Filosofi Alam

            Filosofi Yunani yang pertama tidak berasal dari Tanah Airnya sendiri, melainkan berasal dari tanah perantauan di Asia Minor. Negeri Yunani di semenanjung Balkan tidak begitu subur tanahnya. Tanahnya berupa pegunungan; sepanjang daratan dilalui oleh deretan bukit. Memiliki banyak teluk, menjadi perhiasan pantai dan jauh menjorok ke dalam negri. Oleh karena itu tidak begitu banyak tanah yang dapat dijadikan tempat tinggal. Semua tempat tinggal itupun terpisah-pisah. Karena itu banyak bangsa Yunani yang terpaksa merantau ke tanah asing dan mendirikan negri baru disana. Secara perlahan-lahan mereka menduduki pulau-pulau yang berdekatan dengan Laut Egia, dan mendiami daratan di pantai Asia Minor. Rakyat Yunani dulu menjadi perantau karena keadaan negrinya sendiri.

Mereka yang merantau makmur hidupnya. Mereka hidup dari perdagangan dan pelayaran. Kemakmuran itu memberi kelonggaran bagi mereka untuk mengerjakan hal-hal lain selain mencari penghidupan. Waktu yang luang dipergunakan mereka untuk memperkaya kehidupannya dengan seni dan buah pikiran.
Itulah sebabnya literatur dan filosofi Yunani yang pertama lahir di daerah perantauan itu. Yang sangat tersohor dan makmur pada waktu itu adalah kota Miletos di Asia Minor. Puncak kemakmurannya adalah pada abad ke-enam sebelum Isa. Di sana pula tempat kediaman filosof-filosof Yunani yang pertama seperti Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Mereka disebut Filosof Alam, sebab tujuan filosofi mereka memikirkann tentang persoalan alam. Bagaimana terjadinya alam, itulah yang menjadi persoalan bagi mereka.
Thales
Sama seperti pujangga-pujangga Yunani yang laiinya, tanggal lhirnya tidak diketahui secara pasti. Banyak orang menyebut masa hidupnya adalah dari tahun 625-545 SM.
Thales termasuk salah satu dari tujuh orang pandai yang tersohor dalam cerita-cerita lama Yunani. Yang lainnya adalah Solon, Bias, Pittakos, Chilon, Periandos dan Kleobulos. Mereka kesohor karena petuahnya yang singkat, seperti “kenal dirimu”, “tahan amarahmu” dan banyak lagi yang lainnya.
Menurut cerita, Thales adalah seorang saudagar yang banyak berlayar ke nbegeri Mesir. Ia juga seorang ahli politik yang terkenal di Miletos. Pada waktu itu dia menyempatkan untuk mempelajari ilmu matematik (ilmu pasti) dan astronomi (ilmu bintang). Ada cerita yang mengatakan, bahwa Thales mempergunakan kepintarannya itu sebagai ahli nujum. Dengan cara itu ia menjadi kaya raya. Pada suatu waktu diramalkannya akan ada gerhana matahari pada bulan itu dan tahun itu. Ramalannya terbukti, yaitu gerhana matahari yang terjadi pada tahun 585 SM. Hal itu menyatakan ia mengetahui ilmu matematik orang Babylonia yang sangat terkenal pada waktu itu.
Ada pula cerita yang menyatakan, bahwa Thales sangat mengasingkan diri dari pergaulan. Ia selalu berpikir dan pikirannya terikat kepada alam semesta. Pada suatu hari Thales pergi berjalan-jalan. Matanya asik memandang keatas, melihat keindahan alam di langit. Tanpa disadarinya, ia terperosok jatuh ke lubang. Seorang perempuan tua yang lewat dekatnya menertawakannya sambil berkata : “ Hai Thales, jalan di langit engkau ketahui, tapi jalanmu di atas bumi ini tidak kau ketahui”.
Walaupun Thales terbilang sebagai Bapak Filosofi Yunani, sebab dialah filosof yang pertama, ia tek pernah meninggalkan pelajaran yang dituliskannya sendiri. Filosofinya diajarkan dengan mulut saja, dan dikembangkan oleh murid-muridnya dari mulut ke mulut pula. Baru Aristoteles yang kemudian menuliskannya.
Menurut keterangan  Aristoteles, kesimpulan ajaran Thales adalah “semuanya itu air”. Air yang cair itu adalah pangkal, pokok dan dasar (priscipe) segala-galanya. Semua barang terjadi dari air dan kesemuanya kembali pada air pula.
Denga jalan berpikir Thales mendapat kesimulan tentang permasalahan besar yang selalu menarik perhatian : Apa permulaan alam ini? Apa yang menyebabkan penghabisan dari segala yang ada?
Untuk mencari apa yang menyebabkan penghabisan itu, ia tidak menggunakan takhayul atau kepercayaan yang berkembang pada waktu itu, melainkan menggunakan akal. Dengan berdasarkan pengalaman yang silihatnya sehari-hari, ia menjadikan pikirannya untuk menyusun bentuk alam. Sebagai orang pesisir, setiap hari, ia dapat melihat betapa air laut menjadi sumber kehidupan. Dan di Mesir dilihatnya betapa nasib rakyat disana bergantung pada air Sungai Nil. Air Sungai Nil itulah yang menyuburkan tanah sepanjang alirannya, sehingga dapat dihuni oleh manusia. Jika tak ada Sungai Nil yang sewaktu-waktu melimpahkan airnya ke darat, negri Mesir kembali menjadi padang pasir. Sebagai seorang saudagar pelayar Thales melihat pula kemegahan air laut, yang membuat ia takjub. Kadang-kadang air laut itu menggulung dan menghanyutkan. Ia memusnahkan serta menghidupkan. Di sini dihapuskannya segala yang hidup. Tetapi bibit dan buah kayu-kayuan yang ditumbangkannya itu dihanyutkan dan diantarkannya ke pantai tanah lain. Bibit dan buah itu tumbuh di sana dan menjadi tanaman hidup.
Demikianlah laut menyebarkan bibit seluruh dunia, yang menjadi dasar penghidupan. Semua itu terpikir oleh Thales. Air yang tidak berkesudahan itu dilihatnya dalam pelayaran, berpengaruh besar atas pandangan dan pikirannya tentang alam
“Semuanya itu air!” katanya. Dalam perkataan itu menyimpulkan, dengan disengaja atau tidak, suatu pandangan yang dalam, yaitu baha “semuanya itu satu”.
Pada masa itu, selagi dunia penuh dengan takhyul dan kepercayaan yang ajaib-ajaib, buah pikiran yang mengatakan bahwa yang lahir itu tidak banyak melainkan satu, sangat dangkal maknanya. Pikirannya itu membuka mata tentang bentuk alam dan menyingkapkan selimut yang selama ini menutupi hati manusia. Benar atau tidak pandangannya itu, tidak perlu dipermasalahkan disini. Yang dinyatakan Cuma kelanjutan pikirannya, yang mengutamakan akal daripada belenggu takhyul dan dongeng.
Bagi Thales, air adalah sebab yang pertama dari segala yang ada dan yang jadi, tetapi juga akhir daripada segala yang ada dan yang jadi itu. Di awal air di ujung air. Air yang menyebabkan penghabisan! Asal ir pulang ke air. Air adalah bingkai dan isi pula. Atau dengan perkataan filosofi, air adalah substrat (bingkai) dan substansi (isi) kedua-duanya.
Dalam pandangan Thales tak ada jurang yang memisahkan hidup dan mati. Semuanya satu! Dan sebagai orang yang hidup pada masa itu, ia percaya bahwa segala benda itu memiliki jiwa. Benda itu bisa berubah bentuknya, bisa bergerak, bisa timbul dan menghilang, semua itu atas kodratnya sendiri.
Kepercayaan batin Thales masih animisme. Animisme adalah kepercayaan, bahwa bukan saja benda hidup yang memiliki jiwa, tetapi juga benda mati. Kepercayaannya ke sana dikuatkan oleh pengalaman pula. Besi berani dan batu api yang digosok sampai panas dapat menarik benda yang dekat padanya. Ini dipandangnya sebagai berjiwa.
Sekianlah tentang filosofi Yunani yang pertama itu. Pandangan pikirannya menyatukan semua pada air! Air asal dan akhir.
Anaximandros
Anaximandros adalah murid Thales. Masa hidupnya disebut orang dari tahun 610 – 574 SM. Ia lima belas tahun dari Thales, tetapi meninggal dua tahun lebih dulu. Sebagai filosof, ia lebih besar daripada gurunya. Ia juga ahli astronomi dan ahli ilmu bumi.
Menurut pendapatnya langit itu bulat seperti bola. Bumi terdapat ditengah-tengahnya. Bentuknya seperti silinder dan datar pada atasnya.
Anaximandros menuliskan buah pikirannya dengan keterangan yang jelas. Oleh karena itu karangan-karangannya dianggap orang sebagai buku filosofi paling tua.
Sama seperti gurunya, Anaximandros mencari akan permulaan dari segalanya. Ia tidak menerima begitu saja apa yang diajarkan oleh gurunya. Yang dapat diterima akalnya ialah bahwa yang permulaan itu satu, tidak banyak. Tetapi yang satu itu bukanlah air. Menurut pendapatnya, sesuatu yang permulaan itu tidak berhingga dan tidak berkesudahan.
Yang permulaan itu, yang menjadi dasar alam dinamai oleh Anaximandros dengan sebutan “Apeiron”. Apeiron itu tidak dapat digambarkan, tak ada persamaannya dengan salah satu benda yang tampak di dunia ini. Segala yang kelihatan itu, yang dapat ditentukan bentuknya dengan pancaindra kita, adalah benda yang memiliki akhir, yang berhingga. Oleh karena itu, permulaan, yang tidak berhingga dan tidak berkesudahan, mustahil dari salah satu benda yang berkesudahan itu. Segala yang tampak dan terasa dibatasi oleh lawannya. Yang panas di batasi oleh yang dingin. Dimana bermula yang dingin, disana berakhir yang panas. Yang cair dibatasi oleh yang beku, yang terang oleh yang gelap. Dan bagaimana sesuatu yang terbatas itu dapat memberikan sifat kepada yang tidak berkesudahan?
Segala yang tampak dan berkesudahan itu, segala yang dapat ditentukanrupanya dengan pancaindra kita, semuanya itu mempunyai akhir. Ia timbul (jadi), hidup, mati dan lenyap. Segala yang berakhir itu selalu berada dalam kejadian, yaitu dalam keadaan berpindah dari yang satu kepada keadaan yang lain. Yang cair menjadi beku dan sebaliknya. Yang panas menjadi dingin dan sebaliknya. Semuanya itu terjadi akibat Apeiron dan kembali kepada Apeiron pula.
Demikianlah kesimpulan hukum alam menurut pandangan Anaximandros! Disitu tampak kelebihannya daripada gurunya. Selagi Thales berpendapat bahwa sesuatu yang permulaan itu salah satu dari yang lahir, yang tampak dan yang berhingga, Anaximandros meletakkannya di luar alam dan memberikan sifat yang tidak berhingga padanya dan tidak dapat diserupakan.
Setelah dibulatkannya pikirannya, bahwa semuanya terjadi akibat Apeiron, dipecahkan pula permasalahan, bahwa sesungguhnya alam tercipta dari Apeiron itu.
Dari Apeiron awalnya keluar Yang panas dan yang dingin. Yang panas membalut yang dingin, sehingga yang dingin itu terkandung di dalamnya. Oleh karena itu yang dingin itu menjadi bumi. Dab dari yang dingin itu timbul pula yang cair dan yang beku sebagai dua bagian yang bertentangan. Apa yang membalut yang bulat tadi pecah pula, dan pecahan-pecahannya itu berputar-putar seperti roda. Karena putarannya itu timbullah berbagai lubang. Pecahan- pecahan api itu terpisah-pisah, dan menjadi matahari, bulan dan bintang.
Bumi ini awalnya diselimuti oleh uap yang basah. Karena ia berputar, yang basah tadi mengering perlaha-lahan. Akhirnya tinggallah sisa uap yang basah  itu menjadi laut di bumi.
Atas pengaruh Yang Panas terciptalah dari uap yang basah tadi makhluk dengan berbeda-beda kemajuan hidupnya. Pada awalnya bumi ini diliputi air semata-mata. Sebab itu makhluk yang pertama di atas bumi ialah hewan yang hidup dalam air. Juga bangsa binatang darat pada mulanya seperti ikan. Baru kemudian, setelah timbul daratan, binatang darat itu mendapat bentuk seperti sekarang ini. Dari binatang yang berupa ikan itu tercipta manusia pertama. Manusia awalnya tidak serupa dengan manusia sekarang. Sebab orang yang dilahirkan berupa anak-anak tidak dapat serentak berdiri sendiri. Ia perlu asuhan orang lain terlebih dulu, bertahun-tahun lamanya. Makhluk seperti itu tidak dapat hidup pada awal kehidupan di atas dunia ini. Pada awal kehidupan itu masing-masing harus bisa menolong dirinya sendiri dengan cepat, sejak dari lahirnya. Yang sanggup berbuat begitu adalah binatang berupa ikan.
Anaximandros menganggap jiwa yang menjadi dasar hidup itu mirip udara.
Pendapat Anaximandros tentang kejadian dan kemajuan makhluk di dunia ini banyak menyerupai teori Darwin, yang timbul di abad ke-19, dua puluh lima abad setelahnya. Tak heran kalau orang sekarang mengarang lelucon, bahwa Anaximandros patut dianggap pengikut Darwinisme yang paling pertama.
Dilihat dari jurusan ilmu sekarang, banyak yang janggal tampak pada keterangan Anaximandros tentang kejadian alam. Tetapi ditilik dari masa hidupnya, dimana segala keterangan berdasarkan pada takhyul dan cerita yang ganjil, pendapatnya itu adalah pikiran yang sangat mutakhir. Itu saja sudah cukup untuk menganggapnya sebagai seorang pemikir yang jenius. Tetapi yang jadi perhatian besar bagi orang kemudian adalah caranya menguraikan buah pikirannya. Ia mencari keterangan dengan metode berpikir yang sangat teratur. Masalah yang rumit dapat ditinjaunya dari satu jurusan atau pokok yang mudah. Sama halnya dengan cara ilmu modern bekerja, walaupun dengan alat pikiran yang lebih sempurna.
Anaximenes
Anaximenes hidup dari tahun 585 – 528 SM. Dia adalah guru yang terakhir dari filosofi alam yang berkembang di Miletos. Akhir kemajuan filosofi itu tidak lama setelah ia meninggal. Pada tahu 494 SM. kota  Miletos diserang dan ditaklukkan oleh Persia. Karena itu banyak para pemikir yang lari dari kota itu. Dengan kepergian mereka maka lenyaplah kebesaran Miletos sebagai pusat pengajaran dan pengmbangan filosofi alam.
Anaximenes adalah murid Anaximandros. Karena itu tidak mengherankan jika pandangannya tentang kejadian alam ini sama dasarnya dengan pandangan gurunya. Ia juga mengajarkan bahwa sesuatu yang permulaan itu satu dan tidak berbatas. Tapi ia tak dapat menerima ajaran Anaximandros, bahwa sesuatu yang permulaan itu tak ada persamaannya dengan sesuatu yang lahir dan tak dapat digambarkan rupanya. Baginya yang permulaan itu mesti salah satu dari yang ada dan yang nampak. Sesuatu yang permulaan itu adalah udara. Udara itulah yang satu dan tidak terbatas.
Dalam pandangannya tetntang sesuatu yang permulaan, Anaximenes turun kembali ke tingkat yang sama dengan Thales. Keduanya berpendapat, yang permulaan itu harus salah satu dari yang ada dan yang kelihatan. Thales mengatakan air adalah awal dan akhir dari segalanya. Anaximenes mengatakan udara. Udara yang meliputi dunia ini, menjadi sebab segala yang hidup. Jika tak ada udara itu, tak ada yang hidup. Pikirannya itu mungkin terpengeruh oleh ajaran Anaximandros, bahwa :jiwa itu mirip udara”.
Sebagai kesimpulan ajarannya, dia berkata : “Sebagai mana jiwa kita, yang tidak lain adalah udara, menyatukan tubuh kita, demikian pula udara mengikat dunia ini jadi satu”.
Di sini buat pertama kalinya pengertian “jiwa” masuk dalam pandangan filosofi. Hanya Anaximenes tidak melanjutkan pikirannya pada masalah jiwa. Masalah ini berada di luar garis filosofi alam, yang mencari sebab penghabisan dari alam ini. Permasalahan jiwa, perasaan manusia yang hidup dalam pergaulan, selanjutnya menjadi masalah bagi filosofi. Aristoteles yang mulai mengupasnya. Dengan itu dibukanya cabang ilmu baru, yang kemudian bernama psikologi.
Anaximenes yang mencari permulaan alam, belum memperhatikan benar soal jiwa dalam penghidupan masyarakat. Kepentingan jiwa itu tampak olehnya dalam hubungannya dengan alam semesta saja. Jiwa itu menyusun tubuh manusia menjadi satu dan menjaga agar tubuh itu jangan jatuh dan terpisah-pisah. Kalau jiwa itu keluar dari badan, matilah badan itu dan bagian-bagiannya akan tercerai-berai. Juga alam itu ada karena udara. Udaralah yang menjadi dasar hidupnya. Kalau tak ada udara, gugurlah semuanya itu. Makrokosmos (alam) dan mikrokosmos (manusia) pada dasarnya adalah satu rupa.
Menurut pendapat Anaximenes udara itu benda, materi. Tetapi walaupun dasar kehidupan itu dianggapnya sebagai benda, ia juga membedakan yang hidup dan yang mati. Badan mati, karena menghembuskan jiwa itu keluar. Yang mati tidak berjiwa. Dalam hal ini berbeda pemikirannya dengan Thales, yang menganggap benda mati juga berjiwa. Anaximenes terlepas dari pandangan Animisme.
Anaximenes mengemukakan satu soal baru, yang belum didapat pendahulunya. Memang ketiganya berpendapat bahwa ada permulaan yang menjadi dasar dari segalanya. Tetapi Anaximenes selangkah lebih maju lagi dengan bertanya : “Gerangan apakah yang menyebabkan terjadinya alam, yang lahir, yang beragam dan bermacam-macam itu dari sesuatu yang satu itu?”
Sebagai ahli ilmu alam, Anaximenes mencari jawabannya dengan memperhatikan pengalaman. Semuanya terjadi dari udara. Kalau udara diam saja, sudah tentu tidak akan tercipta yang lahir itu dengan berbagai ragam dan macam. Subab itu gerak udarala-lah yang menciptakannya. Udara bisa jarang dan padat. Kalau udara jarang, terciptalah api. Kalau udara rapat, terjadilah angin dan awan. Bertanbah padat sedikit lagi, turun hujan dari awan itu. Dari air menjadi tanah, dan tanah yang sangat padat menjadi batu.
Di sini caranya mengupas masalah menunjukkan derajat berpikir yang lebbih tinggi. Tetapi dalam pahamnya tentang bentuk alam, ia masih tertinggal dari Anaximandros. Menurut pendapatnya dunia ini datar seperti meja bundar, dan di bawahnya ditopang oleh udara. Udara yang mengangkatnya itu tidak mempunyai ruang untuk bergerak dan menyebar, karena tetap kedudukannya. Dan oleh karena itu bumi ini tetap pada tempatnya.
Matahari, bulan dan bintang itu dilahirkan oleh bumi. Uap yang keluar dari bumi naik ke atas. Di atas ini jadi jarang , karena itu menjadi api. Api itu menyala menjadi matahari, bulan dan bintang. Tetapi diantara bintang-bintang itu ada juga yang seperti bumi (tanah). Bintang-bintang beredar, tetapi tidak mengelilingi bumi dari atas ke bawah kemudian ke atas lagi, melainkan berkeliling di atas bumi, seperti “topi yang berputar di atas kepala”. Hilanh timbulnya bintang itu disebabkan karena jauh dan dekat edarannya. Kalau ia tidak kelihatan, itu karena ia jauh dari kita, kembali pada tempat awal peredarannya.
Sekian tentang Anaximenes. Filosof yang terakhir dari golongan Miletos. Seperti yang diajarkan oleh Anaximenes itu, filosofi alam itu berkembang ke seluruh Yunanni dan perantauannya. Filosof-filosof yang muncul kemudian kurang lebih mengikuti pandangan alam orang Miletos itu.