Geger harga gabah akhir-akhir ini tidak lepas dari
globalisasi yang memihak dan keinginan primordial kapitalisme Barat untuk mengakumulasikan
the wealth of nations (kekayaan-kekayaan
bangsa-bangsa) di seantero dunia untuk kepentingan their nations (bangsa-bangsa
mereka). Skenarionya sederhana, mekanisme pasar bebas membuat mungkin bagi
korporasi-korporasi multi nasional untuk merekayasa harga gabah turun. Bila
harga gabah turun, petani Indonesia kalang kabut. Akhirnya terpaksa sebagian
dari mereka berbondong-bondong mencari profesi lain. Di sini, berbagai Multi
National Corporation yang membutuhkan tenaga kerja murah dapat melakukan
berbagai kegiatan manufakturnya di Indonesia dengan harga tenaga kerja yang
teramat murah. Karena mereka telah memiliki supply calon tenaga kerja yang
tidak mempunyai lagi pilihan dan bargaining position. Supply calon tenaga kerja
dalam jumlah besar, akan mengikuti hukum kompensasi ala David Ricardo, para
tenaga kerja mau tidak mau rela menerima upah yang di bawah KHM (Kebutuhan
Hidup Minimal), hidup segan mati tak mau...
Apakah kita saat ini telah benar-benar merdeka? Dan
apakah para penjajah dari Barat yang telah malang melintang menyedot seluruh
kekayaan dunia dalam lima abad terakhir ini benar-benar kini telah sadar dan
benar-benar secara hakiki menjadi orang yang paling beradab, bahkan menjadi
pembela paling gigih dari Hak Azasi Manusia ? Benarkah mereka ingin
memperjuangkan liberty, equality dan egality dalam arti yang sesungguhnya?
Pertanyaan pertama dapat dijawab dengan mudah, secara de
jure kita telah lima puluh lima tahun
merdeka. Namun secara de facto, jelas
kita belum merdeka untuk menentukan nasib kita sendiri. Apabila di Jepang untuk proteksi petani dapat dibuat
aturan pajak impor 400 % dari harga,
kenapa untuk memperoleh pajak impor 30 % dari
harga gula saja kita mesti mengemis-ngemis dulu ke pihak asing? Bagaimana
pula dengan proteksi harga gabah, untuk kelangsungan kehidupan para
petani kita?
Kini ide globalisme dengan proposisi utama globalisasi
meniscayakan ketidakmungkinan kita untuk
menolak keterkaitan global, nilai-nilai
global dan kepentingan global telah menjadi suatu hegemoni. Sebuah hegemoni, menurut Antonio Gramsci, membuat
pihak-pihak yang sebenarnya terjajah malahan mengakui superioritas yang
menjajah, dan secara sukarela membiarkan
diri mereka dijajah. Selain itu, malahan hegemoni membuat pihak yang terjajah mati-matian
mempertahankan kepentingan para penjajah.
Ada empat serangkai yang menciptakan hegemoni kapitalisme
global. Pertama,
korporasi-korporasi raksasa dunia yang kapitalis, paling tidak demikianlah menurut David C.Korten,
dalam “When Corporations Rule The World”. Dalam simbolisme agama, ini
disimbolkan oleh Qarun. Kedua,
para penguasa dunia, dalam hal ini adalah
Amerika Serikat dan beberapa
negara Eropa yang terkait. Dalam simbolisme agama, ini disimbolkan oleh Firaun.
Ketiga, para teknokrat, yakni yang telah merancang berbagai sistem
globalisme untuk dan demi kepentingan Barat. Sistem ini mengandung PBB dengan
Dewan Keamanannya, yang sering bertindak
sangat tidak adil. Bandingkan misalnya masalah Kashmir yang sudah lima puluh
tahun dengan referendum Timor Timur yang
baru lalu. Sistem ini juga mengandung World Bank, IMF, jaringan bank-bank besar di Barat. Uang-uang yang
dikumpulkan melewati para penindas di
seluruh negara dunia ketiga melewati Bank Swiss misalnya, akan dipinjamkan lagi
menjadi utang-utang yang mengikat dan akhirnya merampas kemerdekaan
bangsa-bangsa dunia ketiga. Demikian juga uang-uang yang dikumpulkan melalui
berbagi perusahaan asuransi tingkat dunia.
Agama (khususnya Islam) telah memperingatkan; haramnya
riba. Demikianlah Tuhan Yang Maha Kasih
sebenarnya melindungi ummat dan masyarakat dari penjajahan dan perbudakan dan
ketergantungan, yang merupakan sifat hakiki dan akibat langsung dari riba. Hak
Kreatifitas Intelektual, - suatu hukum global baru yang sampai diperjuangkan mati-matian
oleh Bill Clinton dalam konferensi APEC di Bogor 1994- telah berubah menjadi
alat teknokrat globalisme yang kurang masuk di akal. Tempe telah dipatenkan di
Amerika, sehingga bila kita akan mengekspor tempe ke Amerika kita mesti ijin
kepada yang memiliki patennya dan membayar hak ciptanya. Demikian pula batik
Pekalongan dan karya-karya seni yang
demikian hebat dari Bali, - si Pulau Dewata yang memiliki kekayaan antropologis
tak terhingga. Para teknokrat ini, dalam
simbolisme agama, adalah Haman sang teknokrat.
Kelengkapan (keempat) dari empat serangkai yang
menegakkan hegemoni kapitalisme global
adalah para intelektual. Dalam simbolisme agama ini adalah Bal’am, yang merupakan figur ulama yang
memihak para penindas. Dikembangkan
secara besar-besaran wacana-wacana yang memandang dunia dan
masyarakat yang penuh kebinekaan ini
dengan kacamata tunggal. Yakni globalisasi.
Toffler, Naisbitt, Ohmae, dan banyak pemikir lain. Globalisasi, dalam arti lenyapnya batas-batas antar
negara, dianggap sebagai keniscayaan
alamiah yang tidak pernah mungkin dapat ditolak lagi. Sebagaimana air jatuh ke bumi karena ditarik
gravitasi bumi, teknologi modern, -
khususnya -, teknologi informasi dan komunikasi menjebol batas-batas antar negara. Tidak ada lagi kendali
pemerintah atas segala hal di
masyarakatnya. Para pemikir dan intelektual mengeluarkan serangkaian teori-teori dan pandangan yang
seolah-olah tidak memiliki alternatif lain.
Teori pertama, bahwa ekonomi global akan dan pasti akan
mengatasi seluruh halangannya, baik
halangan politis, geografis dan lain-lain.
Tidak mungkin sama sekali untuk memiliki ‘keragaman ekonomi’, dan berani ‘berbeda’ dengan ‘ekonomi global’.
Amerika Serikat dan para pendukungnya, -
melalui WTO-, menekan seluruh negara untuk melakukan liberalisasi ekonomi. Dan mereka merasa
berhak untuk marah besar kepada Mahathir
Mohammad yang menolak menandatangani kebebasan berinvestasi 100 % bagi para investor asing. Salah satu
ungkapan yang menjadi dalil bagi orang
para pendukung wacana ini adalah seperti runtuhnya tembok Berlin menunjukkan, kekuatan politik
apa pun akan tunduk pada kepentingan
ekonomi (global).
Teori kedua, bahwa satu-satunya sistem yang cocok bagi
seluruh ummat manusia di dunia adalah
sistem pasar bebas . Pasar bebas harus
direalisasikan di seluruh negara. Dipercaya bahwa bila pasar bebas ini terjadi akan ada ‘tangan-tangan gaib’
(invisible hands) yang membuat mekanisme
pasar memberikan yang terbaik untuk masyarakat
manusia di dunia. Setidaknya demikianlah konsep pasar bebas
kapitalis yang diilhami oleh ‘The Wealth
of Nation’ dari Adam Smith.
Teori ketiga, teori-teori desentralisasi,
deinstitusionalisasi, dan berbagai dugaan-dugaan managerial yang diangkan
menjadi satu trend niscaya yang mesti
diikuti. Otonomi perguruan tinggi misalnya,
adalah satu dari agenda desentralisasi ini. Dan apakah otonomi
perguruan tinggi , yang juga merupakan
permintaan langsung pihak ‘global’ pada
Indonesia, tidak malah akan mengorbankan ‘modal intelektual’ perguruan-perguruan tinggi Indonesia di altar
ketergantungan pada pihak-pihak asing
yang tentu siap memberikan ‘dana-bersyarat’ pada mereka?
Keempat serangkai ini, korporasi-korporasi raksasa dunia,
para penguasa dunia (bangsa adidaya),
sistem -sistem perekayasa dunia (mulai
dari Bank-Bank kelas dunia hingga Hak Kreatifitas Intelektual) maupun para intelektual, telah berhasil
mendirikan hegemoni global kapitalisme
dunia. Hegemoni memiliki pengaruh yang kuat sehingga, kita bisa melihat berbagai dampaknya dalam
fraktal-fraktal kasus-kasus di bawah ini;
Hegemoni budaya,
dengan segala seginya (TV, media massa dll) dapat dilihat dengan hancurnya budaya-budaya lokal
secara amat cepat. Generasi muda kita jauh lebih mengenal Michael Learns To
Rock dan Backstreet Boys ketimbang
tembang Ilir-Ilir, lagu - lagu kawih Sunda,
dan berbagai kebudayaan - kebudayaan daerah kita yang memiliki
nilai seni amat tinggi. Kaum Muslim
Melayu kini lebih akrab dengan tulisan
latin dan bahasa Inggris, ketimbang huruf Arab-Melayu (pego) dan bahasa Arab. Gerald Celente, pendiri Trends
Research Institute, dalam bukunya
‘Trends 2000’ menjelaskan bahwa bahasa Inggris mencapai daya jangkau yang tidak pernah dicapai oleh
bahasa apa pun di dunia, dan kenyataan
ini memberikan suatu kekuatan budaya yang tidak ternilai bagi bangsa
Amerika.
Hegemoni ras barat terhadap kulit berwarna, yang dapat
dilihat dari banyaknya kasus perbedaan
gaji yang luar biasa antara kulit putih
maupun orang asing dengan orang Indonesia asli. Kasus PAM Jaya yang cukup merebak dengan gaji orang-orang asing
di sana mencapai angka hampir duaratus
juta rupiah sebulan, dan gaji karyawan pribumi Indonesia hanya seperdelapanpuluhnya atau bahkan
seperduaratusnya menunjukkan suatu hal;
dalam hegemoni ras Barat, persamaan memiliki arti ‘perbedaan
gaji sampai skala ratusan untuk pekerjaan yang nilai keahliannya hampir sama harus dapat diterima, bila orang Barat
lah yang memperoleh gaji ratusan kali
orang pribumi Indonesia’.
Dalam upaya pemerintah saat ini untuk mengamankan ekonomi nasional, ada kesan pemerintah lebih
fasih untuk melayani kepentingan
‘Hegemoni ekonomi global’ yang merepresentasikan orang-orang asing ketimbang
kepentingan rakyatnya. Kekuatan ekonomi asing
ikut campur menentukan kenaikan
harga listrik dan BBM. Mereka pun ikut
campur dalam proteksi petani, padahal bangsa kita yang kebanyakan adalah petani. Tidak bisakah kita mandiri?
Dalam memahami diri kita sendiri?
Kekuatan ekonomi kita? Kekuatan sosial budaya kita? Tidakkah kita mesti mencontoh Malaysia dalam hal
bagaimana ia dapat mempertahankan
dirinya dalam krisis global 1997, yang amat mungkin merupakan
strategi kekuatan kapitalisme global
(salah satunya Soros) untuk menguasai
seluruh ‘resources’ di seantero dunia?
Untuk memahami hegemoni ekonomi global ini, beberapa hal
berikut dapat direnungi. Apa yang telah
dilakukan oleh orang-orang Barat selama tiga ratus tahun terakhir ini pada orang-orang Afrika?
Selama perioda 350 tahun populasi Afrika tetap tidak berkembang dalam jumlah,
sedangkan populasi dunia meningkat empat
hingga lima kali. Masih terekam dalam kenangan
kita, kapal-kapal yang mungkin lebih layak untuk mengangkut binatang yang mengangkut mereka untuk diperbudak di
Amerika, 15-20 % diantaranya mati di tengah jalan. Di tambang-tambang mereka
mesti bekerja amat keras , 12 hingga 16
jam sehari, sedangkan yang selain mereka hanya
8 jam sehari. Gerakan anti perbudakan, - mungkin adalah salah satu jasa Abraham Lincoln-, tapi mengapa gerakan
ini berhasil? Ketulusan orang-orang Barat untuk mendukung gerakan anti
perbudakan hingga sekarang tidak ada
lagi? perbudakan kurang dapat diterima, karena
momen Revolusi Industri membuat perbudakan tidak lagi efisien.
Apakah perbudakan dihapuskan karena
nilai-nilai manusiawi, ataukah demi efisiensi, merupakan suatu hal yang masih
dapat diteliti lebih lanjut dalam
sejarah. Kenyataan seorang petenis besar Barat memperoleh berbagai masalah
karena beristrikan seorang kulit hitam, masih dapat kita lihat dalam kenyataan kontemporer masa
kini.
Dalam perang dunia kedua, Perancis menggunakan 200.000
tentara Afrika yang berperang di pihak
Perancis. Sedangkan orang-orang Eropa itu sendiri jarang pergi ke front-front
peperangan. Kemakmuran apa yang ditinggalkan
oleh orang Eropa dan Amerika dalam era pasca-perbudakan di Afrika? Data-data (tahun 80-an) menunjukkan,
rata-rata penghasilan per kapita di
negara ‘maju’ (seperti Amerika) rata-rata US
$ 4,000, sedangkan di Afrika US $
140. Kongo misalnya, US$ 52 , bahkan
Chad lebih kecil dari itu. Dalam hal konsumsi: konsumsi besi dan
baja per orang di Amerika adalah 700 kg,
sedangkan di Ethiopia, -sebuah negara yang sudah lama berperadaban-, besi dan
baja hanya 2 kg per orang. Sepeninggal
orang-orang Eropa dan Amerika, Afrika tak lebih
adalah dataran tandus yang dipenuhi berbagai wabah dan kelaparan.
Tembaga, berlian, emas, batu bara dan minyak Afrika pergi ke Eropa. Produk-produk industri Afrika yang baik
dijual di pasar-pasar Eropa. Sesungguhnya kegemerlapan peradaban Amerika dan
Eropa berdiri di atas darah orang-orang Afrika (juga Asia dan Amerika Latin).
Apa yang kini
terjadi dalam kasus Freeport, telah 1000 trilyun rupiah lebih nilai barang
tambang kita, - tanpa ‘sepeser’pun dinikmati oleh saudara kita di Irian-, telah
diangkut untuk membangun peradaban
Barat. Apa yang terjadi di perusahaan, seperti sepatu Nike: tenaga kerja dibayar amat murah untuk produksi
sepatu Nike, tapi dengan aturan aneh,
pabrik tidak boleh menjual langsung di pasaran nasional. Semua harus dijual
dengan harga kira-kira US $ 10 ke korporasi global Nike. Dan korporasi itu akan
menjualnya ke seluruh dunia dengan harga
yang berlipat-lipat (mungkin lebih dari sepuluh kali lipat hingga dua puluh kali lipat). Berapapun
keuntungan PT Nike, - juga Michael
Jordan yang memperoleh ratusan milyar bahkan trilyunan untuk mempromosikannya-,
para buruh Indonesia di JABOTABEK hanya sekedar mempertahankan kulitnya
menempel di tulang, - menerima gaji yang
kurang lebih tak lebih sekedar UMR yang sangat mungkin memiliki nilai di bawah Kebutuhan Hidup Minimal. Kini
Barat telah memperluas Afrika lama
mereka menjadi Afrika, Asia dan Amerika Latin, dan karena Afrika tinggallah menjadi seonggok bangsa
yang berebutan hidup di tanah tandus,
Asia menjadi pilihan yang paling empuk.
Bagaimana cara orang-orang Barat dan kekuatan hegemoni
global menguasai dan merampas kedaulatan
bangsa-bangsa Dunia Ketiga?
Negara-negara besar seperti Cina,
India, Indonesia, Afrika Barat, Mesir jatuh
ke dalam jebakan ekonomi mereka. Statistik pada tahun 80- an
menunjukkan utang negara-negara dunia
ketiga pada mereka menjapai US $ 700 milyar (kira-kira Rp 5.000 trilyun).
Amerika Latin saja mencapai US $ 350
milyar. Dengan bunga 10 atau 5 % saja, berapakah mereka mesti membayar ‘bunga’ hutang sebesar itu ? Sebuah
negara seperti Brasil yang memiliki
utang lebih dari US $ 80 milyar, mesti membayar US $ 8 milyar sebagai bunga per tahun bila
bunganya 10 %. Maka kapan negara itu
akan bisa berdiri di atas kakinya sendiri ?
Pada tahun 1863
Tunisia meminjam 5,5 juta Franc dari perancis. Untuk sebuah kapal perang lama, kapal-kapal dan gaji
staf-stafnya Perancis men-charge 3,5
juta Franc. Kapal ini ternyata tidak pernah digunakan, apalagi memberikan manfaat pada rakyat Tunis. Telah
dicatat bahwa dalam tujuh tahun, hingga
tahun 1870, utang Tunisia mencapai 350 juta
Franc. Hasilnya? Tunisia tidak mampu membayar hutang itu. Sebagai konsekuensinya, Itali, Perancis dan Inggris
membuat komisi bersama, dan setelah itu mereka ikut campur dalam menangani
ekonomi Tunisia sebagai ‘Tunisia’s
economic guardian’.
Bagaimana dengan Maroko, dengan 67 million Frank mereka
melakukan hal yang sama kepada Maroko.
Dicatat pula dalam sejarah, utang Mesir pada saat itu (1863-1876) berlipat tiga puluh kali. Orang-orang Barat
menawarkan proyek-proyek mega yang berteknologi tinggi, - yang sering kali
tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat
dunia ketiga. Kemudian mereka menawarkan pinjaman. Dengan sistem riba yang
merupakan sifat esensial dari pinjaman ini,
mereka menguasai dan mengontrol negara-negara dunia ketiga.
Sungguh, sekiranya orang-orang menolak
sistem bank dengan riba ini, - sebagaimana
perintah Tuhan dalam Islam-, mereka tidak akan terjebak dalam
jebakan ekonomi Barat ini. Bagaimana
Soros mulai menanamkan kapitalnya di
Astra dan mungkin akan segera diikuti oleh berbagai perusahaan lain di Indonesia, - hal seperti inilah yang
diinginkan oleh Barat. Yakni
mengendalikan berbagai sumber kekayaan di seantero dunia, untuk kejayaan ras
kulit putih dan lebih spesifik lagi korporasi-korporasi mereka. Semangat dan spiritnya nampak persis
dengan semangat kolonialisma. Namun kini
jauh lebih lembut, tidak kentara dan jauh lebih kejam. Hegemoni global yang telah dibangun ,
setidaknya saat ini, berhasil dengan gemilang.
Mungkin kita dapat belajar dari kehidupan serangga, -
sebagaimana dalam AntZ dan A bug?s life.
Ada sejenis serangga yang besarnya di
antara lalat dan lebah. Serangga ini pada saat bertelur mematuk sejenis ulat, sehingga ulat tersebut pingsan.
Ulat tersebut dibuat tidak mati, namun
hiduppun tidak. Ketika telur-telur ini menetas,
anak-anak serangga itu ramai-ramai memakan ulat yang sedang pingsan tersebut, tanpa merasa dosa sedikitpun,
karena mereka tidak mengetahui (tidak melihat sendiri) saat ulat tersebut
dipatuk. Ketika anak-anak serangga itu
sudah besar dan mau bertelur, mereka mengulangi siklus yang sama. Benarkah
bahwa kapitalisme global itu adalah sang serangga; dan benarkah bahwa kita
semua di dunia ketiga adalah ulat yang
dipatuk,- yang dibuat hidup segan mati tak mau- yakni dipertahankan
sebagai mediocre.
Kapitalisme global
tidak ingin membunuh Indonesia, karena
mereka membutuhkan Indonesia , sebagai sumber berbagai resource dan kemakmuran (baik tambang dan hal-hal alamiah maupun
tenaga kerja murah) dan juga sebagai
pasar yang luar biasa yang bisa membeli
barang-barang produk mereka. Namun para kapitalis global juga tidak pernah akan merelakan Indonesia - dan negara
dunia ketiga- menjadi semakin kuat dan
menyaingi mereka: krisis Asia yang terjadi secara amat mendadak dan terasa tidak alamiah
mungkin adalah rancangan dari para
kapitalis global ini. Tengok pula kasus
Jepang yang ditekan oleh Amerika hanya
karena ia melakukan proteksi terhadap ekonomi
nasionalnya yang menguat terus.
Semoga para wakil rakyat (MPR) yang sedang melakukan
amandemen, dapat memikirkan secara lebih bijak perlunya membuat
pasal-pasal UUD baru yang lebih
terperinci, yang lebih memperhatikan wacana-wacana globalisme dan globalisasi
secara lebih luas dan tidak terjebak pada rancangan-rancangan kekuatan
ketamakan global. Proteksi pada
pertanian yang membuat kita mandiri dan tidak tergantung sama
sekali ke pihak asing dalam hal makanan
merupakan hal yang selayaknya dituangkan
dalam UUD. Proteksi pada kepentingan-kepentingan nasional lain: membuat pasal-pasal yang menjadi fundamen
kokoh bagi ekonomi nasional yang memihak
pada yang lemah dan tidak membeo pada ideologi hegemoni pasar bebas juga selayaknya dipertimbangkan.
Keberpihakan pada yang lemah yang merupakan spirit
masyarakat beragama di Indonesia perlu
diwujudkan dalam pasal-pasal yang nyata dan jelas dan tidak ambigu: % yang jelas bagi anggaran Pendidikan,
kesanggupan pemerintah untuk menjamin
biaya pendidikan masyarakat sampai tingkat tertentu, proteksi pada sumber-sumber daya alam dengan prioritas
pada penduduk setempat, proteksi pada
inisiatif-inisiatif pemberdayaan masyarakat yang benar-benar berdasar pada kepentingan masyarakat, bukan
pada kepentingan asing. MPR juga perlu memikirkan secara serius pendistribusian
wewenang, sehingga semua hal tidak
tertumpu hanya pada presiden. Kompleksitas permasalahan untuk menghadapi
kapitalisme global membuat terlalu
riskan menumpukannya hanya pada presiden.
Tidak ada salahnya misalnya, media massa seperti TV, Radio dan Koran
langsung ada di bawah kendali MPR.
Apakah kita akan terus menjadi ‘budak-budak’ sebagaimana budak-budak Afrika
dahulu, ataukah merdeka dan dapat hidup layak sebagai bangsa yang merdeka, tergantung pada mereka,- para
wakil yang menerima amanat dari rakyat.
Bila para wakil rakyat dan pemerintah kembali
kepada taqwa, menegakkan sistem yang Adil dan berpihak pada para dhu`afa dengan niat lillahi ta’ala, dan
kembali pada jati diri masyarakat kita
sendiri dalam menentukan berbagai kebijakan, seraya membebaskan diri dari berhala globalisme , insya Allah,
Tuhan akan menolong bangsa kita dan
membimbingnya menuju masyarakat yang adil dan menyempurna. Dalam keadaan yang demikian rumit ini, tidak
ada harapan dan daya lain bagi bangsa
kita kecuali kembali kepada Allah, seraya memohon pertolongan dan petunjuk Nya. Niscaya, akan
kita temui bahwa Allah -lah sebaik-baik penolong.