Mulai dari empat bulan sejak
peristiwa Semanggi, 12-14 November, 1998, aksi-aksi mahasiswa --apalagi aksi
mahasiswa-rakyat-- mulai terlihat mengalami penurunan dalam jumlah massa yang
dapat digerakkan dalam setiap aksinya. Ini terjadi baik dalam aksi yang
dilakukan masing-masing kelompok/organisasi mahasiswa maupun aksi-aksi yang
sifatnya gabungan antar kelompok/organisasi mahasiswa. Aksi gabungan
kelompok/organisasi yang terjadi juga tak menunjukkan kebesaran dalam hal
jumlah massanya, bahkan hampir sulit untuk melebihi jumlah 1.000 orang. Mengapa
hal ini bisa terjadi? Padahal kita tahu semua bahwa penguasa/ABRI tidak dapat
lagi melakukan penindasan yang berarti terhadap gerakan mahasiswa, apalagi
gerakan mahasiswa-rakyat. Benar bahwa di Jakarta hampir setiap aksi mahasiswa
(khususnya aksi-aksi dari kelompok radikal seperti FORKOT, FAMRED, AMARAH atau
pun KMB) selalu dipukul dengan alasan tidak ada pemberitahuan sebelumnya.
Pemukulan ini tidak bisa dijadikan alasan. Alasan sebenarnya adalah karena aksi
ini jumlah massa yang terlibat sangat kecil, apalagi tanpa melibatkan rakyat
seperti pada tanggal 12-14 November, 1998. Jadi cukup mengherankan bila gerakan
mahasiswa “tiba-tiba” mandeg setelah mengalami kebangkitan yang luar biasa sepanjang
tahun 1998. Apalagi, seperti kita tahu, kebangkitan gerakan mahasiswa tersebut
lebih berharga, lebih berkualitas, dibanding dengan yang sebelum-sebelumnya
karena sudah melibatkan rakyat dalam aksinya. Oleh karena itu sangat lah
penting untuk menganalisa mengapa gerakan mahasiswa yang sudah melibatkan
rakyat ini –sehingga lebih memiliki daya tekan, daya gedor, terhadap rejim
Habibie-ABRI—mengalami kemunduran seperti ini.
Salah satu
kesalahan dari mahasiswa di Jakarta adalah ketika merka tidak mau mempertahankan
halaman depan MPR/DPR pada punck perlawanan (pada hari Sabtu, 14 November,
1998), padahal mereka sudah menguasainya bersama ratusan ribu rakyat yang
mendukungnya. Kejadiannya akan lain bila mereka mempertahankannya bersama
rakyat, dan menjadikan Halam MPR/DPR sebagai “markas” atau pusat untuk
memperbesar dukungan rakyat; kesalahan lainnya adalah: walupun sektor atau
jalur (route) berpawai kelompok-kelompok/organisasi-organisasi mahasiswa-rakyat
itu berlain-lainan, namun seharusnya mereka ada dalam kesatuan atau ada dalam
satu paket yang sedang membagi-bagi tugas/jalur. Apalagi pada tanggal 13
November, 1998, mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam FORKOT sudah
meninggalkan jalur sebelah barat sehingga rakyat yang datang dari Tanah Abang,
Petamburan dan Palmerah menuju ke Bunderan Slipi terpaksa berjuang sendirian
melawan ABRI-PAMSWAKARSA. Sayang sekali. Padahal bila dilihat programnya sudah
benar: menolak Sidang Umum Istimewa MPR; menuntut dibentuknya pemerintahan
sementara; dan menuntut Dwi-Fungsi ABRI dicabut. Namun, tentu saja, kesalahan
lainnya adalah penolakan oposisi “utama (mainstream)” seperti Gus Dur, Megawati
dan Amin Rais untuk bergabung dengan gerakan mahasiswa-rakyat sehingga dapat
mempermudah ajakan bergabung kepada masyarakat luas –karena itu, dan ini pun
merupakan salah satu kesalahan gerakan mahasiswa, mereka harus lebih percaya
diri dan tidak dapat menggantungkan harapannya pada oposisi semacam itu;
gerakan mahasiswa-rakyat harus percaya bahwa mereka dapat
melakukan/melaksanakan/mewujudkan cita-citanya, program-programnya, sendiri,
MAHASISWA DAN RAKYAT. Rakyat-mahasiwa sudah bergabung, sudah menunjukkan
kemampuannya menyudutkan rejim Habibie-ABRI yang sudah membunuhi
mahasiswa-rakyat, namun kesempatan untuk mendorong, menyelesaikan, gerakan
reformasi total ditangguhkan sehingga memberikan kesempatan kepada rejim
Habibie-ABRI untuk menyusun kembali kekuatannya. Apalagi setelah hari sabtu
programnya sudah bergeser menjadi tuntutan untuk mengadili diktaktor Soeharto
yang, cilakanya, sudah tidak mau menggabung, mengajak, rakyat luas –jalur
pawainya sudah tidak di jalur-jalur strategis yang dapat mengajak rakyat luas
seperti pada tanggal, terutama, 12, 13 November, 1998. Padahal besoknya jelas
hari Minggu. Artinya bila esoknya ada aksi yang benar, seperti hari-hari
sebelumnya, maka kemungkinan rakyat yang mau bergabung akan semakin luas/besar.
Dan benar apa
yang kita lihat kemudian; Rejim Habibie-ABRI mulai menunjukkan kediktatorannya;
Barisan Nasional dipilih menjadi sasaran kambing hitam; Mereka mulai
menguasai/mengendalikan propaganda dan alat-alatnya, yang diarahkan untuk
menggambarkan bahwa pemerintah Habibie-ABRI adalah pemerintah pro-reformasi dan
tidak menginginkan peristiwa Semanggi. Sementara Wiranto, tanpa malu-malu,
membuat pernyataan di depan anggota legislatif bahwa peristiwa Semanggi adalah
untuk menyelamatkan kedudukan anggota-anggota legislatif –“bila tidak demikian
and-anda mungkin sudah tidak duduk lagi di sini”—yang disambut dengan tawa riuh
anggota-anggota legislatif; dan mereka mulai mencoba mengambil hati (window
dressing) mahasiswa-rakyat dengan menghukum prajurit yang bersalah Sementara
itu di hadapan mahasiswa jelas terbayang situasi ke depan yang sangat tidak
mendukung untuk mendorong menuntaskan gerakan reformasi total: ujian di hampir
seluruh kampus, puasa ramadhan, natal, lebaran, liburan yang cukup panjang
(bahkan di kampus-kampus swasta --yang juga menjadi basis massa gerakan
mahasiswa-- baru masuk pada akhir febuari hingga awal Maret 1999).
Sementara itu,
di tengah mandegnya aksi mahasiswa-rakyat, penguasa Orde Baru dan para politisi
gadungan langsung memanfaatkan keadaan ini dengan menyerukan kepada
mahasiswa-rakyat untuk menghentikan aksi mereka. Bahkan mereka berkoar-koar
bahwa satu-satunya jalan untuk mencapai demokrasi adalah melalui pemilu.
Mahasiswa tak mampu menghadapi propaganda ini baik akibat faktor obyektif
(ujian, puasa, natal, lebaran dan liburan) dan juga faktor subyektif (lemahnya
massa yang terorganisasi/terpolitisasi/terideologisasi secara baik di
dalamnya). Kedua hal ini akan kita bongkar secara lebih mendalam.
Seluruh gerakan mahasiswa-rakyat tidak mampu memetik hasil secara maksimal dari aksi-aksi dan radikalisasi selama tahun 1998, yakni dalam hal dalam membangun kekuatan organisasi mahasiswa-rakyat. Kesadaran massa tidak didorong ke kesadaran perjuangan yang lebih maju sifatnya. Artinya bahwa mahasiswa bergerak bukan saja untuk menjatuhkan diktaktor Suharto melainkan mengganti pengertian-pengertian, perangkat-perangkat, tata cara dan praktek-praktek rejim Orde Baru secara keseluruhan. Walaupun, memang benar, benar bahwa dalam aksi-aksi atau diskusi informal sering dikumandangkan slogan-slogan seperti “Revolusi, Revolusi, Revolusi Sampai Mati!”, “Tuntaskan Reformasi Total!”, atau “Tuntaskan Revolusi Demokratik” oleh beberapa individu atau kelompok/organisasi mahasiswa. Namun hal itu belum dominan di kalangan gerakan mahasiswa-rakyat. Dan benar juga bahwa di beberapa organisasi mahasiswa diselenggarakan kursus-kursus politik yang dimaksudkan sebagai basis teori untuk memahami kenapa pengertian-pengertian, perangkat-perangkat, tata cara, dan praktek-praktek rejim Orde Baru harus diganti secara keseluruhan (atau istilahnya reformasi total). Tetapi yang terlibat dalam kursus politik ini hanya lah “segelintir orang” dan bukan menjadi pekerjaan yang bersifat massal. Padahal dengan bangkitnya gerakan mahasiswa-rakyat secara massal maka tugas untuk memasukkan, mengembangkan, kesadaran politik yang lebih maju juga harus dilakukan secara massal. Mungkin yang perlu disadari adalah bahwa kesadaran politik yang lebih maju tidak muncul langsung hanya sebagai hasil perjuangan spontan aksi-aksi dan radikalisasi perlawanan. Melainkan hasil kesatuan dari perjuangan praktek (aksi-aksi) dan juga pejuangan di tingkatan pemahaman atau teori. Kosongnya perjuangan teori ini mengakibatkan:
Seluruh gerakan mahasiswa-rakyat tidak mampu memetik hasil secara maksimal dari aksi-aksi dan radikalisasi selama tahun 1998, yakni dalam hal dalam membangun kekuatan organisasi mahasiswa-rakyat. Kesadaran massa tidak didorong ke kesadaran perjuangan yang lebih maju sifatnya. Artinya bahwa mahasiswa bergerak bukan saja untuk menjatuhkan diktaktor Suharto melainkan mengganti pengertian-pengertian, perangkat-perangkat, tata cara dan praktek-praktek rejim Orde Baru secara keseluruhan. Walaupun, memang benar, benar bahwa dalam aksi-aksi atau diskusi informal sering dikumandangkan slogan-slogan seperti “Revolusi, Revolusi, Revolusi Sampai Mati!”, “Tuntaskan Reformasi Total!”, atau “Tuntaskan Revolusi Demokratik” oleh beberapa individu atau kelompok/organisasi mahasiswa. Namun hal itu belum dominan di kalangan gerakan mahasiswa-rakyat. Dan benar juga bahwa di beberapa organisasi mahasiswa diselenggarakan kursus-kursus politik yang dimaksudkan sebagai basis teori untuk memahami kenapa pengertian-pengertian, perangkat-perangkat, tata cara, dan praktek-praktek rejim Orde Baru harus diganti secara keseluruhan (atau istilahnya reformasi total). Tetapi yang terlibat dalam kursus politik ini hanya lah “segelintir orang” dan bukan menjadi pekerjaan yang bersifat massal. Padahal dengan bangkitnya gerakan mahasiswa-rakyat secara massal maka tugas untuk memasukkan, mengembangkan, kesadaran politik yang lebih maju juga harus dilakukan secara massal. Mungkin yang perlu disadari adalah bahwa kesadaran politik yang lebih maju tidak muncul langsung hanya sebagai hasil perjuangan spontan aksi-aksi dan radikalisasi perlawanan. Melainkan hasil kesatuan dari perjuangan praktek (aksi-aksi) dan juga pejuangan di tingkatan pemahaman atau teori. Kosongnya perjuangan teori ini mengakibatkan:
1. Mahasiswa tidak mampu menghadapi propaganda pemerintah yang
berkampanye tentang pemilu sebagai jalan untuk mencapai demokrasi --yang
sebenarnya dimaksudkan untuk meredam laju gerakan reformasi total yang kini
sudah ke tahap akan dilakukan/diwujudkan oleh mahasiswa-rakyat dengan dipimpin
oleh mahasiswa “pelopor” penumbangan diktator Suharto;
2. Massa terpolitisir dengan propaganda pemerintah Habibie-ABRI.
Faktanya adalah massa yang terlibat dalam aksi-aksi yang digalang oleh
kelompok-kelompok mahasiswa yang setia menolak pemerintahan Habibie-ABRI dan
mempropagandakan pemerintahan transisi jumlahnya sangat kecil. Bahkan di
beberapa kelompok memilih untuk setuju dengan pemilu yang diprogramkan oleh
pemerintah –kasus terbentuknya pemantau pemilu dari kalangan
mahasiswa/universitas, FPPI. Walaupun mereka tahu bahwa pemilu sudah tidak
demokratis dan jurdil sejak awalnya. Dan ini bukanlah langkah taktis seperti
misalnya yang dilakukan oleh Partai Rakyat Demokratik (PRD). Karena tujuan PRD
untuk terlibat dalam Pemilu adalah rangka justru berkampanye terhadap rakyat
bahwa pemilu ini tidak demokratik, tidak jurdil dan, karenanya, tidak sah.
Selain itu juga, PRD tidak mengharamkan –bahkan mencoba mengangkat
potensi/kesanggupan/perwujudan-- gerakan boikot pemilu asalkan itu dikehendaki
dan dilakuakn oleh mahasiswa-rakyat. Mahasiwa sendirian tidak akan berhasil;
dan rakyat sendirian juga tak akan menang karena, sampai saat ini, rakyat masih
selalu menunggu pelopornya –ini karena sudah 30 tahun lebih rakyat dibungkam,
ditindas, sehingga tak memiliki pengalaman/pemahaman yang baik dalam organisasi
dan politik. PRD tidak akan membiarkan mahasiswa-rakyat dibiarkan ditipu oleh
rejim Habibie-ABRI dan partai politik-partai politik gadungan yang suka
menyelewengkan kehendak sejati rakyat. Tindakan PRD adalah satu langkah taktis
dan bukannya kompromi. Dalam hal ini pernyataan yang ada dalam Moekadimah
undangan pertemuan mahasiswa Rembuk Nasional Mahasiswa Indonesia di Denpasar,
Bali, sangat tepat. Isi dari Moekadimah menyatakan bahwa,
3. “… Kawan-kawan DIAM atau MUNDUR adalah PENGKHIANATAN! Berdamai
dengan kekuasaaan dalam segala bentuk tawar menawar dan rasionalisasi, entah
menjadi bagian dari birokrasi ataupun sekedar menjadi pemantau pemilu,
sesungguhnya mempunyai arti yang sama dengan inkonsistensi dari cita-cita
perjuangan membangun Indonesia baru yang Demokratis! Berdamai juga berarti
berkhianat pada darah Rakyat dan kawan-kawan seperjuangan yang telah gugur
dalam berbagai peristiwa perjuangan heroik seperti, Tragedi Ujung Pandang,
Tragedi Trisakti (dan terjadi lagi tanggal 31 Maret, 1999 –PRD), dan Tragedi
Semanggi. Berdamai juga berarti berkhianat pada intelektualitas dan
fakta-fakta! Berdamai adalah kompromi dengan kedzoliman dan menyetujui
kepalsuan!”;
4. Massa mahasiswa mulai banyak yang terseret dalam propaganda untuk
mengawasi pemilu (dengan harapan pemilu akan berlangsung dengan jurdil). Ikut
masuk kedalam jaringan KIPP atau UNFREL;
5. Aksi-aksi memang tetap berlangsung, dan radikalisasinya tak
menurun. Namun radikalisasi yang tidak diiringi dengan pengolahan dan
pembesaran massa yang besar malah akan dapat memperlemah organisasi. Apalagi
tuntutan politis yang disuarakan kurang mendapat dukungan dari
kelompok-kelompok lain;
6. Tidak adanya kebutuhan mendesak --kebutuhan yang
benar-benar datang dari kehendak untuk segera mewujudkan program-program
tuntutan—untuk sesegera mungkin menyatukan gerakan mahasiswa itu sendiri secara
nasional dan menyatukan gerakan mahasiswa (nasional) dengan rakyat;
7. Rakyat yang masih lemah organisasi dan politiknya –yang membutuhkan
kepeloporan mahasiswa—dibiarkan menunggu, dibiarkan berjuang sendiri.
Fakta yang paling jelas untuk menunjukkan bahwa perjuangan di tingkatan
teori diabaikan adalah tidak adanya terbitan propaganda mahasiswa, baik
terbitan dari masing-masing kelompok mahasiswa atau pun terbitan propaganda di
tingkat gabungan/persatuan/aliansi apalagi yang berskala nasional. Yang ada
hanyalah sebatas terbitan yang bersifat agitatif (yang kebanyakan dalam bentuk
selebaran). Ini bukan berarti selebaran tidak penting, justru sebaliknya sangat
penting (bahkan masih sangat kurang dalam segi jumlah), tetapi kelemahannya
adalah selebaran tidak dibarengi dengan terbitan yang sifatnya teoritik,
analitik.
Padahal jelas
terbitan merupakan senjatanya organisasi: baik untuk perang melawan propaganda
pemerintah dan para politisi gadungan, maupun untuk memasukkan kesadaran
politik yang lebih maju di kalangan mahasiswa (untuk menyatukan
pemahaman/pandangan ke depan gerakan mahasiswa), dan juga sebagai alat
penggalangan/pengorganisiran massa.
Lalu apa yang harus dilakukan?
Kelemahan yang ada dalam organisasi-organisasi mahasiswa tidak patut untuk dijadikan alasan kita untuk menghilangan harapan/semangat. Karena ada faktor-faktor di luar mahasiswa yang justru harus menjadi pijakan untuk bertindak. Faktor-faktor tersebut adalah: pertama, krisis ekonomi dan politik yang semakin parah, yang berbarengan dengan saat pemilu; kedua, kesadaran rakyat yang sebenarnya masih terpendam, yakni kesadaran sebagaian besar rakyat menolak keberadaan pemerintahan Habibie-ABRI (baca: pemerintahan Habibie-ABRI harus diganti) walaupun dengan berbagai macam variannya seperti:
Lalu apa yang harus dilakukan?
Kelemahan yang ada dalam organisasi-organisasi mahasiswa tidak patut untuk dijadikan alasan kita untuk menghilangan harapan/semangat. Karena ada faktor-faktor di luar mahasiswa yang justru harus menjadi pijakan untuk bertindak. Faktor-faktor tersebut adalah: pertama, krisis ekonomi dan politik yang semakin parah, yang berbarengan dengan saat pemilu; kedua, kesadaran rakyat yang sebenarnya masih terpendam, yakni kesadaran sebagaian besar rakyat menolak keberadaan pemerintahan Habibie-ABRI (baca: pemerintahan Habibie-ABRI harus diganti) walaupun dengan berbagai macam variannya seperti:
1. Karena
pemerintahan Habibie tidak bisa menyelesaikan krisis ekonomi dan membiarkan
rakyat semakin menderita: PHK; upah yang diterima semakin tidak cukup untuk
hidup, harga-harga yang tidak pernah turun lagi, dan sebagainya;
2. Kerusuhan
terjadi terus menerus;
3. Tuntutan
referendum di Aceh dan Papua Barat;
4. Tidak mampu
mencegah kasus SARA;
5. Tabungan
kesadran rakyat sebagai hasil dari propaganda politik dan pengalaman perlawanan
rakyat sebelumnya yang siap untuk meletus kembali;
6. Dll.
Dalam hal
kenapa rakyat tidak bisa bergerak kembali adalah karena semata-mata mereka
tidak memiliki wadah yang kuat dan pelopor –dalam hal ini gerakan mahasiswa--
yang mengajaknya di jalur-jalur strategis di mulut-mulut gang pemukiman mereka
(ungat pengalaman 12-14, November, 1998).
Faktor-faktor
tersebut di atas lah yang harus menjadi pijakan dalam menentukan program dan
strategi-taktik perjuangan kita. Jadi
program untuk mengganti pemerintahan Habibie-ABRI dengan pemerintahan transisi pada saat ini adalah program yang tepat dan merupakan propaganda mendesak. Tetapi yang terpenting lagi adalah bagaimana strategi-taktik kita untuk mencapainya.
Gerakan mahasiswa harus menyadari bahwa hanya dengan kekuatan mahasiswa saja kita tak akan mampu menggantikan pemerintahan Habibie-ABRI dengan pemerintahan transisi. Apalagi saat ini musuh mahasiswa bukan rejim Orde Baru pemerintah-Habibie saja, melainkan juga para politisi gadungan, yang saat ini sedikit banyak sudah terbuai oleh skenario bagian dari kubu rejim Habibie-ABRI. Mereka adalah para politisi yang menentang terbentuknya pemerintahan transisi; tidak setuju Dwi Fungsi ABRI dicabut sekarang juga (tetapi lima atau sepuluh tahun kemudian); tidak setuju pembebasan seluruh Tapol/Napol; tidak setuju Timor Timur merdeka; yang mengkampanyekan politik SARA. Mereka semua telah menjadi bagian dari kekuatan pro status quo/anti-perubahan, menjadi bagian dari rejim Habibie-ABRI. Mereka saat ini telah menjadi kelompok anti reformasi total.
program untuk mengganti pemerintahan Habibie-ABRI dengan pemerintahan transisi pada saat ini adalah program yang tepat dan merupakan propaganda mendesak. Tetapi yang terpenting lagi adalah bagaimana strategi-taktik kita untuk mencapainya.
Gerakan mahasiswa harus menyadari bahwa hanya dengan kekuatan mahasiswa saja kita tak akan mampu menggantikan pemerintahan Habibie-ABRI dengan pemerintahan transisi. Apalagi saat ini musuh mahasiswa bukan rejim Orde Baru pemerintah-Habibie saja, melainkan juga para politisi gadungan, yang saat ini sedikit banyak sudah terbuai oleh skenario bagian dari kubu rejim Habibie-ABRI. Mereka adalah para politisi yang menentang terbentuknya pemerintahan transisi; tidak setuju Dwi Fungsi ABRI dicabut sekarang juga (tetapi lima atau sepuluh tahun kemudian); tidak setuju pembebasan seluruh Tapol/Napol; tidak setuju Timor Timur merdeka; yang mengkampanyekan politik SARA. Mereka semua telah menjadi bagian dari kekuatan pro status quo/anti-perubahan, menjadi bagian dari rejim Habibie-ABRI. Mereka saat ini telah menjadi kelompok anti reformasi total.
Jadi jelas
bahwa gerakan/kekuatan mahasiswa sebagai salah satu kekuatan perjuangan
demokrasi harus membangun dan memperbesar kekuatan demokrasi. Perjuangan
demokrasi harus direbut bersama-sama dengan rakyat. Pembangunan kekuatan ini
lah sebenarnya yang menjadi masalah utama gerakan demokrasi di Indonesia, yang
juga harus diakui sebagai masalah gerakan mahasiswa –karena itu juga menjadi
tugas gerakan mahasiswa untuk menyelesaikannya.
Di atas telah
dijelaskan bahwa kesadaran politik rakyat --yang masih terpendam-- tidak setuju
dengan pemerintahan Habibie-ABRI; atau dengan kata lain: sudah tidak setuju
–ingin menggantikan—pengertian-pengertian, perangkat-perangkat, tata cara, dan
praktek-praktek rejim Orde Baru yang Baru (OBB), rejim Orde Baru Habibie-ABRI,
yang tidak tulus, tidak setia, terhadap tuntutan reformasi total Tetapi
kesadaran ini belum digalang/diorganisir menjadi kekuatan material (baca:
kekuatan dalam organisasi-organisasi perjuangan) di jalan-jalan. Benar bahwa
rakyat saat ini mulai terseret masuk ke partai-partai politik (termasuk partai
politik yang pro status quo/anti-perubahan). Jangan salah rakyat bila mereka
kemudian terserap ke dalam partai-partai gadungan tersebut; apalagi
organisasi-organisasi perjuangan mahasiswa masih memisahkan diri dengan rakyat.
Padahal dari analisa diatas jelas bahwa KESADARAN MAHASISWA DAN KESADARAN
RAKYAT SAMA-SAMA MENGINGINKAN REJIM HABIBIE-ABRI DENGAN SELURUH
PENGERTIAN-PENGERTIANNYA, PERANGKAT-PERANGKATNYA, TATA-CARA DAN
PRAKTEK-PRAKTEKNYA DIGANTI. Sementara ITU, organisasi-organisasi perlawanan di
luar mahasiswa seperti organisasi buruh; organisasi tani, organisasi kaum
miskin perkotaan, organisasi perempuan atau pun partai politik seperti PRD dan
lain sebagainya, yang punya kesadaran dan tujuan yang sama dengan mahasiswa,
juga masih lemah kekuatannya.
Ini
menunjukkan bahwa seluruh kekuatan-kekuatan gerakan reformasi total, gerakan
demokratik, baik di antara kekuatan pelopor itu sendiri –organisasi-organisasi
mahasiswa-- dengan organisasi buruh, dengan organisasi tani, dengan organisasi
kaum miskin perkotaan, dengan organisasi perempuan, dengan partai politik
(baca: PRD) dan lain secara keseluruhan belum bersatu, belum menemukan wadahnya
dan caranya.
Jadi jelas
dalam strategi-taktik jangka panjang –sebenarnya bisa dalam jangka pendek--
kebutuhan untuk bertemunya seluruh kekuatan ini dalam wadah persatuan
perjuangan di tingkatan nasional adalah suatu kebutuhan mendesak. Bila kekuatan
ini bisa bersatu maka kebutuhan untuk berpropaganda terhadap rakyat sekaligus
perang terhadap propaganda rejim Habibie-ABRI dan kekuatan pro status quo/anti
perubahan lainnya akan dapat dimenangkan. Karena kesadaran sejati rakyat
(sekali lagi yang masih terpendam/belum digalang menjadi kekuatan) yang, sekali
lagi, sejalan dengan program-program tuntutan gerakan mahasiswa –Tolak Rejim
Habibie-ABRI!; Bentuk Pemerintahan Transisi!; Cabut Dwi-Fungsi ABRI!-- hanya
akan bisa bersatu dengan dengan organisasi-organisasi perjuangan tersebut, dan
bukannya dengan partai politik-partai politik gadungan yang pro status
quo/anti-perubahan.
Sementara itu di hadapan kita
jelas terbentang adanya kesempatan/momentum besar, yakni pemilu.
Kesempatan/momentum ini tidak mungkin kita biarkan untuk dijadikan alat oleh
rejim Habibie-ABRI dan partai politik-partai politik gadungan untuk kembali
menipu rakyat. Tanpa keterlibatan kita maka rakyat akan termakan tipu mereka.
Ada beberapa langkah yang harus dilakukan di mahasiswa yaitu:
Ada beberapa langkah yang harus dilakukan di mahasiswa yaitu:
1.
Membangun kembali kekuatan mahasiswa dengan cara:
Meningkatkan propaganda ke kalangan mahasiswa sendiri dalam bentuk: diskusi;
pamflet; selebaran, diskusi, terbitan-terbitan lainnya;? Melakukan aksi-aksi
kembali baik aksi di kampus-kampus (untuk mengkonsolidasikan mahasiswa) maupun
aksi di jalanan; atau pun aksi gabungan antar kampus;
2.
Berusaha melibatkan rakyat dalam aksinya dengan cara:
Bertemu dan membuat persatuan/aliansi dengan organisasi-organisasi perjuangan
non mahasiswa. Jangan menyendiri/sektarian dan keras kepala enggan memasukkan
tuntutan rakyat, yang ekonomis sekali pun ke dalam tuntutan perjuangan.
Sebaliknya mahasiswa harus berpropaganda kepada organisasi rakyat non mahasiswa
atau kepada rakyat langsung (yang belum teroganisir) untuk memberikan
pengertian bahwa rakyat harus juga berpolitik; Mengambil jalur-jalur jalan
strategis –jalan-jalan besar yang banyak mulut-mulut gang ke pemukiman yang
banyak penduduknya-- dalam pawainya/aksinya sehingga mampu mengajak rakyat
terlibat/bergabung dalam aksi yang dipelopori mahasiswa. Pengalaman perlawanan
di bulan November yang telah membuktikan ini!; berpropaganda ke rakyat dengan
selebaran-selebaran dan poster di kampung-kampung; Mengundang rakyat untuk
hadir dalam aksi-aksi mahasiswa yang dilakukan baik di kampus ataupun
tempat-tempat umum lainnya;
3.
Dalam agenda jangka panjang (agenda selanjutnya), jelas
mahasiswa harus terjun ke rakyat, menggalang/mengorganisir dan membangun
wadah-wadah/organisasi-organisasi perjuangan rakyat;
4.
Harus mengagendakan aksi-aksi yang dilaksanakan secara
serentak (nasional) dengan tuntutan dan waktu yang sama;
5. Semua peristiwa perjuangan nasional harus
dijadikan sebagai hari aksi nasional seperti: tragedi trisakti, tumbangnya
diktaktor Soeharto, Tragedi Semanggi, bahkan hari perjuangan buruh 1 mei juga
dapat dilakukan sebagai hari aksi nasional.
Semua hal yang
dijelaskan di atas sudah harus dilakukan sejak dini. Semakin sering maka
semakin bertambah jumlah massa yang terlibat dalam aksi ini; Semakin menasional
aksinya (dilakukan serentak di semua daerah) dan berhasil mengajak sektor yang
lain untuk menyepakati tuntutan perjuangan yang sama, maka kekuatan ini akan sanggup
berhadapan dengan kekuatan rejim Habibie-Soeharto dan kekuatan pro status
quo/anti perubahan lainnya.