dunia ini, menjadi sebab
segala yang hidup. Jika tak ada udara itu, tak ada yang hidup. Pikirannya itu
mungkin terpengeruh oleh ajaran Anaximandros, bahwa :jiwa itu mirip udara”.
Sebagai kesimpulan ajarannya, dia berkata : “Sebagai mana
jiwa kita, yang tidak lain adalah udara, menyatukan tubuh kita, demikian pula
udara mengikat dunia ini jadi satu”.
Di sini buat pertama kalinya pengertian “jiwa” masuk dalam
pandangan filosofi. Hanya Anaximenes tidak melanjutkan pikirannya pada masalah
jiwa. Masalah ini berada di luar garis filosofi alam, yang mencari sebab
penghabisan dari alam ini. Permasalahan jiwa, perasaan manusia yang hidup dalam
pergaulan, selanjutnya menjadi masalah bagi filosofi. Aristoteles yang mulai
mengupasnya. Dengan itu dibukanya cabang ilmu baru, yang kemudian bernama
psikologi.
Anaximenes yang mencari permulaan alam, belum memperhatikan
benar soal jiwa dalam penghidupan masyarakat. Kepentingan jiwa itu tampak
olehnya dalam hubungannya dengan alam semesta saja. Jiwa itu menyusun tubuh
manusia menjadi satu dan menjaga agar tubuh itu jangan jatuh dan
terpisah-pisah. Kalau jiwa itu keluar dari badan, matilah badan itu dan
bagian-bagiannya akan tercerai-berai. Juga alam itu ada karena udara. Udaralah
yang menjadi dasar hidupnya. Kalau tak ada udara, gugurlah semuanya itu.
Makrokosmos (alam) dan mikrokosmos (manusia) pada dasarnya adalah satu rupa.
Menurut pendapat Anaximenes udara itu benda, materi. Tetapi
walaupun dasar kehidupan itu dianggapnya sebagai benda, ia juga membedakan yang
hidup dan yang mati. Badan mati, karena menghembuskan jiwa itu keluar. Yang
mati tidak berjiwa. Dalam hal ini berbeda pemikirannya dengan Thales, yang
menganggap benda mati juga berjiwa. Anaximenes terlepas dari pandangan
Animisme.
Anaximenes mengemukakan satu soal baru, yang belum didapat
pendahulunya. Memang ketiganya berpendapat bahwa ada permulaan yang menjadi
dasar dari segalanya. Tetapi Anaximenes selangkah lebih maju lagi dengan
bertanya : “Gerangan apakah yang
menyebabkan terjadinya alam, yang lahir, yang beragam dan bermacam-macam itu
dari sesuatu yang satu itu?”
Sebagai ahli ilmu alam, Anaximenes mencari jawabannya
dengan memperhatikan pengalaman. Semuanya terjadi dari udara. Kalau udara diam
saja, sudah tentu tidak akan tercipta yang lahir itu dengan berbagai ragam dan
macam. Subab itu gerak udarala-lah
yang menciptakannya. Udara bisa jarang dan padat. Kalau udara jarang, terciptalah
api. Kalau udara rapat, terjadilah angin dan awan. Bertanbah padat sedikit
lagi, turun hujan dari awan itu. Dari air menjadi tanah, dan tanah yang sangat
padat menjadi batu.
Di sini caranya mengupas masalah menunjukkan derajat
berpikir yang lebbih tinggi. Tetapi dalam pahamnya tentang bentuk alam, ia
masih tertinggal dari Anaximandros. Menurut pendapatnya dunia ini datar seperti
meja bundar, dan di bawahnya ditopang oleh udara. Udara yang mengangkatnya itu
tidak mempunyai ruang untuk bergerak dan menyebar, karena tetap kedudukannya.
Dan oleh karena itu bumi ini tetap pada tempatnya.
Matahari, bulan dan bintang itu dilahirkan oleh bumi. Uap
yang keluar dari bumi naik ke atas. Di atas ini jadi jarang , karena itu
menjadi api. Api itu menyala menjadi matahari, bulan dan bintang. Tetapi
diantara bintang-bintang itu ada juga yang seperti bumi (tanah).
Bintang-bintang beredar, tetapi tidak mengelilingi bumi dari atas ke bawah
kemudian ke atas lagi, melainkan berkeliling di atas bumi, seperti “topi yang
berputar di atas kepala”. Hilanh timbulnya bintang itu disebabkan karena jauh
dan dekat edarannya. Kalau ia tidak kelihatan, itu karena ia jauh dari kita,
kembali pada tempat awal peredarannya.
Sekian tentang Anaximenes. Filosof yang terakhir dari
golongan Miletos. Seperti yang diajarkan oleh Anaximenes itu, filosofi alam itu
berkembang ke seluruh Yunanni dan perantauannya. Filosof-filosof yang muncul
kemudian kurang lebih mengikuti pandangan alam orang Miletos itu.