Meskipun meyakini adanya Tuhan adalah masalah Fithri yang tertanam
dalam diri setiap manusia, namun karena kecintaan mereka kepada dunia yang
berlebihan sehingga mereka disibukkan dengannya, mengakibatkan mereka lupa
kepada Sang Pencipta dan kepada jati diri mereka sendiri. Yang pada gilirannya,
cahaya Fitrah mereka redup atau bahkan padam.
Walaupun demikian, jalan menuju Allah itu banyak. Para Ahli
ma'rifat berkata,"Jalan-jalan menuju ma'rifatullah
sebanyak nafas makhluk." Salah satu jalan ma'rifatullah adalah akal. Terdapat
sekelompok kaum muslim, golongan ahli hadis
(Salafi) atau Wahabi, yang menolak peran aktif akal sehubungan dengan ketuhanan. Mereka berpendapat, bahwa satu-satunya jalan untuk mengetahui Allah
adalah nash (Al-Qur'an dan hadis). Merka beralasan dengan adanya sejumlah ayat
atau riwayat yang secara lahiriah melarang menggunakan akal (ra'yu). Padahal
kalau kita perhatikan, ternyata Al-Qur'an dan hadis sendiri mengajak kita untuk
menggunakan akal, bahkan menggunakan keduanya ketika menjelaskan keberadaan Allah lewat argumentasi (burhan) Aqli. Pada edisi berikutnya, Insya Allah akan kita bicarakan tentang
Al-Qur'an, hadis dan konsep ketuhanan.
Dalam persepsi mereka, membicarakan agama adalah suatu hal yang
sangat sensitif dan akan merenggangkan hubungan antara manusia. Agama merupakan
sesuatu yang sangat personal dan tidak perlu diungkap dalam forum-forum umum
dan terbuka. Jika harus berbicara agama pun, maka ruang lingkupnya Harus dibatasi pada sisi peribadatan saja.
Bisakah Tuhan dibuktikan dengan akal?
Sebenarnya
pertanyaan ini tidaklah tepat, karena bukan saja Allah bisa dibuktikan dengan
akal. Bahkan, pada beberapa kondisi dan situasi hal itu harus dibuktikan dengan
akal, dan tidak mungkin melakukan pembuktian tanpa akal.
Anggapan yang mengatakan, bahwa pembuktian wujud Allah hanya dengan nash saja adalah anggapan yang
sangat naif. Karena bagaimana mungkin
seseorang menerima keterangan Al-Qur'an, sementara dia belum mempercayai wujud
(keberadaan) sumber Al-Qur'an itu sendiri, yaitu Allah Ta'ala.
Lebih naif lagi, mereka menerima keterangan Al-Qur'an lantaran ia
adalah kalamullah
atau sesuatu yang datang dari Allah. Hal itu berarti, mereka telah meyakini wujud Allah sebelum menerima keterangan Al-Qur'an. Lalu mengapa mereka meyakini wujud Allah.
Mereka menjawab,"Karena Al-Qur'an mengatakan demikian." Maka terjadilah daur (Lingkaran Setan?, lihat istilah daur pada pembahasan selanjutnya). Dalam hal ini, Al-Qur'an dijadikan sebagai pendukung dan penguat dalil aqli.
Mereka menjawab,"Karena Al-Qur'an mengatakan demikian." Maka terjadilah daur (Lingkaran Setan?, lihat istilah daur pada pembahasan selanjutnya). Dalam hal ini, Al-Qur'an dijadikan sebagai pendukung dan penguat dalil aqli.
Para ulama, ketika membuktikan
wujud Allah dengan menggunakan burhan aqli, terkadang melalui pendekatan kalami (teologis) atau pendekatan filosofis.Pada kesempatan ini Insya Allah kami mencoba menjelaskan keduanya
secara sederhana dan ringkas.
Burhan-burhan Aqli-kalami tentang keniscayaan wujud Allah Ta'ala
Burhan-burhan Aqli-kalami tentang keniscayaan wujud Allah Ta'ala
1. Burhan Nidham (Keteraturan)
Burhan ini dibangun atas beberapa muqaddimah (premis).
Pertama, bahwa alam raya ini penuh dengan berbagai jenis benda, baik yang hidup maupun yang mati.
Pertama, bahwa alam raya ini penuh dengan berbagai jenis benda, baik yang hidup maupun yang mati.
Kedua, bahwa alam bendawi (tabi'at) tunduk kepada satu peraturan.
Artinya, setiap benda yang ada di alam ini tidak terlepas dari pengaruh
undang-undang dan hukum alam.
Ketiga, hukum yang menguasai alam ini adalah hukum kausalitas ('ilaliyyah), artinya setiap fenomena
yang terjadi di alam ini pasti dikarenakan sebuah sebab ('illat), dan tidak mungkin satu fenomena terjadi tanpa sebab.
Dengan demikian, seluruh alam raya ini dan segala yang ada di dalamnya,
termasuk hukum alam dan sebab-akibat, adalah sebuah fenomena dari sebuah puncak
sebab (prima kausa, atau 'illatul 'ilal).
Keempat, "sebab" atau 'illat yang mengadakan seluruh alam raya ini tidak keluar dari dua kemungkinan, yaitu "sebab" yang berupa benda mati atau sesuatu yang hidup.
Keempat, "sebab" atau 'illat yang mengadakan seluruh alam raya ini tidak keluar dari dua kemungkinan, yaitu "sebab" yang berupa benda mati atau sesuatu yang hidup.
Kemungkinan
pertama tidak mungkin, karena beberapa alasan berikut : Pertama, alam raya ini sangat besar,
indah dan penuh keunikan. Hal ini menunjukkan bahwa "sebab" yang
mengadakannya adalah sesuatu yang hebat, pandai dan mampu. Kehebatan,
kepandaian dan kemampuan, merupakan ciri dan sifat dari sesuatu yang hidup. Benda mati tidak mungkin disifati hebat, pandai dan mampu.
Kedua, benda-benda yang ada di alam ini beragam dan bermacam-macam, di antaranya adalah manusia. Manusia merupakan salah satu bagian dari alam yang palin menonjol. Dia pandai, mampu dan hidup. Mungkinkah manusia yang pandai, mampu dan hidup terwujud dari sesuatu yang mati ?
Kedua, benda-benda yang ada di alam ini beragam dan bermacam-macam, di antaranya adalah manusia. Manusia merupakan salah satu bagian dari alam yang palin menonjol. Dia pandai, mampu dan hidup. Mungkinkah manusia yang pandai, mampu dan hidup terwujud dari sesuatu yang mati ?
Kesimpulannya,
bahwa alam raya ini mempunyai "sebab" atau 'illat, dan
"sebab" tersebut adalah sesuatu yang hidup. Kaum muslimin menamai
"sebab" segala sesuatu itu dengan sebutan Allah Ta'ala.
2.Burhanal-Huduts(Kebaruan).
Al-Huduts atau al-Hadits berarti baru, atau sesuatu yang pernah tidak ada. Burhan ini terdri atas beberapa hal :
Pertama, bahwa alam raya ini hadits, artinya mengalami perubahan dari tidak ada menjadi ada dan akhirnya tidak ada lagi.
Kedua, segala sesuatu yang asalnya tidak ada kemudian ada, tidak mungkin ada dengan sendirinya. Pasti dia menjadi ada karena "sebab" sesuatu.
Ketiga, yang menjadikan alam raya ini ada haruslah sesuatu yang qadim, yakni keberadaannya tidak pernah mengalami ketiadaan. Keberadaannya kekal dan abadi. Karena, jika sesuatu yang mengadakan alam raya ini hadits juga, maka Dia-pun ada karena ada yang mengadakannya, demikian seterusnya (tasalsul). Tasalsul yang tidak berujung seperti ini mustahil. Dengan demikian, pasti ada 'sesuatu' yang keberadaannya tidak pernah mengalami ketiadaan. Kaum muslimin menamakan 'sesuatu' itu dengan sebutan Allah Ta'ala.
Burhan-burhan Aqli-Filosofi tentang kenicayaan wujud Allah Ta'ala
A. Burhan Imkan Sebelum menguraikan burhan ini, ada beberapa istilah yang perlu diperjelas terlebih dahulu :
Al-Huduts atau al-Hadits berarti baru, atau sesuatu yang pernah tidak ada. Burhan ini terdri atas beberapa hal :
Pertama, bahwa alam raya ini hadits, artinya mengalami perubahan dari tidak ada menjadi ada dan akhirnya tidak ada lagi.
Kedua, segala sesuatu yang asalnya tidak ada kemudian ada, tidak mungkin ada dengan sendirinya. Pasti dia menjadi ada karena "sebab" sesuatu.
Ketiga, yang menjadikan alam raya ini ada haruslah sesuatu yang qadim, yakni keberadaannya tidak pernah mengalami ketiadaan. Keberadaannya kekal dan abadi. Karena, jika sesuatu yang mengadakan alam raya ini hadits juga, maka Dia-pun ada karena ada yang mengadakannya, demikian seterusnya (tasalsul). Tasalsul yang tidak berujung seperti ini mustahil. Dengan demikian, pasti ada 'sesuatu' yang keberadaannya tidak pernah mengalami ketiadaan. Kaum muslimin menamakan 'sesuatu' itu dengan sebutan Allah Ta'ala.
Burhan-burhan Aqli-Filosofi tentang kenicayaan wujud Allah Ta'ala
A. Burhan Imkan Sebelum menguraikan burhan ini, ada beberapa istilah yang perlu diperjelas terlebih dahulu :
Wajib, yaitu sesuatu yang wujudnya pasti, dengan sendirinya dan tidak
membutuhkan kepada yang lain.
Imkan atau mumkin, sesuatu
yang wujud (ada) dan 'adam (tiada)
baginya sama saja (tasawiy an-nisbah ila
al-wujud wa al-'adam). Artinya sesutu yang ketika 'ada' disebabkan faktor
eksternal, atau keberadaannya tidak dengan sendirinya. Demikian pula, ketika
'tidak ada' disebabkan faktor eksternal pula, atau ketiadaannya juga tidak
dengan sendirinya. Dia tidak membias kepada wujud dan kepada ketiadaan. Menurut
para filosuf, hal ini merupakan ciri khas dari mahiyah (esensi).
Mumtani' atau mustahil, yaitu sesuatu yang tidak mungkin ada dan tidak
mungkin terjadi, seperti sesuatu itu ada dan tiada pada saat dan tempat yang
bersamaan (ijtima'un
naqidhain).
Daur (siklus atau lingkaran setan). Misal, A keberadaannya
tergantung/membutuhkan B, sedangkan B keberadaannya tergantung/membutuhkan A.
Jadi A tidak mungkin ada tanpa keberadaan B terlebih dahulu, demikian pula B
tidak mungkin ad tanpa keberadaan A terlebih dahulu. Dengan demikian, A tidak
akan ada tanpa B dan pada saat yang sama A harus ada karena dibutuhkan B. Ini
berarti ijtima'un naqidhain (lihat Mumtani').
Contoh
lainnya, A keberadaannya tergantung/membutuhkan B, dan B kebradaannya
tergantung membutuhkan C, sedangkan C keberadaannya tergantung/membutuhkan A.
Jadi, A tidak mungkin ada tanpa keberadaan B terlebih dahulu, demikian juga B
tidak mungkin ada tanpa keberadaan C terlebih dahulu, demikin pula C tidak
mungkin ada tanpa keberadaan A terlebih dahulu. Daur adalah suatu yang mustahil
adanya.
Tasalsul, yaitu susunan sejumlah 'illat
dan ma'lul,
dengan pengertian bahwa yang terdahulu menjadi 'illat bagi yang kemudian, dan seterusnya
tanpa berujung. Tasalsul sama dengan daur, mustahil adanya.
Burhan Imkan dapat dijelaskan dengan beberapa point berikut ini :
Pertama, bahwa seluruh yang ada tidak lepas dari dua posisi wujud, yaitu wajib atau mumkin.
Pertama, bahwa seluruh yang ada tidak lepas dari dua posisi wujud, yaitu wajib atau mumkin.
Kedua, wujud yang wajib ada dengan sendirinya dan wujud yang mumkin
pasti membutuhkan atau berakhir kepada wujud yang wajib, maka akan terjadi daur (siklus) atau tasalsul (rentetan mata rantai yang tidak berujung) dan keduanya
mustahil.
Ketiga, bahwa yang mumkin berakhir kepada yang wajib. Dengan demikian, yang wajib adalah 'sebab' dari segala wujud yang mumkin (prima kausa atau 'illatul 'ilal). Kaum muslimin menamakan wujud yang wajib dengan sebutan Allah Ta'ala.
Ketiga, bahwa yang mumkin berakhir kepada yang wajib. Dengan demikian, yang wajib adalah 'sebab' dari segala wujud yang mumkin (prima kausa atau 'illatul 'ilal). Kaum muslimin menamakan wujud yang wajib dengan sebutan Allah Ta'ala.
B. Burhan ash-Shiddiqin
Burhan ini menurut para filosuf muslim, merupakan terjemahan dari
ungkapan Ahlibait as. yang
berbunyi,"Wahai Dzat yang menunjukkan diri-Nya dengan diri-Nya." (Doa Shabah Amir al-Mukminin Ali bin Abi
Thalib as.) Artinya, burhan ini ingin
menjelaskan pembuktian wujud Allah melalui wujud diri-Nya sendiri. Para ahli mantiq (logika) menyebutnya dengan burhan Limmi. Penjelasan burhan ini,
hampir sama dengan penjelasan burhan
Imkan.
Ada
beberapa penafsiran tentang burhan
shiddiqin ini. Di antaranya penafsiran Mulla Shadra. Beliau mengatakan,
"Dengan demikian, yang wujud terkadang tidak membutuhkan kepada yang lain
(mustaghni)
dan terkadang pula, secara substansial, ia membutuhkan kepada yang lain (muftaqir). Yang pertama
adalah wujud yang wajib, yaitu wujud murni. Tiada yang lebih sempurna dari-Nya
dan Dia tidak diliputi ketiadaan dan Dia tidak diliputi ketiadaan dan
kekurangan. Sedangkan yang kedua , adalah selain wujud yang wajib, yaitu
perbuatan-perbuatan-Nya yang tidak bisa tegak kecuali dengan -Nya. (Nihayah al-Hikmah, hal. 269).
Allamah
al-Hilli , dalam kitab Tajrid al-'I'tiqad
karya Syekh Thusi, menjelaskan, "Diluar kita secara pasti ada yang wujud.
Jika yang wujud itu wajib, maka itulah yang dimaksud (Allah Ta'ala) , dan jika
yang wujud itu mumkin,
maka dia pasti membutuhkan faktor yang wujud (ntuk keberadaannya). Jika faktor
itu wajib , maka itulah yang dimaksud (Allah
Ta'ala). Tetapi jika faktor itu mumkin juga, maka dia membutuhkan faktor
lain dan seterusnya (tasalsul)
atau daur. Dan keduanya mustahil adanya.
KitabRujukan
:
1.NihayahalHikmah,karyaAllamahThabathabai.
2.Kasyfal-MuradfiSyarhat-tajrid,karyaAllamahal-Hilli.
3.Babal-Hadi'Asyr,karyaAllamahal-Hilli
4.Al-Ilahiyyat,karyaSyekhJa'farSubhani.5. Muhadharah fi Ilmi al-Kalam (kaset), ceramah Sayyid Kamal Haydari.
1.NihayahalHikmah,karyaAllamahThabathabai.
2.Kasyfal-MuradfiSyarhat-tajrid,karyaAllamahal-Hilli.
3.Babal-Hadi'Asyr,karyaAllamahal-Hilli
4.Al-Ilahiyyat,karyaSyekhJa'farSubhani.5. Muhadharah fi Ilmi al-Kalam (kaset), ceramah Sayyid Kamal Haydari.