Diterjemahkan
dari buku MH Abrams, A GLOSSARY OF LITERARY TERMS, 5th Edition, 1988, Holt,
Rinehart and Winston, Inc, New York.
Dekonstruksi
adalah istilah yang dipakai untuk sebuah teori pembacaan (a theory of reading)
yang bertujuan untuk melakukan “subversi” atau “penghancuran” atas klaim
implisit bahwa sebuah teks memiliki landasan yang cukup, dalam sistem bahasa
yang dipakainya, untuk menetapkan batas-batasnya sendiri, koherensi atau
kesatuannya, dan makna tetap tak berubah dari unsur-unsur verbalnya. Menurut
teori ini, tidak ada teks yang mampu merepresentasikan secara tetap, apalagi
menunjukkan, “kebenaran” dari subjek apapun.
Dekonstruksi,
bersama dengan teori neo-Freudian Jacques Lacan dan kritik sastra Roland
Barthes setelah sekitar tahun 1973, sering disebut sebagai poststrukturalis
karena menggunakan konsep-konsep linguistik Saussurean dan aspek-aspek lain
dari strukturalisme dalam sebuah cara yang justru menghancurkan landasan sistem
linguistik Ferdinand de Saussure dan strukturalisme itu sendiri, dan
menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa makna teks apapun tetap “terbuka” secara
radikal bagi pembacaan-pembacaan yang kontradiktif.
Pencipta dan
pemberi nama dekonstruksi adalah pemikir Perancis Jacques Derrida, yang
pendahulu-pendahulu utamanya adalah Friedrich Nietzsche (1844-1900) dan Martin
Heidegger (1889-1976) – filsuf-filsuf Jerman yang melakukan pertanyaan radikal
atas validitas dari konsep-konsep kunci filsafat seperti “pengetahuan”,
“kebenaran”, dan “identitas” – dan juga Sigmund Freud (1856-1939) dengan
psikoanalisisnya yang menghancurkan konsep-konsep tradisional tentang
“kesadaran” yang koheren dan kesatuan dari “diri”. Derrida menyajikan
pandangan-pandangan dasarnya dalam tiga buku, semuanya terbitan tahun 1967, yaitu
OF GRAMMATOLOGY, WRITING AND DIFFERENCE, dan SPEECH AND PHENOMENA; setelah itu
Derrida mengulang, meluaskan dan menerapkan pandangan-pandangannya itu dalam
banyak publikasi beruntun.
Tulisan-tulisan
Derrida kompleks dan tidak mudah untuk dimengerti; ringkasannya di sini hanya
menunjukkan indikasi dari beberapa kecendrungan-kecendrungan utamanya. Posisi
Derrida, seperti yang dinyatakannya dalam OF GRAMMATOLOGY, adalah apa yang
disebutnya “proposisi axial bahwa tidak ada apa-apa di luar teks” (“il n’y a
rien hors du texte”, atau alternatif lainnya, “il n’y a pas de hors-texte”).
Seperti semua istilah dan pernyataan kunci Derrida, pernyataannya di atas
memiliki banyak arti; tapi arti utamanya adalah seseorang tidak dapat melampaui
urutan tanda-tanda verbal (the sequence of verbal signs) untuk mencapai sesuatu
di luar, dan independen dari, sistem bahasa yang membentuk sebuah teks –
misalnya, referentnya, atau maksud dari pembicara atau penulis sebagai arti
yang menentukan. Apa yang selalu dinyatakan Derrida adalah bahwa tidak hanya
semua filsafat atau teori bahasa Barat tapi semua pemakaian bahasa Barat –
makanya, semua kebudayaan Barat – merupakan “logocentric” (yakni, didasarkan
pada sebuah “logos”, atau dalam sebuah frase yang dipinjamnya dari Heidegger, “metafisika
keberadaan” (the metaphysics of presence)), dan semuanya logocentric karena
sebagian besar “phonocentric” (yakni, secara implisit ataupun eksplisit,
“prioritas” atau “hak istimewa” logis diberikan pada ujaran daripada tulisan,
sebagai model untuk menganalisis semua wacana). Dengan logos atau “keberadaan”
Derrida maksudkan sebagai apa yang dia juga sebut sebagai sebuah “referent
utama” – sebuah absolut, atau dasar, atau fondasi yang
menjelaskan-dirinya-sendiri (self-certifying) yang secara langsung hadir dalam
kesadaran kita di luar permainan bahasa (play of language) itu sendiri, yang
cukup untuk “memusatkan” (yakni menetapkan dan mengatur) sistem linguistik dan
menentukan arti tetap dari gagasan yang diucapkan atau dituliskan dalam sistem
tersebut. Contoh-contoh historis dari pernyataan tentang suatu dasar yang
absolut adalah Tuhan sebagai penjamin validitas bahasa, atau suatu Bentuk
Platonic (Platonic Form) dari referensi sebenarnya dari sebuah “term” yang
hanya bisa ditangkap oleh visi mental seseorang, atau sebuah maksud (intention)
yang menandakan sesuatu yang tetap yang langsung diketahui oleh seseorang yang
membuat ujaran (utterance). Derrida ingin menunjukkan bahwa semua usaha
filsafat untuk membuktikan adanya suatu dasar yang absolut, dan semua
ketergantungan tersirat pada dasar seperti itu dalam pemakaian bahasa, adalah
isapan jempol belaka; Derrida secara khusus mengarahkan argumen-argumen
skeptisnya melawan asumsi phonocentric – yang dianggapnya penting dalam
teori-teori bahasa modern – bahwa pada saat berbicara, “maksud” dari si
pembicara, yang menentukan arti dari apa yang dikatakan, secara langsung dan
lengkap ada dalam kesadaran si pembicara tersebut, dan bisa
dikomunikasikan kepada seorang pendengar.
dikomunikasikan kepada seorang pendengar.
Derrida
mengambil konsep alternatifnya tentang permainan arti-arti linguistik yang
secara radikal “tak bisa ditetapkan” terutama dari pandangan Saussure bahwa
dalam sistem-tanda linguistik, baik “signifier” (unsur material dari bahasa,
diucapkan ataupun dituliskan) maupun “signified” (makna konseptualnya)
kelihatan seolah-olah sama, bukan karena unsur “positif” atau sifat-khasnya,
tapi karena “perbedaan” (differences)-nya dari bunyi-ujaran, tanda tertulis,
atau signifikasi konseptual lainnya. Dari perspektif ini Derrida mengembangkan
pandangan radikalnya sendiri bahwa unsur-unsur yang akan secara ketat
menetapkan sebuah arti “signified” – karena signifikasi ini tak lebih daripada
sebuah jaringan perbedaan (differences) dari arti-arti “signified” lainnya –
tidak pernah “ada” pada kita dengan indentitas mereka sendiri. Di sisi lain,
unsur-unsur identitas ini pun tidak bisa dikatakan benar-benar “absen”;
sebaliknya, dalam ujaran (utterance) lisan atau tertulis apapun, signifikasi
yang seolah-olah ada hanyalah merupakan hasil dari sebuah “penghapusan-sendiri”
(self-effacing) “trace” (jejak) – dikatakan penghapusan-sendiri karena kita
tidak menyadarinya – yang terdiri dari semua arti yang tidak-ada yang
perbedaan-perbedaannya dari contoh dimaksud merupakan faktor satu-satunya yang
menanamkan dalam ujaran itu “efek” memiliki sebuah arti dalam dirinya.
Konsekuensinya,
menurut Derrida, adalah bahwa kita tidak akan bisa memiliki sebuah arti yang
tetap, atau dapat diputuskan; namun Derrida juga menyatakan bahwa permainan
bahasa yang berbeda akan menghasilkan “efek-efek” ilusi arti tetap.
Dengan caranya
yang khas Derrida menciptakan istilah portmanteau “differance”, dimana katanya
dia menggunakan ejaan “-ance” sebagai pengganti “-ence” pada kata benda
tersebut untuk menunjukkan sebuah gabungan dari dua arti dari kata kerja
Perancis “differer”: membedakan, dan menunda. Maksud dari arti ganda ini adalah
bahwa di satu sisi memang ada sebuah “efek” arti dalam sebuah ujaran yang
terjadi karena perbedaannya dari arti-arti lainnya, tapi di sisi lain, karena arti
ini tidak akan bisa hadir dalam sebuah keberadaan yang sebenarnya, atau
“transcendental signified”, spesifikasi tetap-nya ditunda dari satu
interpretasi linguistik substitusi ke interpretasi linguistik substitusi
lainnya, dalam sebuah gerakan, atau “permainan”, tanpa henti. Arti dari ujaran
lisan atau tertulis apapun, seperti yang dinyatakan Derrida dalam satu lagi
istilah ciptaannya, di”disseminasi”kan – sebuah istilah yang artinya termasuk,
di antara signifikasi-signifikasinya yang disengaja kontradiksi, memiliki
sebuah efek arti (sebuah efek “semantik”), menyebarkan arti di antara sejumlah
alternatif, dan penyangkalan atas arti tertentu apapun. Karenanya tidak ada
dasar, dalam permainan “differance” tanpa henti yang membentuk bahasa, untuk
mengatribusikan sebuah arti yang bisa ditentukan, atau bahkan seperangkat
multi-arti tetap (yang disebutnya sebagai “polysemism”), pada ujaran lisan atau
tulisan apapun. Seperti yang dinyatakan Derrida dalam bukunya WRITING AND
DIFFERENCE, hal. 280: “Tidak adanya sebuah signified transendental meluaskan
tempat dan permainan signifikasi secara tak terbatas.”
Dua lagi dari
cara kerja skeptis Derrida telah jadi sangat penting bagi kritik sastra
dekonstruksi. Pertama adalah usahanya untuk menunjukkan bahwa kita tak dapat menetapkan
sebuah batas atau margin tetap atas sebuah karya tekstual dengan maksud untuk
membedakan apa yang “di dalam” dengan apa yang “di luar” karya tersebut. Kedua
adalah analisisnya atas ketidaklogisan inheren, atau retorika – ketergantungan
yang tak dapat dihindarkan pada “rhetorical figures” dan “figurative language”
– dalam semua pemakaian bahasa, termasuk dalam argumen-argumen yang dibuat
logis dalam filsafat. Derrida, misalnya, menekankan peranan yang tak bisa
ditolak dalam semua jenis wacana (all modes of discourse) dari metafor yang
dianggap hanya sebagai pengganti belaka bagi arti “literal” (sebenarnya) atau
yang “pantas”; tapi dia juga berusaha untuk menunjukkan bahwa metafor tidak
bisa direduksi menjadi arti sebenarnya, dan sebaliknya apa yang dianggap
sebagai istilah sebenarnya adalah metafor yang sifat kemetaforannya sudah
terlupakan.
Prosedur
khas Derrida bukanlah menjelaskan secara terperinci konsep-konsep dan cara
kerja dekonstruktifnya dalam sebuah eksposisi yang sistematis, tapi dengan membiarkannya
untuk muncul sendiri dalam urutan contoh “close readings” (pembacaan seksama)
atas kutipan-kutipan dari tulisan-tulisan mulai dari Plato ke Rousseau sampai
zaman ini – tulisan-tulisan, yang dalam klasifikasi standar, kebanyakan tentang
filsafat, walau kadang-kadang ada juga tentang sastra. Dia menyebut prosedurnya
ini sebagai sebuah “double reading” (pembacaan ganda). Mula-mula dia
menginterpretasi sebuah teks sebagai, seperti dalam pembacaan umumnya,
“lisible” (bisa dibaca atau dimengerti), karena menimbulkan “efek” memiliki
arti tetap. Tapi pembacaan ini, kata Derrida, hanyalah “sementara”, sebagai
loncatan ke pembacaan kedua, atau “pembacaan kritis” dekonstruktif, yang
mendisseminasikan arti sementara itu ke dalam rangkaian signifikasi tak berhingga
yang, menurut Derrida, selalu melibatkan (dalam sebuah istilah yang diambil
dari retorika) sebuah “aporia” – sebuah jalan buntu, atau sebuah “ikatan
ganda”, antara arti-arti yang saling bertentangan yang “tak bisa diputuskan”,
yaitu kita tidak punya dasar kuat untuk memilih dari antaranya. Akibatnya
adalah tiap teks akan mendekonstruksi dirinya sendiri, dengan merusak dasarnya
yang dianggap ada dan menyebarkan dirinya dalam arti-arti yang tidak koheren,
dalam sebuah cara, menurut Derrida, yang bukan diciptakan oleh si pembaca
dekonstruktif, tapi hanya dieksposnya belaka. Lebih jauh Derrida sadar bahwa
dia tidak memiliki pilihan kecuali mengekspresikan dan berusaha
mengkomunikasikan pembacaan-pembacaan dekonstruktifnya sendiri dalam bahasa
logocentric yang ada, makanya teks-teks interpretasinya sendiri mendekonstruksi
dirinya sendiri saat melakukan dekonstruksi atas teks-teks tempat mereka
diaplikasikan. Tapi Derrida menekankan bahwa “dekonstruksi bukanlah destruksi”,
dan bahwa semua pemakaian bahasa yang standar akan tetap saja berlangsung
terus; apa yang dia lakukan, katanya, hanyalah “mensituasikan” atau “menulis
kembali” semua teks-teks itu dalam sebuah sistem differance yang menunjukkan
bahwa, walau teks-teks tersebut kelihatannya bisa dimengerti, itu terjadi
karena “efek-efek” yang terbukti tidak memiliki dasar yang cukup.
Derrida
tidak memaksudkan dekonstruksi sebagai sebuah mode kritik sastra, tapi sebagai
sebuah cara untuk membaca teks dalam semua pemakaian bahasa apapun. Namun
pandangan dan prosedurnya dimanfaatkan oleh kritikus sastra, khususnya di
Amerika, dengan mengadaptasikan mode “pembacaan kritis” Derrida yang terperinci
itu dengan semacam “pembacaan seksama” (close reading) atas teks-teks sastra
tertentu yang sebelumnya merupakan prosedur khas New Criticism (Kritik Baru);
tapi hal ini dilakukan, seperti yang dinyatakan Paul De Man, dalam sebuah cara
yang menunjukkan bahwa pembacaan seksama ala Kritik Baru “belumlah benar-benar
seksama”. Hasil akhir dari dua jenis pembacaan seksama ini benar-benar berbeda.
Eksplikasi teks
oleh Kritik Baru berusaha menunjukkan bahwa sebuah karya sastra besar, dalam
hubungan internal yang ketat dari arti-artinya yang figuratif dan kadang-kadang
paradoks, merupakan sebuah entitas mandiri, terbatas, dan benar-benar organik
dari berbagai arti yang tetap. Sebaliknya, sebuah pembacaan seksama
dekonstruksi berusaha menunjukkan bahwa, dalam analisis terakhir, sebuah teks
sastra ternyata tidak memiliki batas “total” yang membuatnya menjadi sebuah
entitas, apalagi sebuah kesatuan organik, dan tidak ada dasar yang cukup bagi
prosedur-prosedur linguistiknya sendiri, dan karenanya arti-artinya yang
kelihatan tetap itu ber-disseminasi menjadi aporia-aporia, atau
signifikasi-signifikasi yang saling berlawanan, yang tak terhingga. Para
kritikus dekonstruksi kadang-kadang mengklaim bahwa sebuah teks sastra lebih
tinggi, dan kurang “self-delusive”, dibanding teks non-sastra, karena teks
sastra menunjukkan, dalam referensi atas dirinya sendiri, bahwa dirinya lebih
sadar atas unsur-unsur yang dimiliki oleh semua teks: fiksionalitasnya, tidak
adanya sebuah dasar yang sebenarnya, dan terutama “retorika”-nya (prosedur
figuratif yang tak terelakkan) – unsur-unsur yang mendekonstruksi setiap
pengandaian adanya referensi, logikalitas, ataupun kemungkinan pembuktian,
hingga membuat sebuah “pembacaan yang benar” (right reading) atau “pembacaan
yang tepat” (correct reading) dari sebuah teks menjadi tidak mungkin.
Eksponen-eksponen
terkenal dari pembacaan seksama dekonstruksi di Amerika termasuk Paul de Man,
J. Hillis Miller, Joseph Riddell, Barbara Johnson dan Cynthia Chase. Pusat
perhatian mereka berbeda-beda dan prosedur serta tujuan individual mereka
beragam. Walau begitu, dengan memakai sebuah pernyataan dari J. Hillis Miller,
yang telah menerbitkan banyak pembacaan teks berbagai penyair dan novelis,
dapat ditunjukkan hasil radikal dari penerapan dalam analisis teks-teks sastra
prosedur Derrida dalam mendekonstruksi dasar-dasar metafisik pemikiran dan
tulisan Barat:
"Dekonstruksi
sebagai sebuah mode interpretasi bekerja dengan memasuki setiap labirin
tekstual dengan hati-hati…. Kritikus dekonstruksi berusaha menemukan, melalui
proses penyusuran kembali (retracing) ini, dalam sistem yang sedang dibahas itu
unsur yang tidak logis, benang dalam teks yang akan menguraikan semuanya, atau
batu yang goyah yang akan meruntuhkan keseluruhan bangunan. Lebih tepatnya,
dekonstruksi menghancurkan dasar dimana bangunan itu berdiri dengan menunjukkan
bahwa teks tersebut telah lebih dulu menghancurkan dasarnya sendiri, disadari
atau tidak. Dekonstruksi bukanlah sebuah pembongkaran struktur sebuah teks tapi
sebuah pembuktian bahwa teks tersebut telah lebih dulu membongkar dirinya
sendiri."
Miller
menyimpulkan bahwa setiap teks sastra, sebagai sebuah permainan tak henti dari
arti-arti “yang tak bisa dirujukkan” dan “kontradiksi”, atau aporia, “tidak
pasti” atau “tidak bisa diputuskan”; makanya “semua pembacaan adalah salah
baca”.
galeri esai: gelar karya
esai cybersastra
Dimuat hari Selasa, September
04, 2001