Jika seekor kucing benar-benar
berada di rumah, dan kita yakin bahwa "kucing ada di rumah", dan kita
katakan bahwa "kucing ada di rumah", maka jelas keyakinan kita maupun
proposisi yang kita nyatakan bernilai benar secara mutlak. Inilah yang saya
maksudkan dengan absolutisme. Setiap peyakin kebenaran, mesti seorang absolutis.
Dapatkah pernyataan ini kita buktikan secara lebih jelas?
Mari kita mulai dulu dengan
menyusun beberapa struktur lingua-franca untuk pembahasan kita saat ini. Apa yang
dimaksudkan dengan alam dalam pembahasan kita dalam suatu himpunan. Dalam makalh
ini akan ada tiga alam; alam mental,
tidak lain adalah himpunan obyek dalam fikiran manusia; alam eksternal, tidak lain adalah himpunan obeyek di luar fikiran manusia;
dan alam bahasa, tidak lain
himpunan bahasa yang digunakan manusia. Dalam contoh di paragraf sebelumnya,
keberadaan kucing di rumah merujuk pada suatu obyek dalam alam eksternal.
Sedang keyakinan akan keberadaan kucing di fikiran merujuk pada alam mental.
Dan pernyatan "Kucing ada di rumah" merujuk pada alam bahasa.
Seseorang disebut absolutis,
jika dan hanya jika, ia yakin ketiga alam tersebut, -mental, eksternal dan bahasa-, dalam kondisi tertentu, mungkin
selaras. Artinya setiap hal yang ada di alam eksternal yang difikirkan oleh
manusia mungkin
ekivalen dengan fikiran manusia tentang hal itu. Lebih lanjut setiap hal dalam
fikiran manusia yang dinyatakan dalam bahasa mungkin pula ekivalen dengan
pernyataanya di alam bahasa.
Dengan bahasa yang lebih mudah, absolutis
yakin bahwa mental manusia mungkin mencapai kebenaran mutlak tentang suatu obyek nyata,
dalam arti, sesuaatu "fikiran" atau "keyakinan" dalam alam
mental disebut benar jika ia mencerminkan keadaan obyektif sebenarnya di alam
eksternal. Lebih jauh, absolutis, yakin bahwa bahasa mungkin digunakan untuk menyatakan
kebenaran tersebut.
Sebaliknya seorang disebut relativis,
jika dan hanya jika, ia bukan absolutis. Artinya, seorang disebut
relativis jika salh satu aatau kedua kriteria di bawah ini terpenuhi;
1.
Ia yakin bahwa tidak mungkin apa yang ada di alam
eksternal ini ekivalen dengan apa yang ada di alam mental.
2.
Ia yakin bahwa tidak mungkin menyatakan apa yang aada
di alam mental dengan suatu bahasa yang akurat.
Poin pertama menghancurkan hubungan
antara alam mental manusia dengan alam eksternal. Artinya seluruh bangunan
pengetahuan dan keyakinan manusia runtuh, karena semua pengetahuan dan
keyakinan manusia tidak ekivalen dengan apa pun dalam realitas sebenarnya. Poin
kedua menghancurkan kemungkinan untuk mengkomunikasikan pengetahuan dan
keyakinan manusia apa pun.
Relativisme sejati
dalam defenisi seperti di atas tidak mempunyai signifikansi sedikitpun untuk di
bahas, karena jelas semua proposisinya pun hancur. Kenapa? Karena seluruh bangunan
pengetahuan dan keyakinan sendiri pun termasuk proposisi-nya (poin pertama dan
poin kedua) tersebut tidak mewakili kenyataan apa pun (berdasar poin pertama),
atu jika tidak, seluruh pengetahuan dan keyakinannya sendiri termasuk
proposisi-nya (poin pertama dan kedua) tidak mungkin dikomunikasikan sama
sekali (berdasar pon kedua).
Filsafat barat modern menyandarkan
dirinya dalam berbagai relativisme parsial yang akan diuraikan di bawah ini.
Rene Descartes,
yang sering disebut sebagai Bapak Filsafat Modern, mengatakan dalam "Le Discours
de la Methode" :
"Berhubung
indra ada kalanya menipu kita, saya berniat menganggap bahwa apa yang biasa
ditampilkan oleh indra kita itu sebenarnya tidak ada. Di samping itu, mengingat
bahwa ada orang-orang yang keliru ketika menalar masalah geometri yang paling
sederhana, sampai-sampai melakukan paralogi, serta mengingat pila bahwa saya
sendiri pun mungkin keliru seperti yang lain, maka saya buang semua penalaran
yang sebelumnya pernah saya buat sebagai pembuktian. Dan terakhir karena
beranggapan bahwa sekua fikiran yang muncul pada waktu kita sadar dapat juga
datang ketika sedang tidur tanpa ada yang benar satu pun. Saya memutuskan untuk
berpendapat bahwa segala pendapat yang pernah terlintas dalam angan-angan tidal
lebih benar daripada ilusi-ilusi dalam mimpi saya. Namun segera sesudahnya saya
menyadari bahwa sementara saya berfikir bahwa semuanya tidak benar, saya
sebagai yang memikirkanya haruslah merupakan sesuatu. Saya perhatikan bahwa
kebenaran ini : Saya berfikir, jadi saya ada (Cogito ergo sum) begitu kokoh dan meyakinkan, sehingga anggapan
kaum skeptis yang paling berlebihan-pun tidak mampu menggoyahkannya."
® Pertama,
Descartes meyakini ketidak-absahan indera karena indera mungkin salah.
® Kedua,
Descartes meyakini ketidak-absahan penalaran kerana penalaran mungkin salah.
® Ketiga,
Descartes meyakini ketidak-absahan pemikiran karena fikiran tidak mampu
membadakan yang khayal (atau mimpi) dan yang nyata.
JELAS ARGUMENTASI DESCARTES INI SALAH. KENAPA?
® Pertama, karena argumentasi
ini menghancurkan dirinya sendiri. Dengan tiga
proposisi berturut-turut ini, jelas
1.
Hubungan antara alam
eksternal dan alam fikiran manusia terputus total.
2. Segala jenis penalaran apa pun nafi
3. Segala jenis pemikiran apa pun tidak absah,
Sehingga jika benar
seseorang meyakini ketiga proposisi ini, tidak mungkin ia mempunyai pengetahuan
ataupun keyakinan apa pun.
® Kedua, dalam tiap
proposisi dalam argumentasi tersebut terdapat kesalahan pengambilan kesimpulan
karena terlalu menggeneralisasi. Contohnya
adalah proposisi pertama, karena indera mungkin salah, maka kita mesti meyakini
bahwa indera mungkin salah, tidak bisa digeneralisasikan menjadi bahwa indera
selalu salah sehingga ia tidak mingkin pula ia benar. Demikian pula terjadi
pada proposisi kedua dan ketiga.
Saya yakin Descartes sendiri tidak
meyakini ketiga proposisi tersebut dalam artian yang hakiki. Contoh yang jelas
adalah ketika Descartes menyatakan Cogito ergo sum (Aku berfikir, maka aku
ada). Sebenarnya saat ini, Descaartes telah menggunakan metode penalaran
silogisme Aristoteles;
Premis minor : Sesuatu yang berfikir pasti ada.
Premis minor : Aku befikir.
Konklusi : Aku ada.
Ini dapat dilihat langsung dalam
pernyataan Descartes dalam dua paragraf berikutnya "La discours de la methode";
"Saya
perhatikan bahwa dalam dalil "saya berfikir, jadi saya ada" tak ada suatu pun yang
menjamin kebenarannya selain bahwa saya melihat dengan sangat jelas bahwa untuk
berfikir saya harus ada."
Analisa historis mungkin
menjelaskan kenyataan bahwa mungkin bagi kita untuk memahami "kesalahan logika"
Descartes sebagai upaya untuk melawan sketisisme
yang merajalela saat itu.
Lain lagi dengan Emmanuel Kant,
yang membatasi alam eksternal di
mana hukum logika berlaku. Menurut Kant; ilmu matematis memiliki kebenaran
absolut, ilmu pengetahuan yang berasal dari pengalaman inderawi memiliki
kebenaran relatif, dan subyek-subyek metafisika tak mungkin dicapai oleh akal
manusia sama sekali. Pernyataan Kant ini mempunyai dua kemungkinan.
® Pertama, pernyataan bahwa suyek-subyek metafisika tak mungkin dicapai
oleh akal manusia dalam arti harfiah. Tapi,
bagaimana mungkin kita bisa menilai pernyataan Kant ini salah atau benar,
sedang pernyataan itu sendiri menyangkut hal yang meta-fisis sehingga hal ini
tak mungkin dicapai oleh akal kita sama sekali?
® Kedua, jika artinya subyek-subyek metafisika tak mungkin dibahasakan sama sekali oleh
akal manusia. Dalam hal ini, karena proposisi hal ini pula termasuk hal
yang metafisis, proposisi ini pun tak mungkin dibahasakan sama sekali. Jadi
seharusnya biarkanlah proposisi ini melanglang buana dalam alam mental kita
tanpa pernah dinyatakan bahkan oleh Kant sendiri.
Relativisme parsial
jenis lain mungkin seperti apa yang dinyatakan oleh Ludwig Wittgenstein dalam Tractatus
-nya;
"Sesuatu
yang memang dapat dikatakan haruslah diungkapkan secara jelas, sedang sesuatu
yang tidak dapat dikatakan sebaiknya didiamkan saja."
Secara khusus, Wittgenstein
menyebutkan tiga hal yang tidak dapat diungkapkan secara jelas - yang disebutnya sebagai The Mystical-,
sehingga sebaiknya didiamkan saja, yaitu ;
1. "Subyek tidak termasuk dalam lingkup dunia, melainkan hanya
merupakan suatu batas dunia."
2. "Kematian bukanlah merupakan suatu peristiwa kehidupan, sebab
kematian itu bukan merupakan
kehidupan yang dijalani."
3. "Allah tidak menyatakan diri-Nya dalam dunia."
Jadi,
jika seseorang meyakini proposisi Wittgenstein tersebut, ia tidak akan pernah mempermasalahkan adanya dirinya sendiri
sebagai subyek, ada atau tidaknya kematian bahkan ada atau tidaknya Tuhan.
Relativisme parsial ala Wittgenstein
tidak mengakui adanya alam mental, dan Wittgenstein langsung merelasikan alam kenyataan dengan alam bahasa. Lebih
lanjut, ia membatasi alam eksternal yang dapat direlasikan secara ekivalen
dengan bahasa yang akurat, yaitu alam non-mistikal. Maka jika benar
Wittgenstein berpendapat seperti ini, jelas pendapatnya salah. Kenapa?
Karena argumentasinya menghancurkan dirinya sendiri.
Pada saat Wittgeinstein membahas ketiga hal yang termasuk ke dalam The Mystcal,
subyek, kematian, dan Allah, karena mereka semua tidak termasuk dalam
lingkup dunia, maka dari-mana ia memperoleh kesimpulan itu? Kalau
dikatakan dari alam bahasa itu sendiri, bukankah menurutnya setiap proposisi
harus jelas? Dan bukankah menurutnya setiap proposisi harus jelas? Dan bukankah
menurutnya jelas adalah mewakili suatu keadaan faktual tertentu? Jadi secara
otomatis, karena Wittgenstein memperoleh kesimpulan tentang subyek, kematian, dan Allah dari alam
eksternalnya, ia musti memperolehnya dari alam mentalnya. Jadi argumentasi
Wittgenstein memestikan keberadaan alam mental, minimal alam mentalnya sendiri.
Proposisi, "Sesuatu yang memang dapat dikatakan haruslah diungkapkan secara
jelas, sedang sesuatu yang tidak dapat dikatakan sebaiknya didiamkan saja,"
Ini sendri tidak jelas. Kenapa? Karena masih bisa dipertanyakan lagi apa arti
jelas dan arti "jelas" bagi setiap orang relatif. Misalnya ; mungkin
kata "gaya"
jelas artinya bagi seorang fisikawan, tapi tidak jelas artinya bagi fisikawan
lain. Misalnya lagi dapatkan Anda menjelaskan kepada saya kapan sebuah jambu
yang dimakan seseorang masih disebut jambu atau sudah menjadi bukan jambu? Jadi
karena arti "jelas" itu relatif, tentu ia tidak dijamin jelas artinya
bagi setiap orang. Arinya proposisi ini sendiri, didiamkan saja. Didiamkan
seperti rumput yang bergoyang.
Keadaan orang yang meyakini paham
relativis ini mengingatkan saya pada "Shummum bukmun ‘umyun fahum laa
yarji’uun." (Mereka tuli,
bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali). Relativis seolah
kehilangan seluruh inderanya, karena mereka sendirilah yang menafikannya.
Kemudian bagaimana mereka bisa mengoreksi kebenaran seluruh pengetahuan dan
keyakinannya?
Kembali pada pembahasan semula,
seorang yang meyakini pengetahuan ataupun keyakinan apapun mesti adalah absolutis.
Kenapa? Karena jika ia tidak absolutis maka mustahil ia yakin apa pun yang ada dalam
fikirannya mempuyai relasi dengan suatu yang benar-benar ada di alam nyata atau
mustahil ia yakin bahwa pernyataan keyakinan dalam alam bahasa sesuai dengan
apa yang ada dalam fikirannya sendiri. Sehingga, ia tidak akan meyakini apapun
atau walaupun meyakini terpaksa diam seribu bahasa akan keyakinannya tersebut.
Sebagai penutup, saya mengajak anda
semua merenungi; wa qul jaa ‘al-haqqa wa zahaaqal-baathil, innal baathila kaana zahuuqa.
(Dan katakan, telah tiba kebenaran dan telah lenyap kebatilan, dan sesungguhnya
kebatilan itu benar-benar sirna). Yang benar
tetap benar, dan harus kita
katakan benar. Yang salah tetap
salah, dan mestilah sirna.
Wallohu a’lam
Dialektika
Rumah tua itu kosong. Namun ketika
dilewati, terdengar rintihan. Kami pun berlari terbirit-birit."Pasti ada hantu di dalamnya." Demikian hadir-nya dan demikian penting
prinsip non-kontradiksi ini, sehingga tidak ada satu saat pun yang lolos dari
kehadiran dan keniscayaannya. Seperti ungkapan penyimpulan yang dikutip di
atas. Kalau di susun lagi urutan penyimpulannya adalah sebagai berikut. Jika ada suara dari sebuah rumah, pasti ada yang mengeluarkan suara tersebut
dalam rumah itu. Walaupun terdapat fakta bahwa di rumah tua itu tidak ada orang, tapi karena ada rintihan dari suara itu, kita
tetap yakin ada yang
mengeluarkan suara rintihan tersebut. Ada berkontradiksi dengan tidak ada, dan karena kontradiksi
tidak mungkin, tidak mungkin tidak ada
yang mengeluarkan suara rintihan tersebut. Karena itu kita tetap yakin ada yang mengeluarkan suara, yaitu
(mungkin) hantu.
Ketidak-mungkinan terjadinya
kontradiksi logis dalam realitas ini disebut dengan prinsip non-kontradiksi.
Prinsip ini menjadi dasar sekaligus hakikat logika klasik (the very nature of classical logics).
Jika diringkas secara simbolis adalah sebagai berikut, A tidak sama dengan (bukan A) dan A sama dengan A sendiri. Tidak
ada satu kebenaran apapun yang bisa ditahkik tanpa menggunakan prinsip ini
sebelumnya. Meyakini kebenaran prinsip non-kontradiksi merupakan syarat mesti (necessary condition) bagi meyakini
seluruh kebenaran lain. Dan keyakinan kebenaran prinsip ini ternyata hadir
dalam kesadaran setiap insan.
Orang yang meyakini prinsip
non-kontradiksi percaya bahwa jika suatu proposisi tertentu benar, tidak
mungkin pada saat yang sama ia salah. Dan kalau proposisi tertentu benar, maka
proposisi lain yang berkontradiksi dengan proposisi itu pasti salah. Sebaliknya
jika suatu proposisi tertentu salah, tidak mungkin pada saat yang sama ia
benar. Contohnya; jika kita meyakini proposisi bahwa " Tuhan (Allah) itu
Satu." benar, maka proposisi bahwa "Tuhan (Allah) itu dua" atau
"Tuhan (Allah) itu tiga" pasti salah. Kenapa ? Karena pernyataan
bahwa sesuatu itu satu jelas berkontradiksi dengan sesuatu itu bukan satu
(yaitu dalam hal ini dua atau tiga).
Selanjutnya
karena jelas bahwa proposisi "Tuhan (Allah) itu dua" atau "Tuhan
(Allah) itu tiga" salah, tidak mungkin mereka benar.
Para materialis, atau lebih akurat lagi Marxis, tidak percaya
pada kesahihan prinsip non-kontradiksi. Bahkan lebih jauh, mereka percaya bahwa
justru kontradiksi-lah hal yang paling hakiki yang ada merupakan detak jantung seluruh gerak alam ini. Strukturnya: jika ada
tesa maka ada anti-tesa yang kontradiktif terhadap tesa. Setelah itu dua hal
yang berkontradiksi itu tersintesakan dalam suatu kesatuan. Kesatuan ini lalu
menjadi tesa baru, menjadi suatu titik tolak baru. Demikianlah, tiga hal ini,
tesa-antitesa-sintesa, berulang-ulang terus tanpa berhenti dan tanpa batas. Ia
bergerak bersama eksistensi dan merentang sejauh rentangan keberadaan.
Contoh logika
dialektis ini adalah sebagai berikut.
Tesa = Eksistensi itu ada. Anti-Tesa =
Eksistensi bukanlah sesuatu, karena ia adalah segala sesuatu, sehingga karena
itu eksistensi tidak maujud (tidak ada). Karena itu terjadi sintesa, yaitu sesuatu yang ada tapi
tidak sepenuhnya ada yang tidak lain adalah gerak. Kesimpulannya? Eksistensi
nyata itu menjadi.
Tesa = Sesuatu itu hidup. Anti-Tesa
= Sesuatu yang hidup selalu berubah dan berkembang. Jika A berubah
menjadi A’ maka A sebenarnya telah mati dan kematian A merupakan syarat bagi
kehidupan A’. Sintesa = setiap
maujud hidup membawa kematiannya sendiri setiap saat untuk memperoleh
kehidupannya.
Bukan menjadi tujuan makalah ini
untuk mengkritik logika dialektis sebagai logika dialektis, walaupun itu
sebenarnya bukan hal yang sulit. Yang menjadi concern dalam makalah ini adalah pertanyaan berikut;
"Apakah benar klaim kaum materialis (Marxis) bahwa logika dialektis
seperti ini menggugurkan prinsi non-kontradiksi? " Jawabannya jelas, salah. Argumennya adalah sebagai
berikut.
® Pertama, jika prinsip non-kontradiksi
gugur, maka suatu proposisi bisa sekaligus benar dan salah, sehingga tidak
perlu kita yakini (bahkan tidak perlu kita bicarakan) apakah pernyataan
(proposisi) kaum materialis ini benar atau pun salah.
® Kedua, pengertian kontradiksi yang
dimaksud oleh mereka (kaum materialis) bukan kontradiksi dalam logika klasik.
Contohnya dalam contoh kedua. Kehidupan A’ dan kematian A diartikan sebagai
suatu kontradiksi. Padahal
menurut logika klasik, ini tidak memenuhi syarat kesamaan subyek (A’ berbeda
dengan A). Sehingga ini sebenarnya bukan merupakan kontradiksi dalam logika
klasik.
Selayaknya kita lebih berhati-hati
dalam mengkritik sesuatu, apakah sesuatu yang kita kritik itu berdasar lingua-franca ( language-frame) yang
benar atau sebenarnya kita hanyalah mengkritik suatu pendapat menurut imajinasi
atau language-frame yang kita buat
sendiri. Adalah satu kenyataan bahwa Hegel, lepas dari kenyataan bahwa dia
adalah filsuf besar, telah mengkritik sesuatu yang tidak atau belum ia pahami
dengan baik, yaitu prinsip non-kontradiksi. Walhasil, alih-alih kritiknya
sahih, malah ia telah mengkritik prinsip
non-kontradiksi menurut penafsiran dan pemahamannya sendiri. Ada sebuah cerita lucu,
ketika seorang suami Sunda bertanya kepada istrinya (orang Jawa) yang sedang di
WC; "Atos? Atos?" Istrinya pun berpikir, jorok bener suaminya ini ?
Atos menurut bahasa Sunda artinya sudah. Sedang menurut bahasa Jawa artinya,
keras. Jadi apa yang akan terjadi si istri langsung mendamprat suaminya?
wallohu a’lam
Kausalitas dan Korespondensi
Rangka-nya rangka
dari seluruh sains maupun ilmu pengetahuan. Tidak lebih dan tidak kurang.
Itulah prinsip kausalitas.
Ketika Newton melihat apel jatuh,
konon, ia berfikir mestinya ada sesuatu yang mewujudkan jatuhnya apel. Ini-lah
yang meniscayakan adanya gravitasi dalam fisika. Ketika Mendell melihat
keteraturan sifat - sifat hereditas, ia berfikir mestinya ada sesuatu yang
mewujudkan keteraturan sifat - sifat hereditas. Keyakinan ini menumbuhkan teori
genetika.
Prinsip kausalitas berbunyi ,
"Segala sesuatu membutuhkan sebab untuk meng - ada, kecuali keberadaan itu
sendiri." Sifat penting kausalitas pertama adalah keselarasan; yaitu satu
sebab yang sama akan menghasilkan akibat yang sama. Selain itu adalah sifat
kesemasaan sebab dan akibat, serta sifat relasi eksistensial antara sebab dan
akibat.
Prinsip
kausalitas adalah hukum dasar alam. Karena
tanpa menerima prinsip kausalitas sebagai hukum dasar alam, yang merupakan
salah satu dari the very properties of being, tidak mungkin kita meniscayakan
satu hukum apa pun yang bersifat umum bagi alam.
Dan dia
bukanlah merupakan hasil "korespondensi" atau
"penghubung-hubungan" yang dilakukan oleh rasio manusia berdasarkan
pengalaman inderawinya, sebagai-mana yang dikatakan oleh sebagian orang. Karena bahkan semua pengalaman inderawi kehilangan
maknanya, bahkan seluruh alam materi tidak bisa ditahkik keberadaannya tanpa
menerima prinsip kausalitas dulu sebelumnya.
Dan
bagaimana mungkin sebagian orang tersebut menjelaskan adanya hal - hal yang
berkorespondesi secara berulang - ulang tapi tidak diyakini mempunyai hubungan
kausalitas. Misalnya sesudah malam datanglah
siang dan sesudah siang datanglah malam. Kenapa tidak ada seorangpun yang
berfikir bahwa siang adalah penyebab malam dan malam adalah penyebab siang?
Maka,
mestilah diterima ke - obyektif - an prinsip kausalitas, dan meyakini bahwa
prinsip ini bukanlah prinsip psikologis saja. Sehingga
dengan mata kausalitas mestilah diterima adanya penyebab seluruh alam materi
ini, yang pasti bukanlah alam materi itu sendiri, atau sebagian darinya, karena
materi bukanlah keberadaan sehingga mesti selalu memerlukan sebab untuk
mengada. Sungguh ini adalah merupakan bukti yang terang tentang adanya alam
immaterial, yang sebagian orang menyebutnya alam spiritual atau alam intelligebles. Sebagaimana para
fisikawan meyakini eksistensi elektron? Atau lebih terang lagi?
wallahu a’lam bish-showwab
Logika
"Man
tamanthaqa faqad fazandaqa" , demikian
ungkapan terkenal dari tokoh besar di dunia Islam, Ibn Taimiyyah. Arti
harfiahnya kira-kira adalah, "Barang
siapa menggunakan logika maka ia telah kafir." Apakah sikap seperti
ini dapat dibenarkan? Ataukah memang mutlak salah? Apa implikasi jika sikap
seperti ini dibenarkan? Dan apa pula konsekuensinya jika ia mutlak salah?
Ataukah sikap seperti ini relatif, bisa benar sekaligus bisa salah secara
bersamaan atau secara fuzzy ?
Dan apa-kah konsekuensinya jika kebenaran sikap seperti ini fuzzy atau relatif?
Logika adalah kaidah-kaidah
berfikir. Subyeknya akal-akal rasional. Obyeknya adalah proposisi bahasa.
Proposisi bahasa mencerminkan realitas, apakah itu realitas di alam nyata
ataupun realitas di alam fikiran. Kaidah-kaidah berfikir dalam logika bersifat
niscaya atau mesti. Penolakan terhadap kaidah berfikir ini mustahil (tidak
mungkin). Bahkan mustahil pula dalam semua khayalan yang mi\ungkin (all possible intelligebles).
Contohnya, sesuatu apapun pasti sama dengan dirinya sendiri, dan tidak sama
dengan yang bukan dirinya. Prinsip berfikir ini telah tertanam secara niscaya
sejak manusia lahir. Tertanam secara spontan. Dan selalu hadir kapan saja
fikiran digunakan. Dan harus selalu diterima kapan saja realitas apapun
dipahami. Bahkan, lebih jauh, prinsip ini sesungguhnya adalah satu dari watak
niscaya seluruh yang maujud (the very
property of being). Tidak mengakui prinsip ini, yang biasa disebut
dengan prinsip
non-kontradiksi, akan menghancurkan seluruh kebenaran dalam alam bahasa
maupun dalam semua alam lain. Tidak menerimanya berarti meruntuhkan seluruh
bagunan agama, filsafat, sains dan teknologi, dan seluruh pengetahuan manusia.
Sebagai contoh perkataan ‘Ibn
Taimiyyah di atas, jika misal pernyataan itu benar, maka menggunakan kaidah
logika adalah salah. Karena menggunakan kaidah logika salah, maka prinsip
non-kontradiksi salah. Kalau prinsip non-kontradiksi salah . Artinya
seluruh kebenaran tiada bermakna, tidak bisa dibenarkan ataupun disalahkan,
atau bisa dibenarkan dan disalahkan sekaligus. Kalalu seluruh keberadaan tidak
bermakna, maka pernyataan itu sendiri "Man tamanthaqa faqad fazandaqa"
juga nafi. Tak bermakna. Tak perlu dipikirkan.
Menerima kebenaran pernyataan
beliau tersebut sama saja dengan mengkafirkan beliau. Karena jika peenyataan
tersebut benar, maka untuk membenarkannya telah digunakan kaidah logika. Dan
karena beliau telah menggunakan kaidah logika, menurut pernyataan-nya sendiri
beliau kafir. Jadi sebaiknya pernyataan pengkafiran orang yang menggunakan
logika ini benar-benar ditolak. Pernyataan ini salah. Salah. Dan mustahil
benar. Karena kalau benar, semua orang yang berfikir benar kafir. Dan ini
mustahil.
"Wa qul jaa ‘al-haqqa wazahaaqal-baathil,
innal-baathila kaana zahuuqa." Dalam
pandangan saya, Islam jelas menentang adanya relativisme Kebenaran. Dalam Islam
yang benar pasti benar dan tidak mungkin salah. Sedang yang salah pasti salah
dan tak mungkin benar. Dalam dunia dikenali adanya golongan relativis kebenaran
yang disebut sufastaiyyah.
Golongan relativis kebenaran ini merupakan pewaris mazhab pemikiran sophisme, yang bermula pada abad ke-5
dan ke-4 SM di Yunani melalui pemikiran Protagoras, Hippias, Prodicus, Giorgias
dan lain-lain. Beberapa pemikiran yang mendasari gelombang filsafat
pasca-modernis juga merupakan cerminan dari pandangan golongan ini. Dalam
majalah Ummat No.3/Thn.I/7 Agustus 1995, hal 76, DR.Wan Mohd Nor Wan Daud
menjelaskan bahwa Akidah Islam jelas menentang keras sikap golongan sufastaiyyah
ini. Bagi golongan sufastaiyyah, benar itu bisa salah dan salah itu bisa benar.
Bagi golongan shopisme Yunsni,
semua yang jelas-jelas ada ini dianggap tidak memiliki keberadaan. Jadi ada dan
tiada sama saja. Bagi golongan positivis
pasca- Renaisance, semua yang tidak bisa diukur tidak bisa ditentukan benar
salahnya. Bagi pengikut Marx dan Hegel, kontradiksibukan saja mungkin terjadi,
tapi menjadi arah gerakan alam yang sering disebut sebagai dialektika Hegel.
Bagi golongan relativis pasca-modern,
yang mendasarkan pemiokirannya pada language
games ala Wittgenstein ataupun Russel setiap propisisi adalah bahasa,
dan setiap bahasa nilai kebenarannya relatif, karena itu setiap keberanan itu
relatif.
Adapun sufastaiyyah, misalnya sama. Menghancurkan kaidah dasar logoka.
Yaitu prinsip non-kontradiksi. Hanya Protagoras
meniadakannya dalam tingkatan ada-tidaknya segala sesuatu, para positivis meniadakannya pada
tingkatan hal yang tidak bisa diindra, Marx dan Hegel meniadaknnya sebagai
watak umum segala yang maujud, dan Wittgenstein maupun Russel menghilangkan
otoritas fikiran untuk menerapkan kaidahnaya kepada alam di luar fikiran.
Hasilnya sama. Runtuhnya seluruh bangunan pengetahuan manusia. Runtuhnya suatu
bangunan keyakinan manusia. Bahkan keyakinan tentang adanya dirinya sendiri ! Na’uudzubihi min dzaalik.
Penerapan kaidah-kaidah berfikir yang benar telah
menghantarkan para filosof besar pada keyakinan yang pasti akan keberadaan
Tuhan. Socraets
dengan The
Most Beauty -nya. Plato dengan archetype -nya. Aristoteles dengan prime-mover-nya.. ‘Ibn Arabi
dengan al-jam’u
bainal-‘addaad (coincindentia
in oppositorium) nya. Suhrawardi dengan Nur-i-qahir nya. Mulla Shadra dan Mulla Hadi
Sabzavary dengan Al-Wujud Al-Muthlaq-nya. Jelas-jelas penerapan logika bagi
mereka tidak menentang agama. Malah sebaliknya, me-real-kan agama sampai ke seluruh
pori-pori rohaninya yang mungkin. Atau dengan kata lain, mencapai hakikat.
Dalam dialog terakhir Socrates, digambarkan betapa figur filsuf ini mati tersenyum
setelah menyebut nama Tuhan sebelum akhir hayatnya. Tentang Aristoteles,
sebuah riwayat menyatakan bahwa ia adalah seorang nabi yang didustakan
ummatnya. Tentang ‘Ibn ‘Arabi, tidak ada yang menyangsingkan sebagai salah seorang
sufi terbesar sepanjang sejarah dengan tak terhitung pengalaman ruhani yang
tertulis di kurang lebih 700 kitabnya. Sedang Mulla Shadra , tujuh kali haji ke
Mekkah dengan berjalan dari Qum (Iran) hanya untuk memenuhi
panggilan kekasih-Nya. Alih-alih logika menentang agama, malah logika adalah
kendaraan super-executive untuk
mencapai hakikat. Dan sekali lagi alih-alih logika menentang agama , tanpa
logika agama tak-kan dapat terpahami. Jadi apakah logika menentang agama?
Dalam kerangka befikir fiqhiy, ada
suatu istilah yang amat penting; fardhu.
Fardhu adalah kewajiban yang
harus dilakukan. Fardhu ‘ain
artinya kewajiban bagi tiap individu.
Fardhu kifayah artinya kewajiban bagi setiap kelompok orang
(masyarakat). Setiap Muslim harus
melakukan sesuatu yang di-fardhu-kan
oleh Islam, walaupun dalam kasus fardhu
kifayah, kewajiban ini gugur pada saat ada Muslim lain yang telah
menunaikannya.
Berfikir dengan kerangka fiqh, membuat seorang berfikir fardhu-haram-makruh-sunnah-mubah.
Jika fardhu dan sunnah memperoleh pahala. Jika haram
memperoleh dosa. Jika mubah tidak memperoleh apa-apa. Berfikir seperti seorang
pedagang. Barang dagangannya "amal" . Labanya "pahala" =
"surga". Ruginya "dosa" = "neraka".
Dari sudut pandang ini, mungkin ada
orang yang bertanya ; menggunakan logika dalam Islam ini hukumnya apa apakah fardhu atau lainnya? Atau lebih
gamblang lagi apakah seorang Muslim harus menggunakan logikanya untuk mencapai
Tauhid atau tidak?
Untuk menjawab pertanyaan ini ,
mungkin perlu kita tinjau terlebih dahulu dua istilah dalam logika matemaatika,
necessary & sufficient condition.
Syarat perlu (atau syarat mesti), dan syarat cukup. Apa yang dimaksud dengan
syarat mesti? B disebut syarat mesti dari A jika keberadaan (kebenaran) A
memestikan/mem-pasti-kan keberadaan (kebenaran) B.
Contohnya; B : x adalah bilangan
nyata positif. A : x adalah bilangan nyata yang lebih dari 3. Maka B adalah
syarat mesti dari A. Apa artinya? Jika A benar (yaitu x adalah suatu bilangan
nyata yang lebih dari 3), pasti B benar (yaitu pasti x adalah suatu bilangan
nyata yang positif).
Di sisi laim apa yang dimaksud
dengan syarat cukup? B disebut syarat cukup dari A jika keberadaan (kebenaran)
B men-cukup-kan atau mem-pasti-kan atau men-implikasi-kan keberadaan
(kebenaran) A. Contohnya B : ada dua benda bermuatan listrik berada pada jarak
tertentu, A : kedua benda tersebut akan saling tarik menarik atau tolak
menolak. B mem-pastikan A, sebaliknya A tidak mempastikan B.
Dalam filsafat, manusia
didefenisikan sebagai hewan yang berfikir. Jadi jika X manusia pasti X
berfikir. Berfikir adalah syarat mesti bagi ke-manusiaan. Jadi jika X tidak
berfikir pasti X bukan manusia. Selanjutnya jika X berfikir maka X pasti
menggunakan logika/kaidah berfkir. Jadi menggunakan logika merupakan syarat
mesti bagi bagi berfikir. Jadi jika X tidak menggunakan logika pasti X tidak
berfikir , dan karena itu pasti X bukan manusia. Jadi apakah berfikir dan
menggunakan logika itu keharusan? Tidak. Ia bukan keharusan. Tapi suatu
kemestian. Suatu keniscayaan. Thou’an
au karhan.
Sebagai suatu contoh lain yang sederhana,
prinsip logika identitas (qanun
dzatiyah), bahwa sesuatu itu sama dengan dirinya sendiri tidak mungkin
kita tinggalkan dalam setiap aktifitas. Pada saat melihat bebek, kita yakin
bahwa bebek adal bebek. Pada saat mendengar suara gitar, kita yakin bahwa tiap
nada dan suara memiliki identitasnya sendiri-sendiri. Pada saat merasa panas ,
kita yakin bahwa panas tersebut memiliki suatu identitas sendiri. Di mana kita
bisa mengharuskan logika, sedangkan ia ada "sebelum" kita
"ada" dan ia selalu menyertai kemanapun kedipan mata memandang?
Mustahilnya Positivisme
Materialis meyakini ke-real-an
materi, bahkan kekekalan materi, dan tak percaya adanya hal - hal yang
immaterial. Sebaliknya rasionalis, dengan menerima prinsip-prinsip niscaya
rasional seperti prinsip non-kontradiksi dan kausalitas, percaya adanya hal -
hal yang immaterial. Di antara kedua kutub ini terdapat segolongan besar
manusia yang selalu dalam keadaan ragu-ragu (syak) dan tidak pernah bisa yakin. Jelas tidak mungkin untuk
meyakini hal - hal immaterial apa pun, apalagi Tuhan, jika seseorang masih
terkadang terombang-ambing oleh gelombang materialisme. Alladziina yu`minuuna bil-ghoib .... Percaya kepada yang ghaib
tidak mungkin didirikan jika jiwa masih tergoyah oleh materialisme. Demikian
materialisnya sebagian orang sehingga walaupun jelas dalam Qur’an disebutkan Wa nahnu aqrobu ilaihi min hablil-wariidi
(Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya), mereka
melakukan maksiyat - maksiyat seolah Tuhan itu tak ada. Mendasarkan dirinya pada
epistemologi positivisme, sebagian besar materialis akan terjebak ke dalam
aksiologi pragmatisme dan praxisme ala Francis Bacon, yang menganggap tidak
perlunya mempelajari apa pun kecuali yang memberikan manfaat material langsung
pada kita. Dan sesuai dengan watak kegelapan materi, mereka akan terjebak pada
hedonisme yang musti berakhir dengan nihilisme. Apa itu nihilisme? Semuanya
nihil dan kosong. Setelah hidup, mati dan titik. Akhir semuanya adalah
kegelapan, ke-tidaktahu-an mutlak "Dari mana, untuk apa dan ke mana
manusia dalam kehidupannya", dan kengerian hidup yang tak berarti.
Akar materialisme modern dan
post-modern adalah faham empirisme dan positivisme. " Tidak ada
pengetahuan atas sesuatu yang tidak bisa diukur." Demikian ungkapan
terkenal Lord Kelvin yang merupakan hakikat empirisme. Anak empirisme, - yang
jauh lebih ekstrim lagi-, adalah positivisme logik. Belajar di lingkungan Wina
(Der Weiner Kreis) dari Moritz
Schilck dan Rudolf Carnapp, Alfred Jules Ayer, - tokoh positivisme logik yang mengakui
bahwa gagasan dalam bukunya merupakan jabaran dari ajaran Bertrand Russel dan
Ludwig Wittgenstein-, mengatakan, "Suatu cara yang sederhana untuk
merumuskan hal itu adalah dengan mengatakan bahwa suatu kalimat mengandung
makna, jika dan hanya jika proposisi yang diungkapkan itu dapat dianalisa atau
dapat ditasdik secara empirik". Berlindung di balik keberhasilan sains
modern pasca-Renaisance-yang
berpuncak pada karya Newton "Principia",
John Locke, George Berkeley maupun David Hume telah meletakkan dasar-dasar bagi
empirisme maupun positivisme, yang kemudian mempengaruhi Ayer, Russel,
Wittgenstein dan banyak filosof modern maupun pasca-modern.
Doktrin empirisme dan positivisme
bersandar pada beberapa proposisi dasar berikut ini.
1.
Pengalaman inderawi adalah
sumber pertama pengetahuan manusia, dan tidak ada pengetahuan rasional apa pun
yang mendahului pengalaman.
2.
Pengalaman inderawi
adalah asas satu-satunya untuk menegaskan (men-tashdiq, to assent) kebenaran suatu proposisi. (Dalam bentuk
ekstrimnya, suatu proposisi dianggap mempunyai makna jika ia dapat ditasdik
secara empirik)
3.
Suatu proposisi, jika mungkin mencapai pengalaman inderawi
yang memberi petunjuk tentangnya, meskipun kita tidak memiliki pengalaman
seperti itu, mempunyai arti dan perlu dibahas.
Jelas proposisi-proposisi ini
mustahil Buktinya? Terlalu banyak. Tapi di sini akan diberikan beberapa bukti
yang cukup simpel.
® Pertama,
karena dalam pengamatan pengalaman apa pun, mau tidak mau kita mesti menerima
prinsip non-kontradiksi terlebih dahulu, sehingga kita bisa mengidentifikasi
bahwa A=A, dan A bukanlah bukan A. Tanpa menerima prinsip ini terlebih dahulu,
- yang jelas merupakan prinsip niscaya rasional tak terindera-, tidak mungkin
mengidentifikasi semua pengalaman indera, sehingga semua pengalaman indera
kehilangan maknanya.
® Kedua,
pengalaman inderawi kehilangan seluruh makna obyektifnya tanpa menerima
terlebih dahulu prinsip kausalitas. Apa yang diterima mata adalah image / bayangan, bukan benda yang
dilihatnya sebagai dirinya sendiri. Prinsip kausalitaslah yang memberikan suatu
relasi antara image dengan
benda sebenarnya, bahwa image adalah
suatu akibat yang disebabkan oleh benda yang dilihat.` Tanpa menerima prinsip
kausalitas, - yang jelas merupakan prinsip niscaya rasional tak terindera-,
seluruh penangkapan image indera
kita tidak memestikan apa pun tentang apa yang diindera !
® Ketiga,
bahkan pengalaman inderawi saja tidak mampu mentahkik (membenarkan, menegaskan)
adanya materi. Karena seperti yang dikatakan tadi, tanpa prinsip kausalitas,
hasil pengalaman indera tak lain hanya kesan-kesan subyektif yang tidak
menunjukkan adanya apa pun yang diindera.
® Keempat, dan
bagaimana mungkin pengalaman inderawi membuktikan kesalahan inheren pada
penginderaan dengan dirinya sendiri ? Apa beda oase fata morgana dengan oase
sejati bagi indera penglihatan kita? Bagaimana mungkin sesuatu yang mungkin salah mem-benar-kan (men-tashdiq) kebenaran dirinya sendiri?
® Kelima,
sehingga bagaimana mungkin semua eksperimen dilakukan? Jika keberadaan materi
saja tidak mampu ditahkik dan kesalahan inheren tak bisa teratasi.
® Keenam, dan
bahkan bukankah semua proposisi yang dinyatakanp tersebut tidak dapat diindera
? Sehingga jika mereka termasuk pengetahuan primer (sumber pengetahuan), maka
karena proposi pertama mempersyaratkan keter-indera-an sumber-sumber
pengetahuan, jelas menurut dirinya sendiri seluruh proposisi ini bukan
pengetahuan primer. Atau pun, jika mereka merupakan suatu pengetahuan yang
perlu di-tashdiq, proposisi
kedua meniadakam kemungkinan untuk men-tashdiq
ketiga proposisi ini. Dan, mari kita persilahkan para positivis menjelaskan kemungkinan membenarkan untuk melakukan
suatu eksperimen untuk menguji kebenaran ketiga proposisi ini berdasarkan
proposisi ketiga?
Ada
satu pertanyaan yang penting, mungkin. Kenapa mereka terjebak ke dalam
pemikiran se-naif itu? Suatu analisa historis pra-Renaisance membuat saya,
-yang bodoh dan hina ini-, memberanikan diri untuk membuat satu hipotesis
sederhana. Pemahaman dogmatis keagamaan Eropa pra-Renaissance yang menekan akal
manusia dan kemanusiaan membuat akal manusia mencari kemerdekaan dirinya pada
zaman Renaissance dengan semangat anti-agama, sebagaimana sebelumnya
"agama" telah menegaskan otoritasnya yang mutlak dan memojokkan
"akal". Dan ini adalah akar dari sekularisme ?
wallahu a’lam
Tentang Wujud ;
Sebuah Ringkasan
Wujud dan Mahiyyah
Wujud adalah keberadaan atau ke-ada-an sesuatu. Sedang mahiyyah adalah
keapaan atau jawaban dari pertanyaan " apakah …..?" . Mahiyyah yang
tak memiliki wujud mempunyai sifat esensial mungkin ada dan mungkin tidak ada.
Keadaan ini disebut dengan keadaan kesamaan. Sedang wujud yang tak memiliki
mahiyyah tak terperikan dan tak terbatas walau dalam fikiran.
Wujud itu tunggal
Ambil dua sesuatu yang sebarang A
dan B. Ketakberadaan A dan ketakberadaan B mempunyai efek yang identik, karena
ketakberadaan sesuatu artinya ketakberefekan sesuatu tersebut. Karena itu
keberadaan atau wujud A sama dengan keberadaan atau wujud B. Ini dapat
digeneralisasi dengan induksi sempurna pada segala hal. Jadi wujud segala hal
identik. Dan tidak mungkin sesuatu dalam pikiran manusia identik melainkan
dihasilkan oleh satu hal yang tunggal di alam eksternal. Seperti halnya tidak
mungkin satu telor dikeluarkan oleh lebih dari satu ayam betina.
Wujud itu real, dan bukan mahiyyah yang real
Jika mahiyyah yang real, maka
bagaimana segala sesuatu (baca pula; segala mahiyyah) meninggalkan keadaan
kesamaan? Artinya, jika mahiyyah yang real, segala sesuatu mungkin ada dan
mungkin tidak ada dan tidak mesti ada. Padahal keberadaan segala sesuatu yang
telah lalu dan saat ini mesti, - mereka benar-benar telah ada. Jadi ini adalah
suatu kontradiksi yang mustahil terjadi.
Tuhan, sumber wujud segala sesuatu, itu ada dan Ia adalah
wujud.
Karena wujud adalah sumber wujud
bagi dirinya sendiri, dan ia pula adalah wujud segala. Maka Tuhan ada, karena
wujud ada. Sebuah tambahan argumen bahwa Tuhan adalah wujud diberikan berikut
ini. Jika Tuhan adalah sesuatu selain wujud, maka pasti ia memerlukan sebab
untuk meng-ada. Dan jika ia memerlukan sebab untuk meng-ada, pasti ia bukan
Tuhan, karena ada sesuatu yang menjadi sumber wujud selain diri-Nya.
Wujud itu tak terbatas.
Karena sekiranya ia terbatas, maka
pembatasnya hanyalah ketiadaan. Dan jelas ketiadaan tidak memiliki keberadaan
apa pun sehingga bisa berefek membatasi sesuatu.
Tuhan, -yaitu wujud-, tak mungkin dipahami sepenuhnya oleh akal / mental manusia.
Karena jika wujud dipahami
sepenuhnya, - dalam seluruh aspek manifestasinya-, oleh akal manusia artinya ia
telah terbatas oleh akal manusia, sedang telah dibuktikan bahwa wujud tidak
terbatas, Mutlak dalam segala seginya.
Wujud adalah Kesempurnaan.
Karena wujud adalah realitas
kesegalaan yang tunggal, maka Ia pasti paling sempurna dari segi kediriannya
sendiri, yang tak lain adalah dari segi kesegalaan. Dan karena Ia adalah
satu-satunya realitas kesegalaan yang ada, maka Ia - lah satu-satunya kriteria
kesempurnaan. Jadi wujud adalah Kesempurnaan itu sendiri.
Wujud simpel (basith),
-tidak tersusun atas bagian yang lebih kecil-, dan karena itu murni immaterial.
Karena sekiranya wujud tersusun
atas bagian yang lebih kecil, maka bagian-bagian yang lebih kecil tersebut apa?
Apa-pun jawabannya pasti akan berakhir dengan kesalahan logis petitio principii.
Debu-debu kejamakan muncul dari mahiyyah.
Yang muncul dari realitas pemikiran
mental manusia, dan jelas tidak memiliki akar realitas.
Wujud ada
dalam segala sesuatu, tanpa suatu persatuan (material) dan bukanlah segala
sesuatu, tanpa suatu perpisahan.
Karena segala "selain"
wujud tidak real, hanyalah bayangan, maka tidak mungkin bisa didefinisikan
persatuan dan perpisahan sesuatu yang real dan sesuatu yang imajiner.
Dan, wujud meliputi segala sesuatu.
Karena wujud - lah yang mesti
mendahului "selain"-nya tanpa kecuali. Wujud lebih prior dibanding
segala waktu dan segala ruang, lebih prior dibanding segala substansi dan
segala aksiden. Ke mana saja engkau menghadap di situlah Wajah
Allah.
Dan,
sesungguhnya dalam segala "selain" wujud pasti terdapat mahiyyah
pertama, yang sering disebut dengan Akal Pertama atau Nur Muhammad.
Karena wujud tunggal tidak terbagi,
yang pertama "muncul" darinya pasti tunggal dan tidak terbagi pula,
dan inilah yang disebut dengan mahiyyah pertama.
Sehingga
dalam segala, terdapat Allah dan Muhamm12ad, yakni wujud dan mahiyyah
pertama. Karena seluruh "selain"
wujud mesti muncul melewati jalur mahiyyah pertama ini. Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersholawat kepada Nabi, wahai
orang-orang yang beriman bersholawatlah padanya dan sampaikan keselamatan
padanya.
Wa allohu
a’lam bi ash-showab
Bukti-bukti
Ketunggalan Realitas
Lautan dalam setetes air, karena bila tidak,
Betapa mungkin lautan mengada
Mentari ada dalam cahaya purnama, karena bila
tidak, betapa mungkin purnama bercahya
Hujan, yang menghujani dan yang dihujani,
dapatkah engkau pilahkan, duhai afkari
Sebagaimana lautan, yang melauti dan yang
dilauti,
dapatkah engkau pisahkan, duhai aqali
Puji pada Nya Yang Maha Kudus, dan
tiada tersifati oleh apa pun, oleh siapa pun, kapan pun. Subhanalloohi ‘amma yashifuun. Kecuali oleh
hamba-hambaNya yang ikhlash, illa
‘ibaadalloohi al-mukhlashiin, yakni yang telah menyadari tauhid af’aal,, yakni yang menyadari bahwa
Pelaku Hakiki adalah Sang Maha Tunggal Yang Sempurna.
Demikian Ibnu ‘Arabi menguraikan
bahwa Rasulullah tidak mengatakan barangsiapa fana (lenyap) dalam Tuhannya maka
ia mengenal Tuhannya, namun Rasulullah mengatakan barrang siapa mengenal
dirinya maka ia mengenal Tuhannya (man
‘arafa nafsahu faqod ‘arofa robbahu). Yakni, barangsiapa mengenal bahwa
"dirinya" adalah "ketiadaan" dan hanya Tuhan Yang Ada dan
Tiada Selain Dia, maka ia ( baca pula "Ia") telah mengenal Tuhannya.
Yakni, barangsiapa yang mengenal
Ketunggalan Realitas yang menampakkan dirinya dalama alam maha-jamak ini, dan
tidak melihat adanya sesuatu selain Dia Yang Tunggal dan Meliputi Segela
Sesuatu yang tak lain adalah DiriNya Sendiri, maka ia (baca pula; "
Ia") telah mengenal TuhanNya.
Maka orang yang percaya adanya
penyatuan wujud manusia dan wujud Tuhan adalah puncak kesempurnaan perjalanan
ruhani ada dalam kesesatan yang nyata, karena ia telah menyerupakan Tuhan dalam
hal yang paling hakiki dengan manusia, tak lain adalah keberadaan atau
wujudnya. Argumentasi lain adalah, bagaimana mungkin menyatukan yang tiada
dengan yang Ada?
Mengenai orang-orang yang telah
mencapai keadaan jiwa ilahiyyah seperti ini, yang telah lenyap dalam samudera
Ketunggalan Keberadaan Tuhan seperti ini, mungkin inilah yang diibaratkan oleh
Maulana, Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib (‘a.s.) dalam pesannya kepada
Kumayl Ibn Ziyad (r.’a.) tentang sifat-sifat jiwa (nafs) yang al-kulliyyah
al-ilaahiyyah (komprehensif ke-ilahian); …" ….dan bagi jiwa yang
seperti ini terdapat dua sifat khas; ridho (terhadap qodho dan qadar Allah) dan
taslim (berserah diri kepada Allah), dan hal ini sumbernya adalah dari Allah
dan kepadaNya akan kembali, sebagaimana FirmanNya Ta’aala; dan Kami tiupkan ke dalamnya dari ruh Kami
(wa nafakhnaa fiihi min ruuhinaa)…." Dalam riwayat ini,
Imam’Ali menegaskan bahwa sumber-sumber keadaan jiwa yang ilahi adalah Allah
itu sendiri, dengan merujuk kepada "Dan Kami tiupkan ke dalamnya dari ruh
Kamii" Subhaanallooh.
Mengenai bukti (rasional dan
filosofis) Ketunggalan Realitas salah satunya adalah sebagai berikut. Pertama,
segala yang ada hanyalah lautan keapaan (atau disebut juga
mahiyyah/esensi/kuiditas) , seperti halnya ruang, waktu, kopi, langit, atom,
gen, yang akan mempunyai efek terhadap yang lain jika telah memiliki
keberadaan.Kedua, dengan mengamati bahwa tanpa keberadaannya seluruh samudera
keapaan tersebut tidak memiliki efek apa pun, yakni mereka tereduksi dalam
keadaan ketiadaan, maka keberadaan lebih nyata (real) dibandingkan dengan
keapaan. Ketiga, dengan mengamati bahwa ketiadaan segala sesuatu identik, maka
keberadaannya pun identik, maka dapat disimpulkan bahwa Keberadan di Alam Real
itu Tunggal. Keempat, dengan mengamati bahwa Keberadaan di Alam Real itu
Tunggal, maka semua selain Keberadaan itu sendiri tidak memliki Keberadaan.
Kelima, dengan mengamati bahwa semua selain Keberadan itu sendiri tidak
memiliki keberadaan, maka keberadaan seluruh samudera maujudaat (hal-hal yang maujud) semuanya tidak real , kecuali
Keberadaan itu sendiri. Dan inilah yang disebut dengan Realitas Tunggal yang
meliputi semua namun bukan salah satu dari hal yang terliputinya sama sekali. Maha Suci Dia dari
semua yang kita sifatkan.
Wa allohu a’lam bi ash-showw
Bukti Ketunggalan Realitas (2)
bening dan hening, lautan kesejukan dalam
gemilang kerlap cahaya
Buta segalat mata, tuli segala telinga, pula segenap rasa
Oh layla perawan suci, kusentuh indahmu dengan indahmu dan
Bukan selain itu
Oh layla purnama rindu, kudesahi nanar matamu dan
Keindahannya dengan celakmu dan bukan selain itu
Bilama ada keindahan nan senantiasa perawan dan
kecantian nan senantiasa terjaga dalam masudera ‘iffah (kehormatan serta
keanggunan), maka tentulah itu adalah Dia, Yang Maha Cantik dan Teramat Menarik
namun tak tersentuh oleh siapa pun, bahkan oleh pandangan siapa pun. Mata-mata
majnun hingga nanar mengharapkan persuaan dengan layla pun yang didapatinya tak
lebih dari domba-domba yang mengembik.
Maka, dikisahkan dalam tarikh, betapa Penghulu
Semua Wanita di Semesta Fathimah binti Muhammad (‘alaihimassalam) selalu dalam
keadaan Perawan. Maha Suci Dia yang menjadikan kekasih-kekasihnya sebagai
ibarat atas DiriNya Sendiri. Wa yabqoo
wajhu robbika dzu aljalaali wa al-ikraami. Dan kekallah wajah Tuhanmu.
Maka, Dia-lah Sang Maha Suci Nan Senantiasa
Perawan. Dia-lah Sang Maha Perawan, yang bahkan tak tersentuh oleh penglihatan
apa pun selainNya dan pendengaran apa pun selainNya. Dalam hakikat KeDiaanNya
(huwiyyah) tak mungkin selain Ia menyentuhnya dengan pemahaman (idrak) apa pun,
dan tak mungkin pula menyentuhnya dengan apa pun (secara lahir maupun batin)
bahkan Ia meliputi segala sesuatu. Allohumma
inni as’aluka birohmatika allatii wasi’at kulla syai’. Yaa Allah, aku
bermohon kepadaMu dengan rahmatMu yang meliputi segala sesuatu. Alaa innahu bikulli syai’in muhitth.
Sesungguhnya Dia atas segala sesuatu Maha Meliputi. Laa tudrikuhu al-abshooru, wa huwa yudriku
al-abshoora. Tak menyentuhNya
(segala) penglihatan dan Dia menyentuh (segala) penglihatan.
Sebagian orang menganggap bahwa
ayat laa tudrikuhu al-abshooru wa huwa yudriku al-abshoora menegaskan
bahwa;
·
Dia tak bisa
dipersepsi oleh persepsi apa pun
·
Adanya
realitas yang jamak, minimal adanya persepsi yang jamak
Muhyiddin
Ibn ‘Arabi menegaskan bahwa ayat laa tudrikuhu al-abshooru wa huwa yudriku
al-abshoora justru menegaskan Ketunggalan
Realitas, bahwa hanya Dialah satu-satunya yang maujud dan tiada maujud selain
Dia. Dalam Kitab Al-Ajwibah, beliau menuliskan sebagai berikut;
laa tudrikuhu al-abshooru
wa huwa yudriku al-abshoora, yakni, tak ada siapa pun dan tiada siapa pun
yang berpenglihatan
mampu untuk mempersepsiNya. Maka jika kita misalkan ada sesuatu yang lain
selain Ia dalam keberadaan, maka kita mesti membolehkan bahwa selain di
mempersepsiNya (minimal dalam satu aspek/modalitas keberadaannya yang dirasakan
oleh sesuatu yang lain tersebut, penjelasan penulisan).
Tapi Tuhan (Yang Namanya Maha Tinggi) telah
mengingatkan kita dalam firmanNya "Penglihatan-penglihatan tak
menyentuhNya" yakni tidak ada apa pun disampingNya; artinya, tidak ada
yang lain yang mempersepsiNya (dalam seluruh modalitas keberadaannya, penjelasan
penulis) tapi Ia yang mempersepsiNya adalah Tuhan (Yang Namanya Maha Tinggi). Maka tak ada apa pun yang lain
selain Dia. Dia lah yang mempersepsi Hakikatnya sendiri, dan bukan yang lain.
Maka "Penglihatan-penglihatan tak mengenaiNya", secara sederhana
adalah karena penglihatan-penglihatan adalah bukanlah sesuatu selain WujudNya
sendiri. Dan bila ada yang mengatakan "Penglihatan-penglihatan tak
mengenaiNya" karena penglihatan-penglihatan ini bermula hudust sedangkan yang hudust tak mungkin mempersepsi yang qidam", ia belum mengenal
dirinya sendiri, karena tidak ada apa pun dan tidak ada penglihatan apa pun
kecuali Dia. Dia, maka, mempersepsi WujudNya sendiri, tanpa keberadaan persepsi
dan tanpa sifat."
Wa allohu a’lam bi ash-showwab