oleh
Kautsar Azhari Noer
Ketua Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Jakarta,
Pemimpin Redaksi Jurnal Pemikiran Islam Paramadina
Ketua Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Jakarta,
Pemimpin Redaksi Jurnal Pemikiran Islam Paramadina
PADA
suatu hari di penghujung 1970-an (saya tidak ingat lagi tahun berapa persisnya)
di Direktorat Urusan Agama Hindu dan Buddha, Departemen Agama Republik
Indonesia, yang pada waktu itu berlokasi di Jl. M.H. Thamrin, Jakarta, seorang
pegawai Direktorat itu yang menganut Buddhisme dan saya sempat berdiskusi
secara singkat sekitar konsep tentang Tuhan. Saya memulai diskusi itu dengan
mengkritik ketidakjelasan konsep Buddhis tentang Tuhan. Saya mengatakan
kepadanya bahwa konsep Buddhis tentang Tuhan tidak jelas. Buku-buku tentang
Buddhisme, pada umumnya, tidak memuat uraian dan pembahasan tentang Tuhan.
Siddharta Gautama tidak memberikan penjelasan dan doktrin tentang Tuhan.
Penolakan Gautama terhadap pembicaraan tentang Tuhan telah
"memiskinkan" Buddhisme dalam pembicaraan tentang Tuhan. Buddisme
tidak mempunyai konsep yang jelas tentang Tuhan.
Pegawai
yang cerdas itu berbalik mengkritik konsep Islam (atau orang-orang Muslim).
tentang Tuhan. Ia mengatakan bahwa orang-orang Muslim membuat suatu kesalahan
besar dalam memahami Tuhan. Kesalahan itu, menurutnya, terletak pada pemahaman
dan kepercayaan orang-orang Muslim bahwa Tuhan adalah "begini" dan
"begitu". Orang-orang Muslim mengatakan bahwa Tuhan mempunyai 20
sifat, atau mempunyai 99 nama. Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang,
Raja, Maha Suci, Pemberi bentuk, Pencipta, Maha Mengetahui, Maha Mendengar,
Maha Melihat, dan banyak lagi nama-nama atau sifat-sifat lain. Ini berarti
bahwa orang-orang Muslim membuat konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan.
Mereka mengungkapkan Tuhan yang tidak terbatas dengan kata-kata dan bahasa
manusia yang terbatas.
Pegawai
itu mengatakan bahwa Tuhan dalam konsep, ide, atau gagasan bukanlah Tuhan yang
sebenarnya karena Tuhan yang sebenarnya di luar konsep, ide, atau gagasan.
Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang diciptakan oleh manusia, bukan Tuhan yang
sebenarnya. Tuhan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata dan bahasa. Tuhan
adalah misteri yang tidak dapat diketahui, tidak dapat dipahami, dan tidak
dapat dipikirkan oleh akal manusia. Karena itu, Tuhan tidak dapat dikatakan
"begini" dan "begitu".
Mendengar kritiknya
itu, saya terdiam karena saya tidak dapat membantahnya. Waktu itu saya memang
masih menjadi mahasiswa S1 yang sedang merampungkan penulisan skripsi tentang
konsep monoteisme dalam agama-agama besar (Yudaisme, Kristen, Islam, Hinduisme,
dan Buddhisme), belum menjadi sarjana. Tetapi itu tidak boleh menjadi alasan.
Pokoknya, saya tidak berkutik terhadap "pukulan keras" itu. Saya
hanya dapat berharap agar saya dapat lebih banyak lagi mempelajari dan memahami
persoalan yang saya diskusikan dengan orang itu.
Tulisan yang
Anda baca ini ingin mendiskusikan kembali persoalan tersebut. Maka
pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan di sini adalah; Sejauh mana manusia
dapat mengetahui Tuhan yang transenden dan absolut itu? Bagaimana pengetahuan
manusia yang benar tentang Tuhan? Jika Tuhan tidak dapat dinamai, dibicarakan,
dan diungkapkan, bagaimana mungkin manusia dapat mengetahui dan berhubungan
dengan-Nya?
A. Tuhan yang Diciptakan
Ibn al-'Arabi
(560-638/1165-1240), salah seorang Sufi terbesar, mengkritik orang yang
memutlakkan, atau, jika boleh, "menuhankan", kepercayaannya kepada
Tuhan, yang menganggap kepercayaannya itu sebagai satu-satunya yang benar dan
menyalahkan kepercayaan orang lain. Orang seperti itu memandang bahwa Tuhan
yang dipercayainya itu adalah Tuhan yang sebenarnya, yang berbeda dengan Tuhan
yang dipercayai oleh orang lain yang dianggapnya salah. Ibn al-'Arabi menyebut
Tuhan yang dipercayai manusia
"Tuhan
kepercayaan" (ilah al-mu'taqad), "Tuhan yang dipercayai"
(al-ilah al-mu'taqad), "Tuhan dalam kepercayaan" (al-ilah fi
al-i'tiqad), "Tuhan kepercayaan" (al-haqq al-i'tiqadi), "Tuhan
yang dalam kepercayaan" (al-haqq al-ladzi fi al-mu'taqad), dan "Tuhan
yang diciptakan dalam kepercayaan" (al-haqq al-makhluq fi al-i'tiqad).
Kata i'tiqad
data mu'taqad, yang dalam tulisan ini diterjemahkan dengan
"kepercayaan", berasal dari akar '-q-d, yang berarti merajut,
membuhul, mengikat; mengikatkan dengan sebuah buhul; memasang, mengumpulkan,
menggabungkan, mengunci; mengecilkan, menyempitkan, mengerutkan; mengarahkan,
memusatkan; melengkungkan, melekukkan; bertemu, berkumpul; mengadakan
pertemuan, mengadakan rapat, mengumpulkan; membuat perjanjian, mengikat
kontrak. Kata i'tiqad sendiri, secara literal (harfiah) atau figuratif
(majazi), berarti menjadi terikat atau tersusun dengan kuat. Maka i'tiqad,
"kepercayaan", adalah suatu "ikatan" yang diikat dengan
kuat dalam kalbu atau pikiran, sebuah keyakinan bahwa sesuatu adalah benar.
Bagi Ibn al-'Arabi, "kepercayaan" adalah sebuah (peng)ikatan
(binding) dan (pem)batasan (delimitation) Wujud Yang Tak Terbatas, Wujud
Absolut (al-wujud al-muthlaq), yang dilakukan oleh dan berlangsung dalam subyek
manusiawi.
Kepercayaan
seorang hamba kepada Tuhannya ditentukan dan diwarnai oleh kapasitas
pengetahuan sang hamba. Kapasitas pengetahuan itu tergantung kepada
"kesiapan partikular" (al-isti'dad al-juz'i) masing-masing individu
hamba sebagai bentuk penampakan "kesiapan universal" (al-isti'dad
al-kulli) atau "kesiapan azali" (al-isti'dad al-azali) yang telah ada
sejak azali dalam "entitas-entitas permanen" (al-a'yan al-tsabitah),
yang merupakan bentuk penampakan diri (tajalli) al-Haqq (yaitu Tuhan). Tuhan
menampakkan diri-Nya kepada hamba-Nya sesuai dengan kesiapan sang hamba untuk
mencapai pengetahuan tentang Tuhan yang akhirnya "diikat" atau
"dibatasi" oleh dan dalam kepercayaannya sesuai dengan pengetahuan
yang dicapainya. Dengan demikian, Tuhan yang diketahui oleh sang hamba adalah
identik dengan Tuhan dalam kepercayaannya. Dapat pula dikatakan bahwa Tuhan
yang diketahuinya adalah identik dengan kepercayaannya.
Tuhan memberikan
kesiapan (al-isti'dad), sesuai dengan firman-Nya, "Dia memberi segala
sesuatu ciptaannya" [Q. s.Thaha/20:50]. Maka Dia mengangkat hijab antara
Dia dan hamba-Nya. Sang hamba melihat-Nya dalam bentuk kepercayaannya; jadi
Tuhan adalah identik dengan kepercayaannya sendiri. Baik kalbu maupun mata
tidak pernah melihat sesuatu kecuali bentuk kepercayaannya tentang Tuhan. Tuhan
yang ada dalam kepercayaan itu adalah Tuhan yang bentuk-Nya diliputi oleh
kalbu; itulah Tuhan yang menampakkan diri-Nya kepada kalbu sehingga Dia
dikenal. Maka mata tidak melihat selain Tuhan kepercayaan.163
"Tuhan
kepercayaan" adalah gambar atau bentuk Tuhan, atau pemikiran, konsep, ide,
atau gagasan tentang Tuhan yang diciptakan oleh akal manusia atau taklidnya.
Tuhan seperti itu bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada
diri-Nya, Zat-Nya, tetapi adalah Tuhan yang diciptakan oleh manusia sesuai
dengan kemampuan, pengetahuan, penangkapan, dan persepsinya. Tuhan seperti itu
adalah Tuhan yang "ditempatkan" oleh manusia dalam pemikiran, konsep,
ide, atau gagasannya dan "diikat"-nya dalam dan dengan
kepercayaannya. "Bentuk", "gambar", atau "wajah"
Tuhan seperti itu ditentukan atau diwarnai oleh pengetahuan, penangkapan, dan
persepsi manusia yang mempunyai kepercayaan kepada-Nya. Apa yang diketahui
diwarnai oleh apa yang mengetahui. Dengan mengutip perkataan al-Junayd, Ibn
al-'Arabi berkata: "Warna air adalah warna bejana yang ditempatinya"
(Lawn al ma' lawn ina'ihi). Itulah sebabnya mengapa Tuhan melalui sebuah hadits
qudsi berkata: "Aku adalah dalam sangkaan hamba-Ku tentang Aku" (Ana
'inda zhann 'abdi bi).164 Tuhan disangka, bukan diketahui. Dengan kata lain,
Tuhan hanya dalam sangkaan manusia, bukan dalam pengetahuannya. Tuhan tidak
diketahui dan tidak dapat diketahui.
Menarik untuk
memperhatikan lanjutan firman Tuhan dalam hadits qudsi yang dikutip ini, yaitu:
"Maka hendaklah ia [sang hamba] bersangka baik tentang Aku"
(Fal-yazhunn bi khayran).
Tuhan menyuruh
agar kita bersangka baik tentang Dia dalam setiap keadaan dan melarang kita
bersangka buruk tentang Dia.165 Kita harus menjadikan sangkaan kita sebagai
pengetahuan bahwa Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Penolong,
dan Maha Pengampun. Kita tidak boleh bersangka bahwa Tuhan adalah
"pengawas yang selalu mencari kesalahan", "petugas keamanan yang
kasar dan galak", atau "tuan besar yang bengis". Sangkaan baik
tentang Tuhan mendorong kita untuk mendekati dan mencintai-Nya agar kita
mendapat rahmat-Nya. Nabi s.a.w. berkata: "Rahmat Tuhan mendahului
(mengalahkan) murka-Nya". Sangkaan buruk tentang Tuhan membuat kita jauh
dari-Nya, menyalahkan-Nya, dan akhirnya berputus asa. Tuhan tidak menyenangi
orang-orang yang berputus asa.
Kritik Ibn
al-'Arabi terhadap orang yang memutlakkan Tuhan dalam kepercayaannya, Tuhan
yang diciptakannya dalam kepercayaannya, mengikatkan kita kepada kritik
Xenophanes (kira-kira 570-480 SM), seorang filsuf Yunani, terhadap
antropomorfisme Tuhan, atau tuhan-tuhan. Kritik tokoh dari Kolophon, Asia Kecil,
ini berbunyi sebagai berikut:
Seandainya sapi,
kuda, dan singa mempunyai tangan dan pandai menggambar seperti manusia, tentu
kuda akan menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai kuda, sapi akan menggambarkan
tuhan-tuhan menyerupai sapi, dan dengan demikian mereka akan mengenakan rupa
yang sama kepada tuhan-tuhan seperti terdapat pada mereka sendiri. Orang
Etiopia mempunyai tuhan-tuhan hitam dan berhidung pesek, sedangkan orang Trasia
mengatakan bahwa tuhan-tuhan mereka bermata biru dan berambut merah.166
Sebagaimana
dikatakan di atas, "Tuhan kepercayaan" adalah Tuhan ciptaan manusia.
Barangsiapa yang memuji ciptaannya memuji dirinya sendiri. Ibn al-'Arabi
berkata:
Tuhan
kepercayaan adalah ciptaan bagi yang mempersepsinya. Dia adalah ciptaannya.
Karena itu, pujiannya kepada apa yang dipercayainya adalah pujiannya kepada
dirinya sendiri. Itulah sebabnya mengapa ia mencela kepercayaan orang lain.
Jika ia menyadari [persoalan yang sebenarnya], tentu ia tidak akan berbuat
demikian itu. Tidak diragukan bahwa pemilik obyek penyembahan khusus itu adalah
bodoh tentang itu karena penolakannya terhadap apa yang dipercayai oleh orang
lain tentang Allah. Jika ia mengetahui apa yang dikatakan oleh al-Junayd,
"Warna air adalah warna bejana yang ditempatinya", ia akan memperkenankan
apa yang dipercayai setiap orang yang mempunyai kepercayaan dan mengakui Tuhan
dalam setiap bentuk dan dalam setiap kepercayaan.167
Teori Ibn
al-'Arabi tentang "Tuhan kepercayaan" didasarkan pula kepada sebuah
hadits Nabi s.a.w. tentang penampakan diri Tuhan (tajalli al-haqq) pada hari
kiamat.168 Nabi menceritakan bahwa pada hari kiamat, Tuhan akan menampakkan
diri-Nya kepada umat manusia dalam berbagai bentuk, yang tiap-tiap bentuk akan
ditolak oleh setiap orang yang tidak mengenalnya dan akan diterima oleh setiap
orang yang mengenalnya. Akhirnya, semua orang atau kelompok akan menyadari
bahwa sebenarnya Tuhan yang menampakkan diri-Nya dalam berbagai bentuk itu
adalah satu dan sama; itu juga, tidak lain.
Pandangan Ibn
al-'Arabi ini sesuai dengan larangan Nabi s.a.w. agar para sahabatnya tidak
menyalahkan seorang awam yang pernah mengatakan kepada beliau di hadapan mereka
bahwa Tuhan berada di langit, nun jauh di atas. Para sahabat mempersoalkan
kepercayaan orang awam itu karena Tuhan berada di mana saja, tidak terikat oleh
ruang dan waktu, dan tidak berbentuk. Tetapi Nabi memandang bahwa
"sangkaan" orang awam itu tentang Tuhan sudah memadai baginya. Nabi
sendiri pernah berkata: "Kasihilah siapa yang di bumi, niscaya engkau akan
dikasihi oleh siapa yang di langit" (Irham man fi al-ardi, yarham-ka man
fi al-sama'). Yang dimaksud dengan "siapayang di langit" dalam hadits
ini adalah Tuhan. Tuhan berada di langit. Dengan alasan ini, dapat dikatakan
bahwa Tuhan dalam kepercayaan Islam adalah "Tuhan Langit" ("the
Sky God"), "Tuhan Surgawi" [karena surga berada di langit]
("the Heavenly God"), atau "Wujud Tertinggi Samawi"
("the Celestial Supreme Being"). Langit adalah simbol ketinggian,
keagungan, keindahan, dan keabadian. Karena itu, langit dijadikan simbol Tuhan.
Simbol bukan menunjukkan dirinya sendiri, tetapi menunjukkan sesuatu yang lain
di luar dirinya. Simbol Tuhan bukanlah Tuhan, tetapi menunjukkan Tuhan.
Tuhan dalam
kepercayaan Islam adalah seorang "laki-laki", atau, lebih tepatnya,
disimbolkan dengan seorang "laki-laki". Tuhan dalam kepercayaan
Islam, seperti Tuhan dalam kepercayaan-kepercayaan Yahudi dan Kristen, adalah
Huwa ("He"), bukan Hiya ("She"). Tuhan dalam kepercayaan
Islam selalu dipahami dengan kata-kata maskulin. (Pandangan yang menekankan aspek
maskulin Tuhan atau memahami Tuhan sebagai "Tuhan Laki-Laki" seperti
ini ditentang oleh teologi feminis radikal yang menekankan aspek feminin Tuhan
atau memandang Tuhan sebagai "Tuhan Perempuan"). Dengan demikian,
Tuhan dalam kepercayaan Islam, sebagaimana dalam kepercayaan-kepercayaan Yahudi
dan Kristen, adalah seorang "person," seorang "pribadi".
Itulah sebabnya mengapa dikatakan bahwa Tuhan agama-agama monoteistik atau
teistik, termasuk Islam, adalah "personal", "berpribadi".
Tuhan dalam arti ini bukan "impersonal", bukan
"tak-berpribadi", dan, karena itu, Dia bukan "Itu"
("It").
Pengaruh
kebudayaan terhadap bentuk atau tipe kepercayaan kepada Tuhan, terhadap
"Tuhan kepercayaan", dibuktikan oleh sejarah agama agama. Tuhan dalam
kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan patriarkal pastoral, yang
berkebudayaan perayahan yang hidup dengan menggembala, berbeda dengan Tuhan
dalam kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan matriarkal agrikultural, yang
berkebudayaan peribuan yang hidup dengan bertani. Bapa Samawi atau Bapa Surgawi
adalah Tuhan tipikal orang-orang nomad yang hidup dari hasil kawanan ternak
mereka; kawanan ternak itu hidup di padang rumput, dan pada gilirannya padang
rumput tergantung kepada hujan dari langit. Ibu Bumi atau Ibu Pertiwi adalah Tuhan
tipikal para petani yang hidup dari hasil tanah atau bumi.169 Dalam kebudayaan
patriarkal pastoral, biasanya bapa dan langit dijadikan sebagai simbol Tuhan.
Dalam kebudayaan matriarkal agrikultural, ibu dan bumi sering dijadikan sebagai
simbol Tuhan. Agama-agama Semitik lebih cenderung kepada kebudayaan tipe
pertama. Bukankah agama-agama Semitik, karena diturunkan dari langit, sering
disebut "agama-agama samawi", "agama-agama langit?" Dalam
ketiga agama ini, karena "Tuhan berada di langit", maka ungkapan-ungkapan
simbolis, seperti "turun dari langit", "naik ke langit",
dan "berada di langit", lazim digunakan untuk melukiskan
peristiwa-peristiwa sakral dan pengalaman-pengalaman spritual.
Sekali lagi,
semua deskripsi dan ungkapan ini adalah simbol (yang menunjukkan) Tuhan, bukan
Tuhan itu sendiri. Di mata kaum monoteis, kekeliruan kaum politeis terletak
pada penuhanan mereka akan simbol-simbol seperti langit, matahari, bulan, dan
bumi. Kaum politeis tidak lagi sepenuhnya bertuhan kepada Tuhan, tetapi telah
bertuhan kepada simbol-simbol.
Di mata Ibn
al-'Arabi, orang yang menyalahkan atau mencela kepercayaan-kepercayaan lain
tentang Tuhan adalah orang yang bodoh karena Tuhan dalam kepercayaannya
sendiri, sebagaimana dalam kepercayaan-kepercayaan yang disalahkannya itu,
bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, karena Tuhan sebagaimana Dia
sebenarnya tidak dapat diketahui. Orang seperti itu mengakui hanya Tuhan dalam
bentuk kepercayaannya atau kepercayaan kelompoknya sendiri dan mengingkari
Tuhan dalam bentuk-bentuk berbagai kepercayaan lain. Padahal Tuhan yang
menampakkan diri-Nya dalam semua bentuk kepercayaan-kepercayaan yang berbeda
itu adalah satu dan sama. Kritik Ibn al-'Arabi ini, jika harus konsisten,
tertuju kepada setiap orang yang mencela kepercayaan-kepercayaan lain yang
berbeda dengan kepercayaannya tentang Tuhan, baik dalam lingkungan orang-orang
yang seagama dengannya maupun dalam lingkungan orang-orang yang berbeda agama.
Ibn al-'Arabi
memperingatkan kita sebagai berikut:
Maka
berhati-hatilah agar anda tidak mengikatkan diri kepada ikatan ('aqd) [yaitu
kepercayaan, doktrin, dogma, atau ajaran] tertentu dan mengingkari ikatan lain
yang mana pun, karena dengan demikian itu anda akan kehilangan kebaikan yang
banyak; sebenarnya anda akan kehilangan pengetahuan yang benar tentang apa itu
yang sebenarnya. Karena itu, hendaklah anda menerima sepenuhnya semua bentuk
kepercayaan-kepercayaan, karena Allah Ta'ala terlalu luas dan terlalu besar
untuk dibatasi dalam satu ikatan tanpa ikatan lain, Dia berkata: "Kemana
pun kamu berpaling, di situ ada wajah Allah", [Q 2:115] tanpa menyebutkan
arah tertentu mana pun.170
Pengetahuan yang
benar tentang Tuhan, menurut Sufi dari Andalusia ini, adalah pengetahuan yang
tidak terikat oleh bentuk kepercayaan atau agama tertentu. Inilah pengetahuan
yang dimiliki oleh "para gnostik" (al- 'arifun). Karena itu,
"para gnostik", yaitu para Sufi, tidak pernah menolak Tuhan dalam
kepercayaan, sekte, aliran, atau agama apa pun. Ini berarti bahwa Tuhan, bagi
mereka, dalam semua kepercayaan, sekte, aliran, atau agama, adalah satu dan
sama. Kata Ibn al-'Arabi, "Barangsiapa yang membebaskan-Nya [yaitu Tuhan]
dari pembatasan tidak akan mengingkari-Nya dan mengakui-Nya dalam setiap bentuk
tempat Dia mengubah diri-Nya."171
B. Tuhan Yang
Sebenarnya
Tuhan
sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat Tuhan, tidak diketahui dan
tidak dapat diketahui oleh akal manusia. Tuhan dalam arti ini oleh Ibn
al-'Arabi disebut "Tuhan Yang Sebenarnya", "the Real God"
(al-ilah al-haqq) "Tuhan Yang Absolut", "the Absolute God"
(al-ilah al-muthlaq); dan "Tuhan Yang Tidak Diketahui", "the
Unknown God" (al-ilah al-majhul). Tuhan dalam arti ini adalah munazzah
(tidak dapat dibandingkan [dengan alam], sama sekali berbeda dengan alam,
transenden terhadap alam. "Tidak sesuatu pun serupa dengan-Nya" (Q.,
s. al-Syura/42:11). "Penglihatan tidak dapat mempersepsi-Nya, tetapi Dia
mempersepsi semua penglihatan" (Q., s. al-An'am/6: 103). Itulah Tuhan yang
tidak bisa dipahami dan dihampiri secara absolut, yang sering disebut Dzat
Tuhan. Itulah Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya yang terlepas dari semua sifat
dan relasi yang dapat dipahami manusia. Dia adalah "yang paling tidak
tentu dari semua yang tidak tentu", "yang palingtidak diketahui dari
semua yang tidak diketahui" (ankar al-nakirat). Dia adalah selama-lamanya
suatu misteri, yang oleh Ibn al-'Arabi disebut "Misteri Yang Absolut"
(al-ghayb al-muthlaq) atau "Misteri Yang Paling Suci" (al-ghayb
al-aqdas). Dilihat dari sudut penampakan diri (tajalli) Tuhan, dikatakan bahwa
Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya adalah pada tingkat "keesaan"
(ahadiyah).
Karena Tuhan,
yaitu Dzat Tuhan, tidak dapat diketahui oleh siapa pun, maka Nabi s.a.w.
melarang orang-orang beriman untuk memikirkan Tuhan. Beliau bersabda:
"Berpikirlah, tentang ciptaan Allah, tetapi jangan berpikir tentang Dzat
Allah." Hadits ini cukup terkenal di kalangan orang-orang yang mempelajari
ilmu tawhid. Larangan ini diperkuat oleh Ibn al-'Arabi dengan firman Tuhan yang
berbunyi: "Allah memperingatkan kamu tentang diri-Nya" (Q., s. Alu
'Imran/3:28). Ibn al-'Arabi menegaskan sebagai berikut:
Berpikir (fikr)
tidak mempunyai hukum dan daerah kekuasaan dalam [mengetahui, atau memahami]
Zat al-Haqq, baik secara rasional maupun menurut Syara'. Syara' telah melarang
berpikir tentang Zat Allah. Inilah yang disinggung oleh firman-Nya, "Allah
memperingatkan kamu tentang diri-Nya," [Q., s. Alu 'Imran/3: 28] yaitu
"Jangan kamu berpikir tentang-Nya [Zat-Nya)!" Larangan ini ditetapkan
karena tidak ada hubungan antara Zat al-Haqq dan zat al-khalq.172
Dari segi
diri-Nya, Zat Tuhan tidak mempunyai nama, karena Dzat itu bukanlah lokus efek
dan bukan pula diketahui oleh siapa pun. Tidak ada nama yang menunjukkannya
yang terlepas dari hubungan dan bukan pula dengan pengukuhan. Nama-nama
berfungsi untuk pemberitahuan dan pembedaan, tetapi pintu [untuk mengetahui Zat
Tuhan] dilarang bagi siapa pun selain Allah, karena tidak ada yang mengetahui
Allah kecuali Allah.173
Ibn al-'Arabi
mengecam orang-orang yang melanggar larangan berpikir tentang Zat Tuhan dan
menuduh mereka telah menambah kesalahan dengan al-khawdl (melakukan upaya
spekulasi besar-besaran dan serampangan). Ia memandang bahwa upaya mereka itu
adalah sia-sia.
Pandangan bahwa
Tuhan tidak dapat diketahui ditemukan pula dalam Bibel. Salah satu bagian Kitab
Suci ini mengatakan bahwa Tuhan, meskipun hadir dalam alam dan manusia, adalah
misteri yang tidak dapat dipahami oleh akal manusia. Ketika Nabi Musa berada di
Gunung Sinai, ia melihat dan menyaksikan dalam semak-semak yang menyala (tetapi
tidak dimakan api) Kehadiran Tuhan yang memerintahkannya untuk menghadapi
Fir'awn dan membebaskan bangsa Israel dari raja yang zalim itu. Lalu, Musa
bertanya kepada Tuhan tentang nama-Nya untuk mengetahui siapa diri-Nya, Tuhan
menjawab:
"Ehyeh asyer
Ehyeh" (Keluaran 3:14). Terjemahan yang biasa dari ungkapan Ehyeh asyer
Ehyeh adalah "Aku adalah Aku" ("I am that I am") atau
"Aku akan jadi Aku" ("I will be that I will be"). Leo
Schaya, seorang sarjana terkemuka tentang Kabbalisme (mistisisme Yahudi), menafsirkan
bahwa Kehadiran Zat yang esa itu menyatakan diri-Nya kepada Musa sebagai Ehyeh,
"Wujud ('Being') yang esa dan universal," sebagai "Wujud yang
adalah Wujud" ("Being that is Being' (Ehyeh asyer Ehyeh), di luar dan
di dalam seluruh eksistensi. Tetapi Ia juga menyatakan kepadanya [yaitu Musa]
bahwa Ia bukan hanya Zat dan Prinsip eksistensi, tetapi secara serentak tetap
dalam keadaan pada diri-Nya, dalam Supra-Wujud atau Bukan-Wujud Nya --yang
dalam Kabbalah disebut Ain, "Ketiadaan" ilahi (the divine
"Nothingness").174
Kaum Kabbalis,
dalam keinginan besar mereka untuk menekankan ketakterpahaman
(incomprehensibilty) Tuhan pergi begitu jauh sehingga mereka berbicara tentang
Tuhan sebagai 'Ayn --"Dia Yang Bukanlah", "Dia Yang adalah
Bukan" ("He Who is Not")-- yaitu untuk mengatakan bahwa
sesungguhnya orang tidak dapat mengatakan bahwa Tuhan ada [dan tentu pula
sebaliknya tidak dapat mengatakan bahwa Tuhan tidak ada], karena mengatakan
demikian adalah juga suatu deskripsi tentang yang tidak dapat dideskripsikan.175
Jawaban Tuhan tersebut, Ehyeh asyer Ehyeh, menunjukkan bahwa diri-Nya tidak
dapat dipahami oleh akal manusia. Karena itu, Musa diperingatkan oleh Tuhan
agar tidak bertanya tentang diri-Nya, Dzat-Nya.
Yang diketahui
oleh manusia adalah perbuatan-perbuatan atau karya-karya Tuhan, bukan Tuhan itu
sendiri. Ini berarti bahwa Tuhan hanya bisa diketahui melalui
perbuatan-perbuatan-Nya, tidak pernah diketahui sebagai Dia pada diri-Nya.
Ketika Musa memohon kepada Tuhan agar memperlihatkan kemuliaanNya, Dia
berfirman:
"Engkau
tidak akan bisa memandang wajah-Ku, karena tidak ada orang yang bisa memandang
wajah-Ku dan bisa hidup." Tuhan berfirman: "Ada suatu tempat
dekat-Ku, tempat engkau dapat berdiri di atas batu. Apabila kemuliaanKu lewat,
maka Aku akan menempatkan engkau dalam lekuk batu itu dan Aku akan menutupi
engkau dengan tangan-Ku sehingga Aku lewat. Lalu, Aku akan menarik tangan-Ku,
dan engkau akan melihat belakang-Ku, tetapi wajah-Ku tidak akan terlihat"
(Keluaran 33:20-23).
Dalam Perjanjian
Baru, tradisi mistis ini, meskipun tidak begitu tegas, mempunyai akar yang
dapat tumbuh dengan subur dan kuat. St. Yohanes mengatakan: "Tidak seorang
pun melihat Tuhan kapan saja" (Yohanes 1:18). Surat Paulus kepada Timotius
membicarakan Tuhan "yang bersemayam dalam cahaya yang tak terhampiri.
Tidak seorang pun pernah melihat-Nya; dan memang tidak seorang pun bisa pernah
melihat-Nya" (1 Timotius 6:16). Ungkapan Paulus kepada Timotius ini, yang
ditemukan menjelang akhir periode Perjanjian Baru dan menunjukkan pengaruh
pemikiran Yunani, seperti dikatakan Bede Griffiths, menyatakan transendensi
absolut Ketuhanan (Godhead). Ini telah dikembangkan oleh para bapa Yunani dalam
konteks konsep tentang ketakterpahaman (incomprhensibility) Tuhan.176
Pandangan yang
menekankan penegasian pengetahuan tentang Tuhan dikenal dalam, bahkan sangat
akrab dengan, tradisi-tradisi keagamaan Timur, seperti Hinduisme dan Taoisme.
Upanisad, Kitab Suci Hindu, mengatakan:
Dia yang tidak
terlihat oleh mata, yang tidak terucapkan oleh lidah, dan yang tidak tertangkap
oleh pikiran. Dia yang tidak kita ketahui, juga yang tidak mampu kita ajari.
Berbedalah Dia dengan yang diketahui, dan berbedalah Dia dengan yang tidak
diketahui. Demikian kita ketahui dari sang bijak. Yang tidak dapat diungkapkan
dengan kata-kata tetapi dengan-Nya lidah berbicara ketahuilah itu adalah
Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak dipahami oleh
pikiran tetapi dengan-Nya pikiran memahami --ketahuilah itu adalah Brahman.
Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak dilihat oleh mata
tetapi dengan-Nya mata melihat --ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman
bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak didengar oleh telinga tetapi
dengan-Nya telinga mendengar --ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah
wujud yang disembah manusia. Yang tidak ditarik oleh nafas tetapi dengan-Nya
nafas ditarik --ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang
disembah manusia. Jika engkau mengira bahwa engkau mengetahui dengan baik
kebenaran Brahman, ketahuilah bahwa engkau mengetahui [hanya] sedikit. Apa yang
anda kira sebagai Brahman pada diri anda, atau apa yang anda kira sebagai
Brahman dalam tuhan-tuhan [atau dewa-dewa] --itu bukanlah Brahman" (Kena
Upanisad).
Karena Brahman
tidak dapat diungkapkan oleh apa pun dan selalu di luar kata-kata dan di luar
pemikiran, maka Brihadaranyaka Upanisad mengatakan bahwa Brahman mustahil
dibicarakan. Brahman adalah "bukan ini, bukan ini", "bukan ini,
bukan itu" ("neti, neti"). Brahman tidak dapat dikatakan
bagaimana, tidak bersifat ("nirguna"). Karena itu, Brahman pada
tingkat ini disebut "nirguna Brahman". Pada tingkat ini Dia adalah
Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya.
Prolog Tao Te
Ching, Kitab Suci Taois, yang biasanya dianggap ditulis oleh Lao-Tze, dibuka
dengan kata-kata: "Tao yang dapat dibicarakan bukanlah Tao yang sebenarnya
atau kekal. Nama-nama yang dapat disebutkan bukanlah nama yang sebenarnya atau
kekal" (Tao Te Ching 1:1). Chuang-Tze, penulis Cina abad keempat SM,
dengan nada yang sama mengatakan:
Tao
Yang Agung tidak dinamai/dinamakan;
Diskriminasi-diskriminasi
Yang Agung tidak dibicarakan;
Kemurahan
Hati Yang Agung bukanlah murah hati;
Kerendahan
Hati Yang Agung bukanlah rendah hati;
Keberanian
Yang Agung bukanlah menyerang;
Jika
Tao dijelaskan, itu bukanlah Tao.
(Chuang-Tze,
Bab 2)
Kutipan-kutipan
ini menunjukkan bahwa Tao tidak dapat diungkapkan dan dijelaskan dengan
kata-kata; Ia adalah di luar bahasa. Itulah Tao yang sebenarnya, yang merupakan
Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya. Yang Absolut itu oleh Laot-Tze disebut
"Misteri di belakang segala misteri" ("hsuan chih yu
hsuan") dan oleh Chuang-Tze disebut "Tiada-Tiada-Tiada-Apa-apa",
"No-No-Nothing", atau "Bukan-Bukan-Bukan-Wujud",
"Non-Non-Non-Being" ("wu-wu-wu"). "Tiada-Tiada-Tiada-Apa-apa"
adalah Tao atau "Tiada-Apa-apa metafisis yang bukan suatu 'tiada-apa-apa'
yang sederhana, tetapi suatu TiadaApa-apa yang berada di seberang 'wujud' dan
'bukan-wujud' sebagaimana biasanya dipahami".177 Yang Absolut dalam
kebsolutan-Nya seperti ini dalam Sufisme Ibn al-'Arabi disebut "Misteri
Yang Absolut" dan "Misteri Yang Paling Suci", dalam mistisisme
Kristen disebut "Ketuhanan", dan dalam tradisi Hindu disebut
"nirguna Brahman".
C. Teologi
Apofatik
Dalam konteks
ini, salah satu persoalan teologis-mistis yang selalu menggoda untuk dijawab
adalah cara mendekati dan mencintai Tuhan. Bagaimana mungkin kita dapat
mendekati dan mencintai Tuhan yang tidak diketahui? Bagaimana mungkin Tuhan
yang sama sekali berbeda dengan alam dan manusia dapat hadir dalam alam dan
manusia? Bagimana mungkin Tuhan yang transenden terhadap alam dan manusia
adalah immanen dalam alam dan manusia? Menurut Thomas Merton (1915-1968),
seorang teolog dan mistikus Katolik Roma berkebangsaan Amerika, para teolog
mistis menghadapi persoalan ini sebagai persoalan "mengatakan apa yang
sesungguhnya tidak dapat dikatakan" ("saying what cannot really be
said").178 Persoalan ini dapat pula dideskripsikan dengan
ungkapan-ungkapan paradoksikal lain, seperti membicarakan yang tidak dapat dibicarakan"
("speaking of the unspeakable"),179 "mengetahui Tuhan Yang Tidak
Dapat Diketahui" ("knowing the Unknowable God"),180
"menamai yang tidak dapat dinamai," "menamakan apa yang tidak
dapat dinamakan" ("naming the unnamable"),181
"mengungkapkan yang tidak dapat diungkapkan" ("expressing the
inexpressible"),182 "memikirkan yang tidak dapat dipikirkan"
("thinking of the unthinkable"), "memahami yang tidak dapat
dipahami" ("comprehending the incomprehensible"),
"membayangkan yang tidak dapat dibayangkan" ("conceiving the
unconceivable"), dan "melukiskan yang tidak dapat dilukiskan"
("describing the indescribable").
Salah satu cara
terbaik untuk memecahkan persoalan ini adalah dengan suatu teologi yang disebut
"teologi apofatik" ("apophatic theology"), teologi
"tidak mengetahui" (the theology of "unknowing"), yang
melukiskan pengalaman transenden tentang Tuhan dalam cinta sebagai suatu
"mengetahui dengan tidak mengetahui" ("knowing by
unknowing") dan suatu "melihat yang bukan melihat" ("seeing
that is not seeing").183 Seorang mistikus dan penulis spiritual Inggris
abad keempatbelas, penulis anonim The Cloud of Unknowing, adalah salah satu
contoh terbaik wakil teologi apofatik karena kecenderungan teologinya itu
menekankan bahwa Tuhan paling baik diketahui dengan penegasian: "kita
dapat mengetahui lebih banyak tentang apa yang bukan Tuhan ketimbang tentang
apa yang adalah Dia" ("we can know much more about what God is not
than about what He is").184 Penulis The Cloud of Unknowing itu dengan
konstan menggunakan tema paradoksikal "mengetahui" dan "tidak
mengetahui." Menjelang bagian akhir karyanya itu, ia menegaskan intisari
pandangan apofatiknya dengan mengutip kata-kata Dionysius orang Areopagus (St.
Denis), "Dan karena itu St. Denis berkata, 'Mengetahui yang paling saleh
[paling tinggi] akan Tuhan adalah [mengetahui] yang dikenal dengan tidak
mengetahui'" ("And therefore St. Denis said 'The most godly knowing
of God is that which is known by unknowing'").185
William
Johnston, seorang Yesuit, memberikan sebuah komentar yang menarik tentang tema
paradoksikal ini. Ia berkata: "Kita mengetahui Tuhan, namun tidak
mengetahui-Nya; kita mengetahui-Nya dengan tidak mengetahui; kita
mengetahui-Nya dalam kegelapan; kita mengetahui-Nya dengan cinta".186 Bagi
penulis The Cloud of the Unknowing, Tuhan dapat dicintai, tetapi tidak dapat
dipikirkan. Meskipun jiwa manusia tidak dapat menembus misteri Tuhan dengan
pemahaman rasional, ia dapat bersatu dengan-Nya dengan cinta. "Karena
mengapa, Dia [yaitu Tuhan] dapat dicintai dengan baik, tetapi tidak dapat
dipikirkan. Dengan cinta Dia dapat dicapai dan dipegang, tetapi dengan pikiran
tidak".187 Menurut mistikus Inggris anonim ini, jika sang hamba
mengosongkan pikirannya dari segala sesuatu dan segala gambaran, akan tumbuh
dalam kalbunya "getaran buta dari cinta" ("the blind stirring of
love") yang menembus "awan tidak mengetahui", "awan
ketidaktahuan" ("The Cloud of Unknowing"), yang membawa sang
hamba kepada suatu pengetahuan yang suprakonsepsual dan gelap; itulah kebijakan
tertinggi.
Penulis The
Cloud of Unknowing sangat dipengaruhi oleh Diosynisius orang Areopagus, yang
menurut penelitian belakangan adalah seorang rahib Siria yang hidup pada ujung
abad kelima dan permulaan abad keenam Masehi. Dionysius memandang bahwa
pengetahuan rasional tentang Tuhan, baik dengan cara afirmatif maupun dengan
cara negatif (meskipun yang terakhir ini ditekankannya karena ia menegaskan
transendensi Tuhan), tidak memadai. Ia memilih pengetahuan mistis, yang menurut
pandangannya lebih tinggi dari pengetahuan rasional yang diperoleh melalui
spekulasi teologis dan filosofis dengan menggunakan akal. Pengetahuan mistis
adalah pengetahuan yang diperoleh sebagai anugerah dari Tuhan. Pengetahuan
mistis seperti ini tidak ditemukan dalam buku-buku, tidak juga diperoleh dengan
usaha manusia, karena ia adalah suatu pemberian ilahi. Bagaimana pun, manusia
dapat mempersiapkan diri menerimanya dengan doa dan penyucian.
Karena indera
dan intelek manusia tidak mampu mencapai Tuhan, indera dan intelek harus
"dikosongkan" dari semua makhluk dan disucikan supaya Tuhan dapat
menuangkan cahaya-Nya ke dalam indera dan intelek itu. Dalam arti ini, indera
dan intelek berada dalam kegelapan sempurna dalam hubungan dengan segala
ciptaan tetapi pada saat yang sama dipenuhi dengan cahaya dari Tuhan. Karena
itu, dapat dikatakan bahwa "Kegelapan Ilahi" (the "Divine
Darkness') adalah cahaya yang tidak dapat dihampiri yang dikatakan di dalamnya
Tuhan bersemayam". Ketika semua daya dikosongkan dari semua pengetahuan manusiawi,
maka berkuasalah dalam jiwa suatu "keheningan mistik" ("mystic
silence") yang membawanya kepada klimaks, yaitu kesatuan dengan Tuhan dan
visi tentang Dia sebagai Dia pada diri-Nya".188 Pengetahuan seperti ini
adalah pengetahuan ilahi tentang Tuhan yang berlangsung dengan "tidak
mengetahui" ("unknowing") atau "ketidaktahuan"
("ignorance"), yang berarti bahwa sang hamba harus mencampakkan
pengetahuan konsepsual manusiawi untuk menerima pengetahuan anugerah ilahi.
Bagi Dionysius,
satu-satunya jalan mengetahui Tuhan adalah dengan "tidak mengetahui",
dengan menyeberang di luar konsep, di luar pikiran rasional dan dengan menerima
suatu sinar "kegelapan ilahi". Mistikus ini menyerukan agar sang
pencari Tuhan melepaskan diri dari persepsi, imaginasi, dugaan, nama,
pembahasan, pemahaman, pemikiran, dan segala sesuatu yang membelenggu dan
menjauhkannya dari jalan menuju Tuhan, agar sang pencari memasuki
"kegelapan ilahi" yang melebihi segala sesuatu dan "mengetahui
dengan tidak mengetahui".
Teologi apofatik
Dionysius ini menjadi dasar mistisisme apofatik Kristen di kemudian hari.
Pengaruh mistikus ini dapat ditemukan, misalnya, pada Maximus Sang
"Confessor", Yohanes Scotus Erigena, Thomas Aquinas, Bonaventura,
Dante, dan Penulis The Cloud of Unknowing.
Bagaimana
tradisi mistis Yahudi memecahkan persoalan teologis yang rumit ini? Kaum
Kabbalis, seperti dikemukan di atas, memandang bahwa Tuhan adalah rahasia yang
tidak dapat dipahami oleh manusia. Namun, roh manusia, atau wujud rohani
manusia, mampu membenamkan dirinya dalam jurang yang dalam sekali tanpa alas
dari "Ketiadaan" ilahi. Ketika Musa melihat Kehadiran Tuhan di Gunung
Sinai, ia mencapai pengalaman rohani seperti itu; "ketika ia naik
selangkah demi selangkah sehingga masuk ke dalam kegelapan awan Tuhan".189
Ketika itu Musa menutup matanya kepada semua pengetahuan positif, menyingkirkan
semua pikiran dan penglihatan, karena ia sepenuhnya milik Dia yang tidak
terjangkau oleh pikiran dan penglihatan, sehingga ia bersatu dengan Dia yang
tidak dapat ditangkap oleh pengetahuan. Itulah yang oleh kaum Kabbalis disebut
bittul ha-yesy, "kemusnahan eksistensi" dalam Ain,
"Ketiadaan" ilahi, yang berarti kemusnahan pikiran manusiawi dan
"kontemplasi tentang Ketiadaan"190 Pengalaman spiritual seperti itu
tidak dapat diperoleh melalui pikiran, tetapi diperoleh melalui pertolongan
Tuhan. Agar pertolongan itu diperoleh, seseorang harus memusnahkan pikiran dan
pada saat yang sama harus melakukan kontemplasi tentang Ketiadaan.
Bahasa
apofatisme yang jauh lebih tua dapat ditemukan dalam Upanisad. Suatu bagian
Kitab Suci ini berbunyi: "Orang yang dengan benar mengetahui Brahman
adalah orang yang mengetahui-Nya sebagai di luar pengetahuan; orang yang
mengira bahwa ia mengetahui[-Nya], tidak mengetahui. Orang bodoh mengira bahwa
Brahman diketahui, tetapi orang bijak mengetahui-Nya di seberang
pengetahuan" (Kena). Ini berarti bahwa pengetahuan yang benar tentang
Tuhan adalah pengetahuan negatif: "mengetahui Tuhan dengan tidak
mengetahui-Nya."
Menurut Ibn
al-'Arabi, pengetahuan tentang Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada
diri-Nya, Zat Tuhan, harus diperoleh dengan "peniadaan pengetahuan".
Ini berarti bahwa mengetahui Tuhan dengan tidak mengetahui-Nya; pengetahuan
positif tentang Tuhan adalah mustahil. Ia berkata: "Orang yang tidak mempunyai
pengetahuan membayangkan bahwa ia mengetahui Tuhan, itu tidak betul",
karena "pengetahuan kita tentang Tuhan adalah mustahil". "Orang
yang mengetahui Tuhan tidak melampaui batas tingkatnya sendiri. Ia mengetahui
apa yang ia ketahui bahwa ia adalah salah seorang di antara orang-orang yang
tidak mengetahui".191
Dengan
berkali-kali mengutip perkataan Abu Bakr r.a., Ibn al-'Arabi berkata:
"Ketidakmampuan mencapai persepsi adalah persepsi"
["Ketidakmampuan mencapai pengetahuan adalah pengetahuan"] (Al-'ajz
'an dark al-idrak idrak).192 Ungkapan ini melukiskan tingkat tertinggi
pengetahuan manusia tentang Tuhan dan segala sesuatu yang gaib yang tidak dapat
diketahuinya. Orang yang mengetahui bahwa ia tidak dapat mengetahui Tuhan
adalah orang yang secara benar mengetahui-Nya; itulah orang yang bijak. Orang
yang menganggap bahwa ia mengetahui Tuhan adalah orang yang tidak
mengetahui-Nya; itulah orang yang bodoh. Bukankah Tuhan telah berfirman:
"Penglihatan tidak dapat mempersepsi-Nya [yaitu Tuhan], tetapi Dia
mempersepsi semua penglihatan" (Q., s: al-An'am/6:103)?
D. Catatan Akhir
Teologi apofatik
menegaskan kemustahilan pengetahuan manusia tentang Tuhan sebagaimana Dia pada
diri-Nya, Tuhan yang sebenarnya. Pengetahuan yang benar dan tertinggi tentang
Tuhan adalah pengetahuan dengan "tidak mengetahui" atau
"ketidaktahuan" karena Tuhan di luar jangkauan pengetahuan manusia
dan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata dan bahasa manusia. Pengetahuan
seperti ini tidak dapat diperoleh dengan pikiran, tetapi adalah pemberian Tuhan
kepada hamba-Nya yang telah mempersiapkan diri untuk menerimanya dengan doa dan
penyucian. Seperti disebut di atas, penulis The Cloud of Unknowing mengatakan
bahwa Tuhan dapat dicintai, tetapi tidak dapat dipikirkan. Dengan cinta Tuhan
dapat dihampiri dan dipegang, tetapi dengan pikiran tidak. Tuhan bukan untuk
dipikirkan dengan akal, tetapi untuk dicintai dan "dirasakan" dengan
Kalbu (qalb).
Semua orang yang
percaya kepada Tuhan tentu saja ingin mencintai Tuhan. Cinta seorang hamba
kepada Tuhan pasti dibalas. Tuhan mencintai hamba yang mencintai-Nya. Jika sang
hamba mencintai Tuhan, ia harus mengikuti Tuhan dan panutan yang diutus-Nya.
Tuhan berfirman: "Katakanlah: 'Jika kamu benar-benar mencintai Allah,
ikutilah aku, nicaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu'. Allah
adalah Maha Pengampun dan Maya Penyayang." (Q. s. Alu 'Imran/3:31).
"Aku menunjukkan cinta-Ku kepada beribu-ribu generasi, yaitu orang-orang
yang mencintai-Ku dan mematuhi hukum-hukum-Ku." (Keluaran 20:6). Yesus
menyerukan: "Jika kamu menuruti perintah-perintahku, kamu akan tetap dalam
cintaku, seperti aku menuruti perintah-perintah Bapaku dan tetap dalam
cinta-Nya" (Yohanes 15:10).
Cinta vertikal
antara sang hamba dan Tuhannya tidak akan terwujud jika tidak disertai dengan
cinta horisontal antara sang hamba dan sesamanya. Seperti disebutkan di atas,
Nabi berkata: "Kasihilah siapa yang di bumi, niscaya engkau akan dikasihi
oleh siapa yang di langit". Pada kesempatan lain beliau berkata:
"Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga dia mencintai
saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri". Yesus membenarkan perkataan
seorang ahli Taurat: "Cintailah tetanggamu seperti mencintai dirimu
sendiri." (Lukas 10: 27).
Teologi
apofatik, atau mistisisme apofatik, adalah suatu cara berpikir atau aktivitas
mental yang digunakan oleh banyak mistikus atau Sufi untuk menempuh perjalanan
menuju Tuhan dan sekaligus untuk menyuarakan protes keras terhadap kelancangan
dan keangkuhan para teolog dan para filsuf yang menganggap bahwa mereka
mempunyai konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan sebagaimana Dia pada
diri-Nya. Teologi apofatik adalah peringatan bagi orang yang mereduksi Tuhan
menjadi sesuatu yang rasional belaka. Teologi apofatik menunjukkan bahwa orang
yang memandang bahwa dengan nalarnya ia mempunyai pengetahuan yang memadai
tentang Tuhan adalah orang yang membatasi Tuhan dalam bentuk khusus menurut
pengertian yang ditentukan oleh akalnya. Padahal Tuhan tidak dapat dibatasi.
Bentuk Tuhan yang ditangkapnya adalah bentuk yang dicocokkan dengan
"kotak" akalnya. Ia menolak bentuk Tuhan yang tidak cocok dengan
bentuk dan ukuran "kotak" akalnya. Ia menyalahkan orang lain yang
mempercayai Tuhan dalam bentuk lain. Ia tidak menerima apa pun sebagai
kebenaran jika bertentangan dengan akalnya. Ia telah mempertuhankan akalnya.
Orang seperti ini, kata Ibn al-'Arabi, adalah "hamba nalar" ('abd
nazhar), bukan "hamba Rabb" ('abd rabb).
Wa 'l-Lah-u
a'lam-u bi 'l-shawab.
Catatan kaki:
Catatan kaki:
163 Ibn al-'Arabi, Fushush al-Hikam,
diedit oleh Abu al-'Ali' Afifi, 2 bagian (Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi,
1980), 1:121.
164 Fushush, 1:225-226.
165 Ibn al-'Arabi, al-Futhuhat
al-Makkiyah, 4 vol. (Beirut: Daral-Fikr, t.th.), 4:446.
166 H. Diels W. Kram, Die Fragmente der
Vorsokratiker, Griechisch und Deutsch, 3 vol. (Berlin, 1934-1937), fr. 15-16.
Kedua fragmen ini dikutip oleh K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta:
Kanisius,1989), h. 40.
167 Fushush,1:226.
168 Lihat Muslim, al-Shahih, Kitab
al-Imam, no. 302 (Kairo: Muhammad 'Ali Shabih,1334/1916), 1:114-117. Bandingkan
dengan Ibn al-'Arabi, Futuhat, 1:314; 2:311; idem, Fushush, 1:184.
169 Raffaele Pettazzoni, "The Supreme
Being: Phenomenological Structure and Historical Development," dalam
Mircea Eliade and Joseph M. Kitagawa, eds.., The History of Religion: Essays in
Methodology (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1959,
Seventh Impression, 1974), h. 64-65; Nico Syukur Dister, Pengalaman dan
Motivasi Beragama: Pengantar Psikologi Agama (Jakarta: Leppenas,1982), h.
36-37; idem, Psikologi Agama: Bapa & Ibu sebagai Simbol Allah (Yogyakarta
& Jakarta: Gunung Mulia & Kanisius,1983), h. 43-45.
170 Fushush,1:113.
171 Fushush, 1:121.
172 Futuhat, 2:30.
173 Futuhat, 2:69.
174 Leo
Schaya, "Contemplation and Action in Judaism and Islam," dalam Yusuf
Ibish and Ileana Marculescu, eds., Contemplation and Action in World Religions
(Seattle and London: Rothko Chapel, 1978), h.165.
175 Rabbi Louis Jacobs, We Have Reason to
Believe (London: Vallentine, Mitchell, 1965), h.14.
176 Bede Griffiths, A New Vision of
Reality (Springfield, Illinois: Templegate,1990), h. 163-164.
177 Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A
Comparative Study of Key Philosiphical Concepts (Los Angeles: University of
California Press, 1983), 376, 379; idem, The Concept and Reality of Existence
(Tokyo: The Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1971), h. 48-49.
178 Thomas Merton, "Foreword,"
dalam William Johnston, The Mysticism of The Cloud of Unknowing (Wheathampstead
Hertfordshire, England: Anthony Clarke, 1978), h. viii.
179 Leszek Kolakowski, Religion (New York
& Oxford: Oxford University Press, 1982), h. 161-206; James P. Carse, The
Silence of God: Meditations on Prayer (New York: Macmillan, 1985), h. 9.
180 David B, Burrell, Knowing the
Unknowable God: Ibn-Sina, Maimonides, Aquinas (Notre Dame, Indiana University
of Notre Dame Press, 1986).
181 Samuel Rayan, "Naming the
Unnamable," dalam Robert P. Scharlemann, ed., Naming God (New York:
Paragon House, 1985), h. 3-28.
182 Martin Palmer, The Elements of Taoism
(Brisbane Queensland: Element, 1993), h. 3; James P. Carse, The Silence of God,
h. 9.
183 Thomas Merton, loc. cit. Kata
"apofatik" ("apophatic") digunakan oleh Dionysius yang
membicarakan "teologi negatif," sebagai lawan "teologi
positif".
184 W. Johnston, op.cit., h.1.
185 The Cloud of Unknowing, edited by
Justin McCann (London: Burns and Oates, Ltd., 1952), 125:11.
186 W. Johnston, op.cit, h.17.
187 The Cloud of Unknowing, 26;3.
188 W. Johnston, op.cit, h. 33-34.
189 Leo Schaya, op.cit, h.166.
190 Ibid.
191 Futuhat, 2:552.
192 Futuhat, 2:619; 3:132.
Jurnal
Pemikiran Islam PARAMADINA
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174