Tugas Mahasiswa-Rakyat


Mulai dari empat bulan sejak peristiwa Semanggi, 12-14 November, 1998, aksi-aksi mahasiswa --apalagi aksi mahasiswa-rakyat-- mulai terlihat mengalami penurunan dalam jumlah massa yang dapat digerakkan dalam setiap aksinya. Ini terjadi baik dalam aksi yang dilakukan masing-masing kelompok/organisasi mahasiswa maupun aksi-aksi yang sifatnya gabungan antar kelompok/organisasi mahasiswa. Aksi gabungan kelompok/organisasi yang terjadi juga tak menunjukkan kebesaran dalam hal jumlah massanya, bahkan hampir sulit untuk melebihi jumlah 1.000 orang. Mengapa hal ini bisa terjadi? Padahal kita tahu semua bahwa penguasa/ABRI tidak dapat lagi melakukan penindasan yang berarti terhadap gerakan mahasiswa, apalagi gerakan mahasiswa-rakyat. Benar bahwa di Jakarta hampir setiap aksi mahasiswa (khususnya aksi-aksi dari kelompok radikal seperti FORKOT, FAMRED, AMARAH atau pun KMB) selalu dipukul dengan alasan tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Pemukulan ini tidak bisa dijadikan alasan. Alasan sebenarnya adalah karena aksi ini jumlah massa yang terlibat sangat kecil, apalagi tanpa melibatkan rakyat seperti pada tanggal 12-14 November, 1998. Jadi cukup mengherankan bila gerakan mahasiswa “tiba-tiba” mandeg setelah mengalami kebangkitan yang luar biasa sepanjang tahun 1998. Apalagi, seperti kita tahu, kebangkitan gerakan mahasiswa tersebut lebih berharga, lebih berkualitas, dibanding dengan yang sebelum-sebelumnya karena sudah melibatkan rakyat dalam aksinya. Oleh karena itu sangat lah penting untuk menganalisa mengapa gerakan mahasiswa yang sudah melibatkan rakyat ini –sehingga lebih memiliki daya tekan, daya gedor, terhadap rejim Habibie-ABRI—mengalami kemunduran seperti ini.
Salah satu kesalahan dari mahasiswa di Jakarta adalah ketika merka tidak mau mempertahankan halaman depan MPR/DPR pada punck perlawanan (pada hari Sabtu, 14 November, 1998), padahal mereka sudah menguasainya bersama ratusan ribu rakyat yang mendukungnya. Kejadiannya akan lain bila mereka mempertahankannya bersama rakyat, dan menjadikan Halam MPR/DPR sebagai “markas” atau pusat untuk memperbesar dukungan rakyat; kesalahan lainnya adalah: walupun sektor atau jalur (route) berpawai kelompok-kelompok/organisasi-organisasi mahasiswa-rakyat itu berlain-lainan, namun seharusnya mereka ada dalam kesatuan atau ada dalam satu paket yang sedang membagi-bagi tugas/jalur. Apalagi pada tanggal 13 November, 1998, mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam FORKOT sudah meninggalkan jalur sebelah barat sehingga rakyat yang datang dari Tanah Abang, Petamburan dan Palmerah menuju ke Bunderan Slipi terpaksa berjuang sendirian melawan ABRI-PAMSWAKARSA. Sayang sekali. Padahal bila dilihat programnya sudah benar: menolak Sidang Umum Istimewa MPR; menuntut dibentuknya pemerintahan sementara; dan menuntut Dwi-Fungsi ABRI dicabut. Namun, tentu saja, kesalahan lainnya adalah penolakan oposisi “utama (mainstream)” seperti Gus Dur, Megawati dan Amin Rais untuk bergabung dengan gerakan mahasiswa-rakyat sehingga dapat mempermudah ajakan bergabung kepada masyarakat luas –karena itu, dan ini pun merupakan salah satu kesalahan gerakan mahasiswa, mereka harus lebih percaya diri dan tidak dapat menggantungkan harapannya pada oposisi semacam itu; gerakan mahasiswa-rakyat harus percaya bahwa mereka dapat melakukan/melaksanakan/mewujudkan cita-citanya, program-programnya, sendiri, MAHASISWA DAN RAKYAT. Rakyat-mahasiwa sudah bergabung, sudah menunjukkan kemampuannya menyudutkan rejim Habibie-ABRI yang sudah membunuhi mahasiswa-rakyat, namun kesempatan untuk mendorong, menyelesaikan, gerakan reformasi total ditangguhkan sehingga memberikan kesempatan kepada rejim Habibie-ABRI untuk menyusun kembali kekuatannya. Apalagi setelah hari sabtu programnya sudah bergeser menjadi tuntutan untuk mengadili diktaktor Soeharto yang, cilakanya, sudah tidak mau menggabung, mengajak, rakyat luas –jalur pawainya sudah tidak di jalur-jalur strategis yang dapat mengajak rakyat luas seperti pada tanggal, terutama, 12, 13 November, 1998. Padahal besoknya jelas hari Minggu. Artinya bila esoknya ada aksi yang benar, seperti hari-hari sebelumnya, maka kemungkinan rakyat yang mau bergabung akan semakin luas/besar.
Dan benar apa yang kita lihat kemudian; Rejim Habibie-ABRI mulai menunjukkan kediktatorannya; Barisan Nasional dipilih menjadi sasaran kambing hitam; Mereka mulai menguasai/mengendalikan propaganda dan alat-alatnya, yang diarahkan untuk menggambarkan bahwa pemerintah Habibie-ABRI adalah pemerintah pro-reformasi dan tidak menginginkan peristiwa Semanggi. Sementara Wiranto, tanpa malu-malu, membuat pernyataan di depan anggota legislatif bahwa peristiwa Semanggi adalah untuk menyelamatkan kedudukan anggota-anggota legislatif –“bila tidak demikian and-anda mungkin sudah tidak duduk lagi di sini”—yang disambut dengan tawa riuh anggota-anggota legislatif; dan mereka mulai mencoba mengambil hati (window dressing) mahasiswa-rakyat dengan menghukum prajurit yang bersalah Sementara itu di hadapan mahasiswa jelas terbayang situasi ke depan yang sangat tidak mendukung untuk mendorong menuntaskan gerakan reformasi total: ujian di hampir seluruh kampus, puasa ramadhan, natal, lebaran, liburan yang cukup panjang (bahkan di kampus-kampus swasta --yang juga menjadi basis massa gerakan mahasiswa-- baru masuk pada akhir febuari hingga awal Maret 1999).
Sementara itu, di tengah mandegnya aksi mahasiswa-rakyat, penguasa Orde Baru dan para politisi gadungan langsung memanfaatkan keadaan ini dengan menyerukan kepada mahasiswa-rakyat untuk menghentikan aksi mereka. Bahkan mereka berkoar-koar bahwa satu-satunya jalan untuk mencapai demokrasi adalah melalui pemilu. Mahasiswa tak mampu menghadapi propaganda ini baik akibat faktor obyektif (ujian, puasa, natal, lebaran dan liburan) dan juga faktor subyektif (lemahnya massa yang terorganisasi/terpolitisasi/terideologisasi secara baik di dalamnya). Kedua hal ini akan kita bongkar secara lebih mendalam.
Seluruh gerakan mahasiswa-rakyat tidak mampu memetik hasil secara maksimal dari aksi-aksi dan radikalisasi selama tahun 1998, yakni dalam hal dalam membangun kekuatan organisasi mahasiswa-rakyat. Kesadaran massa tidak didorong ke kesadaran perjuangan yang lebih maju sifatnya. Artinya bahwa mahasiswa bergerak bukan saja untuk menjatuhkan diktaktor Suharto melainkan mengganti pengertian-pengertian, perangkat-perangkat, tata cara dan praktek-praktek rejim Orde Baru secara keseluruhan. Walaupun, memang benar, benar bahwa dalam aksi-aksi atau diskusi informal sering dikumandangkan slogan-slogan seperti “Revolusi, Revolusi, Revolusi Sampai Mati!”, “Tuntaskan Reformasi Total!”, atau “Tuntaskan Revolusi Demokratik” oleh beberapa individu atau kelompok/organisasi mahasiswa. Namun hal itu belum dominan di kalangan gerakan mahasiswa-rakyat. Dan benar juga bahwa di beberapa organisasi mahasiswa diselenggarakan kursus-kursus politik yang dimaksudkan sebagai basis teori untuk memahami kenapa pengertian-pengertian, perangkat-perangkat, tata cara, dan praktek-praktek rejim Orde Baru harus diganti secara keseluruhan (atau istilahnya reformasi total). Tetapi yang terlibat dalam kursus politik ini hanya lah “segelintir orang” dan bukan menjadi pekerjaan yang bersifat massal. Padahal dengan bangkitnya gerakan mahasiswa-rakyat secara massal maka tugas untuk memasukkan, mengembangkan, kesadaran politik yang lebih maju juga harus dilakukan secara massal. Mungkin yang perlu disadari adalah bahwa kesadaran politik yang lebih maju tidak muncul langsung hanya sebagai hasil perjuangan spontan aksi-aksi dan radikalisasi perlawanan. Melainkan hasil kesatuan dari perjuangan praktek (aksi-aksi) dan juga pejuangan di tingkatan pemahaman atau teori. Kosongnya perjuangan teori ini mengakibatkan:
1. Mahasiswa tidak mampu menghadapi propaganda pemerintah yang berkampanye tentang pemilu sebagai jalan untuk mencapai demokrasi --yang sebenarnya dimaksudkan untuk meredam laju gerakan reformasi total yang kini sudah ke tahap akan dilakukan/diwujudkan oleh mahasiswa-rakyat dengan dipimpin oleh mahasiswa “pelopor” penumbangan diktator Suharto;
2. Massa terpolitisir dengan propaganda pemerintah Habibie-ABRI. Faktanya adalah massa yang terlibat dalam aksi-aksi yang digalang oleh kelompok-kelompok mahasiswa yang setia menolak pemerintahan Habibie-ABRI dan mempropagandakan pemerintahan transisi jumlahnya sangat kecil. Bahkan di beberapa kelompok memilih untuk setuju dengan pemilu yang diprogramkan oleh pemerintah –kasus terbentuknya pemantau pemilu dari kalangan mahasiswa/universitas, FPPI. Walaupun mereka tahu bahwa pemilu sudah tidak demokratis dan jurdil sejak awalnya. Dan ini bukanlah langkah taktis seperti misalnya yang dilakukan oleh Partai Rakyat Demokratik (PRD). Karena tujuan PRD untuk terlibat dalam Pemilu adalah rangka justru berkampanye terhadap rakyat bahwa pemilu ini tidak demokratik, tidak jurdil dan, karenanya, tidak sah. Selain itu juga, PRD tidak mengharamkan –bahkan mencoba mengangkat potensi/kesanggupan/perwujudan-- gerakan boikot pemilu asalkan itu dikehendaki dan dilakuakn oleh mahasiswa-rakyat. Mahasiwa sendirian tidak akan berhasil; dan rakyat sendirian juga tak akan menang karena, sampai saat ini, rakyat masih selalu menunggu pelopornya –ini karena sudah 30 tahun lebih rakyat dibungkam, ditindas, sehingga tak memiliki pengalaman/pemahaman yang baik dalam organisasi dan politik. PRD tidak akan membiarkan mahasiswa-rakyat dibiarkan ditipu oleh rejim Habibie-ABRI dan partai politik-partai politik gadungan yang suka menyelewengkan kehendak sejati rakyat. Tindakan PRD adalah satu langkah taktis dan bukannya kompromi. Dalam hal ini pernyataan yang ada dalam Moekadimah undangan pertemuan mahasiswa Rembuk Nasional Mahasiswa Indonesia di Denpasar, Bali, sangat tepat. Isi dari Moekadimah menyatakan bahwa,
3. “… Kawan-kawan DIAM atau MUNDUR adalah PENGKHIANATAN! Berdamai dengan kekuasaaan dalam segala bentuk tawar menawar dan rasionalisasi, entah menjadi bagian dari birokrasi ataupun sekedar menjadi pemantau pemilu, sesungguhnya mempunyai arti yang sama dengan inkonsistensi dari cita-cita perjuangan membangun Indonesia baru yang Demokratis! Berdamai juga berarti berkhianat pada darah Rakyat dan kawan-kawan seperjuangan yang telah gugur dalam berbagai peristiwa perjuangan heroik seperti, Tragedi Ujung Pandang, Tragedi Trisakti (dan terjadi lagi tanggal 31 Maret, 1999 –PRD), dan Tragedi Semanggi. Berdamai juga berarti berkhianat pada intelektualitas dan fakta-fakta! Berdamai adalah kompromi dengan kedzoliman dan menyetujui kepalsuan!”;
4. Massa mahasiswa mulai banyak yang terseret dalam propaganda untuk mengawasi pemilu (dengan harapan pemilu akan berlangsung dengan jurdil). Ikut masuk kedalam jaringan KIPP atau UNFREL;
5. Aksi-aksi memang tetap berlangsung, dan radikalisasinya tak menurun. Namun radikalisasi yang tidak diiringi dengan pengolahan dan pembesaran massa yang besar malah akan dapat memperlemah organisasi. Apalagi tuntutan politis yang disuarakan kurang mendapat dukungan dari kelompok-kelompok lain;
6. Tidak adanya kebutuhan mendesak --kebutuhan yang benar-benar datang dari kehendak untuk segera mewujudkan program-program tuntutan—untuk sesegera mungkin menyatukan gerakan mahasiswa itu sendiri secara nasional dan menyatukan gerakan mahasiswa (nasional) dengan rakyat;
7. Rakyat yang masih lemah organisasi dan politiknya –yang membutuhkan kepeloporan mahasiswa—dibiarkan menunggu, dibiarkan berjuang sendiri.
Fakta yang paling jelas untuk menunjukkan bahwa perjuangan di tingkatan teori diabaikan adalah tidak adanya terbitan propaganda mahasiswa, baik terbitan dari masing-masing kelompok mahasiswa atau pun terbitan propaganda di tingkat gabungan/persatuan/aliansi apalagi yang berskala nasional. Yang ada hanyalah sebatas terbitan yang bersifat agitatif (yang kebanyakan dalam bentuk selebaran). Ini bukan berarti selebaran tidak penting, justru sebaliknya sangat penting (bahkan masih sangat kurang dalam segi jumlah), tetapi kelemahannya adalah selebaran tidak dibarengi dengan terbitan yang sifatnya teoritik, analitik.
Padahal jelas terbitan merupakan senjatanya organisasi: baik untuk perang melawan propaganda pemerintah dan para politisi gadungan, maupun untuk memasukkan kesadaran politik yang lebih maju di kalangan mahasiswa (untuk menyatukan pemahaman/pandangan ke depan gerakan mahasiswa), dan juga sebagai alat penggalangan/pengorganisiran massa.

Lalu apa yang harus dilakukan?
Kelemahan yang ada dalam organisasi-organisasi mahasiswa tidak patut untuk dijadikan alasan kita untuk menghilangan harapan/semangat. Karena ada faktor-faktor di luar mahasiswa yang justru harus menjadi pijakan untuk bertindak. Faktor-faktor tersebut adalah: pertama, krisis ekonomi dan politik yang semakin parah, yang berbarengan dengan saat pemilu; kedua, kesadaran rakyat yang sebenarnya masih terpendam, yakni kesadaran sebagaian besar rakyat menolak keberadaan pemerintahan Habibie-ABRI (baca: pemerintahan Habibie-ABRI harus diganti) walaupun dengan berbagai macam variannya seperti:
1. Karena pemerintahan Habibie tidak bisa menyelesaikan krisis ekonomi dan membiarkan rakyat semakin menderita: PHK; upah yang diterima semakin tidak cukup untuk hidup, harga-harga yang tidak pernah turun lagi, dan sebagainya;
2. Kerusuhan terjadi terus menerus;
3. Tuntutan referendum di Aceh dan Papua Barat;
4. Tidak mampu mencegah kasus SARA;
5. Tabungan kesadran rakyat sebagai hasil dari propaganda politik dan pengalaman perlawanan rakyat sebelumnya yang siap untuk meletus kembali;
6. Dll.
Dalam hal kenapa rakyat tidak bisa bergerak kembali adalah karena semata-mata mereka tidak memiliki wadah yang kuat dan pelopor –dalam hal ini gerakan mahasiswa-- yang mengajaknya di jalur-jalur strategis di mulut-mulut gang pemukiman mereka (ungat pengalaman 12-14, November, 1998).
Faktor-faktor tersebut di atas lah yang harus menjadi pijakan dalam menentukan program dan strategi-taktik perjuangan kita. Jadi
program untuk mengganti pemerintahan Habibie-ABRI dengan pemerintahan transisi pada saat ini adalah program yang tepat dan merupakan propaganda mendesak. Tetapi yang terpenting lagi adalah bagaimana strategi-taktik kita untuk mencapainya.
Gerakan mahasiswa harus menyadari bahwa hanya dengan kekuatan mahasiswa saja kita tak akan mampu menggantikan pemerintahan Habibie-ABRI dengan pemerintahan transisi. Apalagi saat ini musuh mahasiswa bukan rejim Orde Baru pemerintah-Habibie saja, melainkan juga para politisi gadungan, yang saat ini sedikit banyak sudah terbuai oleh skenario bagian dari kubu rejim Habibie-ABRI. Mereka adalah para politisi yang menentang terbentuknya pemerintahan transisi; tidak setuju Dwi Fungsi ABRI dicabut sekarang juga (tetapi lima atau sepuluh tahun kemudian); tidak setuju pembebasan seluruh Tapol/Napol; tidak setuju Timor Timur merdeka; yang mengkampanyekan politik SARA. Mereka semua telah menjadi bagian dari kekuatan pro status quo/anti-perubahan, menjadi bagian dari rejim Habibie-ABRI. Mereka saat ini telah menjadi kelompok anti reformasi total.
Jadi jelas bahwa gerakan/kekuatan mahasiswa sebagai salah satu kekuatan perjuangan demokrasi harus membangun dan memperbesar kekuatan demokrasi. Perjuangan demokrasi harus direbut bersama-sama dengan rakyat. Pembangunan kekuatan ini lah sebenarnya yang menjadi masalah utama gerakan demokrasi di Indonesia, yang juga harus diakui sebagai masalah gerakan mahasiswa –karena itu juga menjadi tugas gerakan mahasiswa untuk menyelesaikannya.
Di atas telah dijelaskan bahwa kesadaran politik rakyat --yang masih terpendam-- tidak setuju dengan pemerintahan Habibie-ABRI; atau dengan kata lain: sudah tidak setuju –ingin menggantikan—pengertian-pengertian, perangkat-perangkat, tata cara, dan praktek-praktek rejim Orde Baru yang Baru (OBB), rejim Orde Baru Habibie-ABRI, yang tidak tulus, tidak setia, terhadap tuntutan reformasi total Tetapi kesadaran ini belum digalang/diorganisir menjadi kekuatan material (baca: kekuatan dalam organisasi-organisasi perjuangan) di jalan-jalan. Benar bahwa rakyat saat ini mulai terseret masuk ke partai-partai politik (termasuk partai politik yang pro status quo/anti-perubahan). Jangan salah rakyat bila mereka kemudian terserap ke dalam partai-partai gadungan tersebut; apalagi organisasi-organisasi perjuangan mahasiswa masih memisahkan diri dengan rakyat. Padahal dari analisa diatas jelas bahwa KESADARAN MAHASISWA DAN KESADARAN RAKYAT SAMA-SAMA MENGINGINKAN REJIM HABIBIE-ABRI DENGAN SELURUH PENGERTIAN-PENGERTIANNYA, PERANGKAT-PERANGKATNYA, TATA-CARA DAN PRAKTEK-PRAKTEKNYA DIGANTI. Sementara ITU, organisasi-organisasi perlawanan di luar mahasiswa seperti organisasi buruh; organisasi tani, organisasi kaum miskin perkotaan, organisasi perempuan atau pun partai politik seperti PRD dan lain sebagainya, yang punya kesadaran dan tujuan yang sama dengan mahasiswa, juga masih lemah kekuatannya.
Ini menunjukkan bahwa seluruh kekuatan-kekuatan gerakan reformasi total, gerakan demokratik, baik di antara kekuatan pelopor itu sendiri –organisasi-organisasi mahasiswa-- dengan organisasi buruh, dengan organisasi tani, dengan organisasi kaum miskin perkotaan, dengan organisasi perempuan, dengan partai politik (baca: PRD) dan lain secara keseluruhan belum bersatu, belum menemukan wadahnya dan caranya.
Jadi jelas dalam strategi-taktik jangka panjang –sebenarnya bisa dalam jangka pendek-- kebutuhan untuk bertemunya seluruh kekuatan ini dalam wadah persatuan perjuangan di tingkatan nasional adalah suatu kebutuhan mendesak. Bila kekuatan ini bisa bersatu maka kebutuhan untuk berpropaganda terhadap rakyat sekaligus perang terhadap propaganda rejim Habibie-ABRI dan kekuatan pro status quo/anti perubahan lainnya akan dapat dimenangkan. Karena kesadaran sejati rakyat (sekali lagi yang masih terpendam/belum digalang menjadi kekuatan) yang, sekali lagi, sejalan dengan program-program tuntutan gerakan mahasiswa –Tolak Rejim Habibie-ABRI!; Bentuk Pemerintahan Transisi!; Cabut Dwi-Fungsi ABRI!-- hanya akan bisa bersatu dengan dengan organisasi-organisasi perjuangan tersebut, dan bukannya dengan partai politik-partai politik gadungan yang pro status quo/anti-perubahan.
Sementara itu di hadapan kita jelas terbentang adanya kesempatan/momentum besar, yakni pemilu. Kesempatan/momentum ini tidak mungkin kita biarkan untuk dijadikan alat oleh rejim Habibie-ABRI dan partai politik-partai politik gadungan untuk kembali menipu rakyat. Tanpa keterlibatan kita maka rakyat akan termakan tipu mereka.
Ada beberapa langkah yang harus dilakukan di mahasiswa yaitu:
1.    Membangun kembali kekuatan mahasiswa dengan cara: Meningkatkan propaganda ke kalangan mahasiswa sendiri dalam bentuk: diskusi; pamflet; selebaran, diskusi, terbitan-terbitan lainnya;? Melakukan aksi-aksi kembali baik aksi di kampus-kampus (untuk mengkonsolidasikan mahasiswa) maupun aksi di jalanan; atau pun aksi gabungan antar kampus;
2.    Berusaha melibatkan rakyat dalam aksinya dengan cara: Bertemu dan membuat persatuan/aliansi dengan organisasi-organisasi perjuangan non mahasiswa. Jangan menyendiri/sektarian dan keras kepala enggan memasukkan tuntutan rakyat, yang ekonomis sekali pun ke dalam tuntutan perjuangan. Sebaliknya mahasiswa harus berpropaganda kepada organisasi rakyat non mahasiswa atau kepada rakyat langsung (yang belum teroganisir) untuk memberikan pengertian bahwa rakyat harus juga berpolitik; Mengambil jalur-jalur jalan strategis –jalan-jalan besar yang banyak mulut-mulut gang ke pemukiman yang banyak penduduknya-- dalam pawainya/aksinya sehingga mampu mengajak rakyat terlibat/bergabung dalam aksi yang dipelopori mahasiswa. Pengalaman perlawanan di bulan November yang telah membuktikan ini!; berpropaganda ke rakyat dengan selebaran-selebaran dan poster di kampung-kampung; Mengundang rakyat untuk hadir dalam aksi-aksi mahasiswa yang dilakukan baik di kampus ataupun tempat-tempat umum lainnya;
3.    Dalam agenda jangka panjang (agenda selanjutnya), jelas mahasiswa harus terjun ke rakyat, menggalang/mengorganisir dan membangun wadah-wadah/organisasi-organisasi perjuangan rakyat;
4.    Harus mengagendakan aksi-aksi yang dilaksanakan secara serentak (nasional) dengan tuntutan dan waktu yang sama;
5. Semua peristiwa perjuangan nasional harus dijadikan sebagai hari aksi nasional seperti: tragedi trisakti, tumbangnya diktaktor Soeharto, Tragedi Semanggi, bahkan hari perjuangan buruh 1 mei juga dapat dilakukan sebagai hari aksi nasional.
Semua hal yang dijelaskan di atas sudah harus dilakukan sejak dini. Semakin sering maka semakin bertambah jumlah massa yang terlibat dalam aksi ini; Semakin menasional aksinya (dilakukan serentak di semua daerah) dan berhasil mengajak sektor yang lain untuk menyepakati tuntutan perjuangan yang sama, maka kekuatan ini akan sanggup berhadapan dengan kekuatan rejim Habibie-Soeharto dan kekuatan pro status quo/anti perubahan lainnya.